Afsha berlari kencang setelah keluar dari rumah Ahmed. Hatinya sangat sakit. Tujuan dia berlibur ke Turki baginya hanyalah sia-sia. Disaat dirinya butuh ketenangan dan berusaha melupakan masa lalunya justru kini dia dibuat kembali mengingat segalanya. Bagaimana tidak? Afsha sudah terus-terusan menangis saat dirinya tau bahwa calon suaminya berkhianat kepadanya. Bahkan setelah itu Abdullah-Ayah Afsha lah yang menyuruh agar dia menenangkan diri dengan cara berlibur. Namun kenyataannya menyakitkan. Ternyata selama ini, sahabat Ahmed yang Afsha kenal dengan nama Shihan adalah wanita yang membuat calon suaminya berpaling dari dirinya.
Hasbi mengejar Afsha, nafasnya berpacu dengan kecepatan ia berlari. Sampai akhirnya, Hasbi berhasil menggenggam lengan Afsha yang yang terlapisi oleh jaket musim dingin.
"Kak Afsha tunggu!" tegas Hasbi.Afsha berhenti dan menyeka air matanya. Dia membalikkan badannya seraya berkata "Ada apa Hasbi? Apa kau memerlukan bantuan kakak?" tanya Afsha dengan santai dengan sisa air matanya yang membasahi rambut matanya.
"Kak, kakak kenapa lari begitu saja dan menangis? Ada apa kak?" tanya Hasbi.
"Apa itu ada hubungannya dengan kamu? Tidak kan? Terserah kakak! Kakak ingin pulang ke hotel!" ujar Afsha dengan nadanya yang meninggi.
"Kak, Ibu panik loh lihat kak Afsha lari begitu saja, ada masalah apa kak?"
"Sudah! kakak bilang kakak ingin kembali ke Hotel. Bilang sama Tante Neta, Afsha kemungkinan akan mempercepat liburannya disini! Lepaskan!" Dengan emosi yang naik Afsha berusaha melepaskan tangan Hasbi. Dia kembali berlari, tak mempedulikan Hasbi yang nafasnya masih menderu.
"Kak!"
"Kak Afsha!"
"Kak tunggu kak!"
Percuma saja. Mau sampai ribuan kali Hasbi meneriakki Afsha, dia tidak akan menengok apalagi menghampiri Hasbi. Afsha terlanjur emosi dan hatinya sangat sakit kali ini. Afsha yang masih berlari kembali berhenti saat gawainya berdering menandakan telepon masuk. Segera ia menghapus air matanya dan mengambil gawainya. Ayah. Beliau yang menelepon Afsha. Ayah Afsha-Abdullah.
"..." [Halo nak? Assalamualaikum.]"Wa' ... wa'alaikumussalam Ayah," saut Afsha yang berusaha menetralkan suaranya supaya Ayah tidak mengetahui bahwa dirinya sedang menangis.
"..." [Ayah terlalu sibuk di kantor. Jadi, Ayah baru bisa meneleponmu sekarang, Ayah mengetahui kabarmu dari Ibu. Bagaimana kabarmu hari ini nak? Apa liburannya menyenangkan?]
"Sepertinya Afsha akan mempercepat liburan Afsha yah. Mungkin minggu depan, setelah ulang tahun perusahaan milik Keluarga Omar, Afsha akan pulang."
"..." [Lho, kenapa nak? Bukankah kau yang mengatakan bahwa akan satu bulan berlibur di Turki? Apakah liburanmu tidak menyenangkan? Atau ada masalah disana?]
"Tidak ada yah, hanya saja setelah Afsha berpikir kembali satu bulan itu sangatlah lama. Dan Afsha mungkin tidak akan tahan dengan musim dingin di Turki. Apalagi saat kondisi Afsha yang terkadang tidak tahan dingin, Afsha pasti akan merepotkan banyak orang jika sewaktu-waktu Afsha merintih kedinginan, hahahah ..."
"..." [Ya Allah nak, maafkan Ayah yah sayang. Ayah tidak bisa menemanimu berlibur. Tapi Ayah janji, saat ulang tahun perusahaan keluarga Omar, Ayah akan datang bersama Ibu. Kita berlibur bersama, hm?]
"Tidak usah Ayah, setelah ulang tahun itu, Afsha menginginkan untuk pulang saja."
"..." [Ya sudah baiklah jika itu maumu nak. Tapi apakah Ahmed menjagamu dengan baik? Bagaimana dengan keadaan om Mahmed dan tante Neta? Lalu bagaimana dengan kak Minan dan kak Razi serta Elif? Oh iya, apakah Hasbi baik-baik saja?]
"Hahahah, hemmm ..." Afsha tertawa kecil sembari meneteskan air matanya. Dia menyeka air matanya yang tumpah. Ayahnya sangat menyayangi keluarga Omar.
"Ahmed baik sekali, dia mengenalkan Afsha dengan sahabatnya, walau hanya satu tapi itu cukup bermakna untuk Afsha. Dan semua keluarga Omar baik-baik saja Yah. Bahkan besok akan diadakan pesta ulang tahun Elif."
"..." [Benarkah itu? Wah sayang sekali ayah tidak hadir disana. Sampaikan ucapan selamat kepada Elif yah nak, dan ayah minta belikan kado spesial untuk cucu ayah, Elif.]
"Baik Ayah." Abdullah, dia sudah menganggap Elif sebagai cucunya sendiri.
"..." [Ayah tutup teleponnya yah sayang. Ayah akan pergi ke rumah teman ayah. Jaga diri baik-baik disana yah. Wassalamualaikum.]
"Wa'alaikumussalam."
Setelah Ayah menutup teleponnya, kini Afsha menunduk. Badannya semakin menunduk dan dia berjongkok. Menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya yang ia pangku. Menangis. Rasanya sulit bagi Afsha untuk menceritakan apa yang baru saja terjadi dengan dirinya.***
Wanita itu membuka jaket musim dinginnya dan langsung berlari meluapkan tangisannya diatas ranjang kasurnya. Bagaimana tidak? Sampai saat ini hatinya masih sangat sakit dan rapuh. Berusaha mengembalikan susunan yang lebih baik justru dihancurkan kembali. Afsha mengingat semuanya. Mengingat saat dimana dirinya masih bersama Farhan. Mengingat saat dia mengetahui bahwa calon suaminya bersekingkuh dibelakangnya.
"Saat kita menikah, apakah nanti kau akan memberikan kejutan untukku?" Saat itu Afsha sedang duduk bersama Farhan, calon suaminya di sebuah restoran besar di daerah Solo. Seharusnya saat menjelang pernikahan mereka berbahagia. Tapi entahlah dengan Farhan, dia tidak menunjukan rasa bahagianya kepada Afsha. Jika senyum pun, sepertinya sangat ia paksakan.
"Mungkin, hahahah ..." jawab Farhan sembari menyesap es teh yang ada dihadapannya.
"Wah pasti aku akan sangat senang dengan kejutanmu itu." Afsha tersenyum lebar saat Farhan mengatakan 'mungkin', dia terlihat antusias saat calon suaminya itu akan memberinya sebuah kejutan.
"Oh iya apa aku boleh meminjam handphonemu?" tanya Afsha. Sudah sedari lama saat mereka dijodohkan, Afsha tidak pernah sekalipun meminjam handphone Farhan. Bahkan sampai menjelang hari pernikahan dia tidak pernah sama sekali menyentuh handphine milik Farhan.
"Untuk apa?" tanya Farhan.
"Tidak untuk apa-apa. Rasanya aku hanya ingin melihat beberapa kontak temanmu. Kita hampir menikah jadi tidak perlu ada yang kita tutupi." Afsha tersenyum. Senyuman Afsha sangatlah hangat. Farhan mengangguk dan sedikit membalas senyuman Afsha.
"Apakah perlu?" tanya Farhan.
"Mmm tidak juga, tapi menurut beberapa orang perlu."
"Kau ini ada-ada saja."
Semenjak dua minggu lalu, Farhan berubah sikapnya. Dia jarang tersenyum ataupun menatap bahagia Afsha. Walau Farhan lelaki cuek akan tetapi pada saat dirinya dipertemukan dengan Afsha dirinya terlihat begitu bahagia. Namun, tidak dengan sekarang. Menjelang hari pernikahan bahkan dia tidak menujukan raut wajah bahagianya.
"Tidak boleh?""Sudahlah karena kau terlalu percaya akan semua omongan orang. Nih." Farhan dengan kasarnya menyodorkan handphonenya kepada Afsha. Afsha dengan perlahan tersenyum kecil. Dia memegang handphine milik Farhan dan membuka kontak di handphone Farhan. Mengecek satu per satu beberapa nama kontak. Bisa dibilang Farhan yang cuek tetapi memiliki banyak teman. Mungkin karena dulunya dia adalah mantan Presiden Mahasiswa di Universitasnya yang membuat dirinya mudah bergaul.
"Temen kamu banyak juga yah.""Iyalah, pastinya ..."
Namun Afsha tertarik dengan sebuah nama bertuliskan Budi dengan satu emoji. Tepatnya BUDI🐰.
"Budi itu siapa??? Kok ada emoji kelincinya? Hahah," tanya Afsha mengukirkan senyumnya yang geli. Afsha rasa Budi itu lelaki tetapi Farhan justru menaruhkan emoji kelinci disana.Farhan yang sedang menyesap es teh dia tersedak.
"Uhuk, uhuk!""Eehh mmm i ... iya itu Budi, temen aku. Biasalah, dia itu kaya kelinci. Anaknya imut banget, dan dia itu suka banget sama kelinci. Jadi aku taruhin emoji kelinci deh,"
"Ya ampun aku kira siapa, heheheh ..." tawa Afsha lepas saat mendengar jawaban dari Farhan. Calon suaminya itu tampak benar-benar mudah akrab dengan teman-temannya.
***
✅
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DI LANGIT TURKI
JugendliteraturFOLLOW AUTHOR!!! *Kata-kata masih banyak yang typo. Mohon dimaklumi* Bagaimana jadinya saat kita mencoba berlibur untuk melupakan masalah kita justru saat berlibur lah masalah kembali hadir kepada kita??? Seorang wanita yang calon suaminya telah dir...