PART 33 || LEBIH DEKAT✅

56 11 1
                                    


"Eh, Pak Joko mending untuk sementara tinggal di rumah Ahmed aja. Gimana?" tanya Afsha. Mata Ahmed membulat, menelan salivanya.

"Buset! dia kira rumahku penampungan apa. Arghh udahlah, lagian kasihan pak Joko," batin Ahmed.

"Ya udah pak Joko masuk aja ke mobil," ujar Ahmed. Dengan ditemani dua bodyguard Pak Joko melangkahkan kaki memasuki mobil Ahmed. Sedangkan Ahmed diluar masih berbicara dengan Afsha.

"Kamu sudah bilang ke om?"

"Om siapa?"

"Ayah kamu lah!" kesal Ahmed.

"Ya udah lah. Lagian kamu bilangnya om, gak pakai nama lagi! Ya aku bingung dong!" jawab Afsha meninggikan suaranya dengan menatap sinis Ahmed.

"On beş koruma daha ekleyin ve eve gönderin. Daha sonra babama şunu söyleyeceğim:" [tambah lima belas bodyguard lagi dan kirim ke rumah. Nanti aku akan mengatakan kepada Ayah,] ujar Ahmed kepada bodyguard dengan mata elangnya.

"Anak sultan, bebas ..." gerutu Afsha memutar bola matanya malas. Afsha segera masuk menyusul Pak Joko kedalam mobil. Sedangkan Ahmed masih berbincang dengan para bodyguard. Akhirnya, tak lama kemudian, Ahmed memasuki mobil dan menjalankan mobilnya kembali ke rumah.

Laju kendaraannya sedikit lambat karena jalanan sedikit macet. Saat melewati restoran, Pak Joko meminta berhenti dan meminta untuk makan terlebih dahulu. Mengingat mulutnya dilakban oleh Shihan semalaman dan tidak bisa makan, jadi wajar mungkin saat ini lapar. Ahmed membelikan semua makanan yang ingin dimakan oleh Pak Joko dan Afsha. Setidaknya ini cara dia untuk berterimakasih kepada kedua orang baik yang telah membuatnya sadar siapa itu Shihan, sebenarnya.

Selesai mengisi perut, kini mereka melanjutkan perjalanan pulang. Sesampainya dirumah, Afsha langsung menuntun Pak Joko berjalan memasuki rumah keluarga Omar. Sedangkan Ahmed berlari ke belakang rumah. Memikirkan jemuran. Terlihat para bodyguardnya telah usai menjemur baju-bajunya. Ahmed menelan salivanya, merasa malu sebagai lelaki.
"Tessekųr ederim," ujar Ahmed kepada para bodyguard dan langsung masuk ke rumah.

Pak Joko duduk di sofa dan kakinya sedang diurut oleh Hasbi. Lilitan tali yang diikat Shihan tadi begitu kencang, membuat kaki Pak Joko sedikit terkilir. Dengan perlahan Hasbi memijat. Sedangkan Tante Neta buru-buru membuatkan teh herbal untuk Pak Joko. Afsha, dia menyalakan tungku perapian agar udara di ruang tengah ini hangat.

"Pak Joko bener gak apa-apa?" tanya Afsha.

"Gak apa-apa neng, cuman ya lemes aja," jawab Pak Joko.

"Shihan keterlaluan banget sih dia!" timpal Tante Neta yang membawakan teh herbal untuk Pak Joko.

"Ini pak, diminum teh herbalnya. Biar badan bapak enakkan," ujar Tante Neta memberikan teh herbal.

"Makasih ya nak." Pak Joko tersenyum. Usianya lebih tua daripada Tante Neta. Jadi wajar jika Pak Joko menganggap Tante Neta seperti anaknya.

"Tante kecewa, kenapa Shihan bisa sekejam itu? Padahal Pak Joko tidak pernah mengikutcampuri permasalahan ini. Dia itu sudah tidak waras," kesal Tante Neta.

"Udahlah tante. Mungkin Shihan belum bisa nerima kalau sekarang kedoknya sudah terungkap." Afsha mengelus pundak Tante Neta.

"Tapi gak gini juga kali kak," tambah Hasbi.

"Ya iya sih. Malah sekarang Afsha merasa bersalah. Seharunya hari itu, saat Afsha tidak jadi pulang, Afsha langsung mengabari Pak Joko. Ini semua salah Afsha."

"Ehh nggak apa-apa. Ini bukan salah siapa-siapa. Lagian bapak juga lupa pas itu belum nge-kunci pintu. Jadi Shihan masuk dan langsung sekap bapak. Udah neng gak usah merasa bersalah gitu," ucap Pak Joko. Afsha menunduk. Ikut memijat lengan Pak Joko.

"Ini Hasbi beneran gak apa-apa Pak Joko dipijitin gini?"

"Gak apa-apalah pak. Lagian pak joko udah kaya kakek bagi Hasbi. Bolehkan Hasbi panggil Pak Joko itu kakek?"

"Wah boleh. Jadi cucu pak Joko nambah 11 deh."

"Hahahaha," semuanya tertawa. Semoga saja suasana akan semakin mencair setelah Shihan benar-benar pergi dari kehidupan mereka.

***

Malam harinya. Seusai sholat maghrib, kini Afsha bersiap akan menjemput Ayah dan Ibunya di bandara ditemani Ahmed, Om Mahmet dan Tante Neta. Gamis cokelat ddipadupadankan dengan kerudung hitam membuat kesan anggun pada Afsha. Dengan memakai jaket musim dingin, akhirnya mereka berangkat menuju bandara. Afsha bersama Ahmed. Sedangkan Ok Mahmet bersama Tante Neta. Dan di mobil lainnya empat bodyguard ditugaskan untuk ikut guna menjaga keamaan keluarga Omar ini.

Jalanan sangat ramai seperti biasa. Suasana kota Istanbul mampu menghipnotis mata. Apalagi dengan hiasan lampu disetiap jalan menambah kesan indah. Tidak ingin melewatkan momen, Afsha yang memegang kamera segera memotret jalanan kota Istanbul pada malam hari. Hasilnya cukup bagus. Sepertinya Afsha berbakat untuk menjadi seorang fotografer.
"Gitu banget lihatnya," protes Ahmed.

"Idih, biarin lah. Namanya juga turis," jawab Afsha sinis.

"Oh!"

Membuat Afsha kesal. Ingin sekali mengareti bibir Ahmed itu agar diam. Tapi tidaklah, Afsha masih memiliki rasa kasihan. Kasihan karena rahang Ahmed hampir saja kenapa-napa. Sesampainya di bandara, mereka semua segera turun. Ternyata Afsha telat. Sang Ayah dan Ibu sudah sampai dua jam lalu dan kini menunggu Afsha yang baru saja datang.
"Ayah! Ibu!" Afsha berlari memeluk keduanya.

"Ya Allah nak, dari tadi Ibu telponin buat jemput gak aktif. Udah dua jam loh Ibu sama Ayah nunggu,"

"Ya Allah, beneran?"

"Masya Allah, Abdullah. Udah lama gak ketemu."

Om Mahmet segera memeluk sahabat karibnya itu penuh cinta. Begitu juga dengan Tante Neta yang memeluk Ibu hangat. Serta Ahmed yang menyalami keduanya dengan sopan.

____
#happyreading❤

CINTA DI LANGIT TURKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang