"Dia calon suamiku." mendengar ucapan Afsha itu Ahmed terdiam. Berusaha mencerna kata-kata Afsha. Berpikri keras untuk memahami ucapan Afsha. Wanita berhijab itu masih saja menunduk dengan memainkan jarinya. Raut wajahnya menampakkan kesedihan yang sangat dalam. Afsha tak mau mendongak karena ia pun takut jikalau Ahmed melihat matanya yang sembab.
"Siapa?" lirih Ahmed yang ternyata tak mengerti ucapan Afsha.
"Kau tidak perlu tahu." Afsha berdiri dan mengambil tasnya. Namun, itu ditahan oleh Ahmed yang buru-buru memegangi tangan Afsha.
"Tunggu!" pinta Ahmed.
"Jelaskan padaku terlebih dahulu," lanjutnya. Afsha kembali duduk dengan paksaan Ahmed. Air matanya keluar, Ahmed yang melihatnya merasa iba. Bagi Ahmed kelemahan dirinya adalah melihat seorang wanita menangis. Walau sebenarnya dirinya sangatlah cuek pada siapapun itu.
"Afsha kenapa? Kenapa dia menangis? Ya Ampun, aku tidak kuat akan ini." batin Ahmed.
"Ja ...ja ... mmm ja ..." terdengar sangat sulit, Ahmed yang akan mengucapkan sesuatu.
"Ja ... ja! Jangan! Jangan menangis!" ucapnya keras. Afsha menghentikan tangisannya, dia mengusap bulir air matanya yang masih tersisa di pipi. Menelan salivanya perlahan. Sedangkan Ahmed, dia hanya bisa menatap iba wanita aneh yang ada di depannya itu.
"Ada apa dan kenapa?" tanya Ahmed.
"Pasti Ayah sudah pernah mengatakan ini kepadamu. Aku tau kau mencintai Shihan, dan mungkin kau tidak akan percaya dengan apa yang aku ucapkan," ujar Afsha yang masih menunduk.
"Apa yang akan kau katakan?"
"Dia, lelaki yang bernama Farhan. Dia lelaki yang mengisi hatiku dan menyakiti hatiku sampai saat ini."
"Siapa Farhan? Afsha! Sebenarnya apa yang kau maksud?! Aku sama sekali tidak paham akan perkataanmu itu!" Ahmed sangat ingin mengetahuinya, akan tetapi dirinya terlalu lamban untuk memahami kata-kata Afsha. Nada tinggi yang dilontarkan Ahmed saat berbicara tadi, membuat Afsha akhirnya dengan spontan memberitahukan semuanya.
"Shihan wanita yang merebut calon suamiku!" jawab Afsha yang kini mendongak dan menatap Ahmed. Ahmed terdiam, menatap tak percaya Afsha. Kalimat yang Afsha lontarkan seakan-akan membuat Ahmed tidak yakin dengan ini semua. Ahmed merasa bahwa ini hanyalah sebuah kebohongan.
"Hah?! Bohong! Ti ... tidak mungkin! Ck." Hanya senyum sinis yang Ahmed keluarkan.
"Sudah kukatakan bahwa jika aku memberitahukan ini kepadamu, kau tidak akan percaya! Jadi untuk apa kau memaksaku untuk berbicara seperti ini?! Jika kau saja tidak percaya dengan kata-kataku!" Afsha kembali meneteskan air matanya di hadapan Ahmed. Untung saja suasana Caffe sedang sepi, jadi tidak terlalu mengundang perhatian saat Afsha mengatakan sesuatu dengan nada tingginya.
"Kau jangan memfitnah! Shihan pernah mengatakan kepadaku bahwa dirinya tidak mempunyai kekasih! Bisa saja kekasihmu yang mengejar-ngejar Shihan!"
"Hah? Pembodohan macam apa itu? Kau terlalu mudah untuk ditipu! Shihan adalah Budi, Budi nama panggilan dari Farhan untuknya! Kau tahu apa tentang Farhan dan Shihan? Yang kau tau Shihan hanyalah wanita yang kau cintai dan dia adalah sahabatmu, sedangkan Shihan bagiku adalah seorang yang telah merebut calon suamiku!!" Afsha tak kuasa menahan amarah dan tangisannya. Mendengar ucapan Afsha membuat hati Ahmed pun dipenuhi emosi. Dia masih tidak bisa percaya dengan apa yang Afsha katakan. Rasanya tidak mungkin jika Shihan yang Ahmed kenal adalah wanita baik membohongi dirinya.
"Cukup!" Ahmed berdiri.
"Benar katamu, seharusnya aku tidak usah mendengarkan perkataanmu. Aku masih tak percaya akan hal itu, sudahlah. Kita lupakan saja pertemuan ini! Pulanglah!" Ahmed berjalan keluar dari Caffe dan meninggalkan Afsha sendirian yang masih duduk disana. Afsha menunduk, dia memangku kepalanya diatas tangannya yang ada di meja. Sakit sekali. Bahkan saat Ahmed memaksanya untuk berbicara, Ahmed pun tak percaya.
Hiks! Hiks! Hiks!
Tangisan Afsha tak terbendung lagi. Hatinya semakin sakit. Semua ini adalah kesalahan, seharusnya tadi Afsha hanya diam.
"Kenapa?! Kenapa kau tidak mempercayai ini? Apakah mungkin karena Shihan adalah sahabatmu? Arghh!"
***
Mentari telah menyinari Kota Istanbul. Hijab hitam dan gamis hitam yang dikenakan wanita itu menandakan kesedihan di hatinya yang sangat dalam. Setelah kemarin, kini dirinya hanya bisa menangis terus-terusan. Rasa sakit yang ia terima dari mantan calon suaminya dulu kini harus terulang kembali akibat Shihan dan Ahmed yang tak mempercayai hal ini. Afsha sudah siap dengan jaket hitamnya. Kotak kado pun sudah berada di kedua tangannya, dia akan bergegas menuju rumah keluarga Omar. Hari ini adalah hari ulang tahun Elif.
Saat tepat di depan kamar nomer 405, wanita dengan rambut pirangnya keluar dari kamar. Afsha menghentikan langkahnya. Mata sembabnya menatap wanita itu, Shihan. Shihan tersenyum jahat kepada Afsha dan mendekati Afsha.
"Maaf kalau sekarang kamu sudah mengetahuinya," ujarnya yang menepuk bahu Afsha dan meninggalkan Afsha. Ingin sekali berteriak dan menangis. Namun, Afsha rasa ini cukup. Dirinya tidak boleh menangis lagi dihadapan wanita seperti itu. Dirinya harus menunjukan ketegaran penuh."Astaghfirullahaladzim, kuatkanlah hamba ya Allah," lirih Afsha yang kemudian melanjutkan langkahnya. Saat akan keluar hotel. Di depan hotel Afsha melihat Shihan dijemput oleh Ahmed. Shihan memasuki mobil Ahmed. Akan tetapi mata Afsha justru bertemu dengan mata Ahmed. Mereka bersitatap. Ahmed menatap Afsha seperti kebingungan. Mungkin saja antara iba dan harus bagaimana. Afsha hanya menggigit bibir bawahnya, berusaha kuat dan berharap Ahmed akan percaya dengan apa yang ia katakan semalam.
Ahmed memasuki mobilnya dan menjalankan mobilnya, barulah Afsha keluar.Hufttt
hembusan nafas Afsha menandakan dirinya harus bisa menahan emosi. Dirinya harus bersabar atas apa yang telah terjadi dan sedang terjadi sekarang.
***
✅
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DI LANGIT TURKI
Teen FictionFOLLOW AUTHOR!!! *Kata-kata masih banyak yang typo. Mohon dimaklumi* Bagaimana jadinya saat kita mencoba berlibur untuk melupakan masalah kita justru saat berlibur lah masalah kembali hadir kepada kita??? Seorang wanita yang calon suaminya telah dir...