29

19.7K 978 47
                                    

"Ayo mbak, masuk. Ibu pasti mengharapkan mbak ada disampingnya." perintah Mima, dia tahu ada sesuatu dalam diri Tiora yang terusik. Mima memberanikan diri untuk menggenggam tangan Tiora, satu tangannya meraih pundak Tiora dan merangkulnya.

Tiora berjalan makin mendekati pintu ruang rawat, tempat sang ibu menunggunya. Ada begitu banyak emosi yang bercampur aduk menjadi satu dalam diri perempuan itu. Dia ingin meluapkan segala amarah dan kekecewaannya pada sang ibu, sekaligus bertanya apa yang perempuan itu mau?

Tapi, saat masuk ke dalam sana, semua amarahnya runtuh begitu saja. Di depan sana, sosok perempuan paruh baya itu terbaring tidak berdaya dengan bantuan setumpuk alat medis. Tepat saat Tiora mendekat ke arah ranjang, mata ibunya terbuka. Memperhatikan Tiora dengan tatapan penuh penyesalan, sekaligus memohon agar Tiora tidak pergi dari hadapannya.

Tiora duduk di samping tempat tidur sang ibu, rasanya begitu berat melihat secara dekat wajah perempuan yang pernah menganggapnya sebagai aib. Ibunya terlihat begitu sakit, dengan alat infus dan alat bantu oksigen yang menempel pada beberapa bagian tubuh.

"Tiora..." panggil sang ibu dengan suara nyaris berbisik, satu tangan ibunya terangkat, meraih tangan Tiora susah payah. Beberapa kali matanya terpejam, seakan menunjukkan betapa lelahnya mata itu untuk terbuka. "Maafin Ibu."

"Maaf untuk apa?" bisik Tiora dengan suara bergetar.

"Karena Ibu menyakiti hati kamu."

Air mata Tiora luruh, jatuh tepat mengenai celana yang dia kenakan. Dia mengeratkan genggaman tangan ibunya, membiarkan Mima menyandarkan kepalanya di bahu dan menangis bersamanya. Ya, Mereka bertiga menangis.

Tanpa perlu mendengarkan penjabaran ibunya panjang lebar, Tiora paham jika sang ibu benar-benar menyesal. Terlihat jelas setumpuk penyesalan yang meminta untuk mendapat permohonan maaf dalam mata sayu itu.

"Ibu mau sembuh, Nduk." genggaman tangan Ibu tiba-tiba mengendur, seakan dia tidak sanggup menggenggam Tiora terlalu kuat dengan tenaga yang tersisa, "Ibu mau menebus semua kesalahan Ibu sama kamu. Ibu menyesal dengan sikap Ibu, menganggap kamu luka masa lalu, menganggap kamu sebagai aib. Ibu yang salah, kamu lahir dari sosok perempuan yang salah. Maaf, Nduk."

"Apa yang harus aku maafkan? Ibu nggak salah. Hanya saja takdir Tuhan untuk kita sedikit runyam."

Ibu Lily memejamkan mata rapat dengan tangan mencengkeram tangan Tiora erat. Menyalurkan setiap rasa sakit bercampur malu yang menjalar hingga ke ulu hati yang dalam. Malu karena dia tidak bisa menjadi sosok Ibu bagi anak pertamanya. Dia tidak mampu berkata-kata lagi.

"Sudah jangan membahas tentang ini."

Tiora menghapus jejak air mata di wajahnya. Tidak terlalu lama untuk dia terhanyut dalam adegan menyedihkan seperti ini.

Dia memang sempat merasa sakit hati dengan tindakan dan ucapan ibunya. Tapi, dia paham dengan sikap sang ibu di masa lalu. Lagipula, dia ini hanya tokoh yang lahir di situasi dan waktu yang kurang tepat. Mengungkit perihal masa lalu tidak akan merubah apapun. Selain itu, Tiora paham, memaafkan perbuatan sang Ibu adalah bentuk kemenangan terbaik. Tiora merasa sesuatu yang berat telah lepas dari dalam hatinya, menciptakan rongga kecil hingga dia merasakan sedikit kelegaan saat ibunya mengucapkan kata maaf tadi.

"Ibu sakit apa?" ucap Tiora dengan suara pelan.

"Kanker paru-paru stadium 4." Kata Mima, perempuan itu menghela napas kasar, menetralkan kembali wajahnya, mendaratkan bokongnya di atas ranjang sang Ibu. "Waktu itu aku pikir Ibu sakit batuk biasa, Mbak. Tapi lama-lama, batuk Ibu ndak kunjung sembuh, malah mengeluarkan darah dan Ibu sering mengeluh nyeri dada sampai susah napas. Setelah di cek dua minggu yang lalu, ternyata kanker paru." Mima meringis. "Mbak, aku takut. Dokter bilang kalau kanker paru ini susah sembuh, apalagi Ibu sudah stadium 4."

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang