13

20.8K 1K 14
                                    

Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Tapi, Tiora masih belum memejamkan mata seperti orang lain yang berada di penginapan ini. Ditemani ponselnya, dia terduduk di kursi kayu yang saling bersebelahan-hanya terpisah oleh meja kecil didekatnya-di teras penginapan bernuansa kayu yang cukup kental, sambil sesekali menghela napasnya pelan.

Kalau dia bisa memutar waktu, dia tidak akan membiarkan dirinya mengiyakan ajakan Vano dan ikut ke Pangalengan, salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung yang terkenal memiliki banyak objek wisata. Selain Lembang yang sering menjadi langganan warga Ibu Kota. Udara disini memang sejuk, pemandangan di sekitar pun memang mengagumkan. Tapi, kalau pada akhirnya dia tahu akan dikunci dari dalam oleh Vania yang sedang berduaan dengan Drian di kamar tempat dia menginap, sudah pasti dia tidak akan mau datang ke tempat ini.

Sumpah demi apapun, sikap Vania memang menyebalkan. Padahal, dia hanya keluar sebentar dari kamar untuk membawa teh hangat yang Vania pesan. Tapi, saat dia hendak kembali masuk, pintu kamar itu terkunci rapat.

Sayup-sayup Tiora mendengar suara Drian dari dalam kamar mereka. Berbagai usaha Tiora lakukan agar Vania membuka pintu kamar, seperti mengetuk dan mengirim pesan melalui aplikasi Whatsapp. Namun, Vania seolah asyik sendiri dengan dunianya dan menghiraukan pesan yang dia kirimkan.

Ini sudah dua jam sejak dia dikunci dari dalam, dan... Tiora bosan, dia ingin tidur. Tidak, lebih tepatnya, dia ingin pagi segera datang, sehingga dia bisa pergi dari tempat ini dan kembali ke tempat ternyaman di kosannya, kasur.

"Kenapa belum tidur?"

"Astaga.." Tiora terlonjak kaget, matanya melihat sosok pria aneh bin menyebalkan bernama Stevano dari atas hingga bawah tiba-tiba datang dan duduk di kursi sebelahnya, "Bisa nggak sih, nggak bikin kaget? Datang nggak diundang, pulang nggak dijemput. Kamu ini sejenis jelangkung, ya?"

"Kamu tidak menjawab pertanyaan saya, Dokter Tiora. Kenapa belum tidur?" ucap Vano sekali lagi, mengulangi pertanyaan yang sama.

Tiora memicingkan matanya untuk beberapa saat, merasa aneh karena pria di depannya ini tiba-tiba bertanya, seolah menunjukan kepedulian. "Saya tidak bisa tidur." suara Tiora mengalun lembut memasuki indera pendengaran Vano.

Vano mengangguk pelan, lalu matanya memicing dan fokus pada baju yang dikenakan Tiora-berbahan tipis hingga membuat wanita itu sedikit menggigil kedinginan. Beberapa detik kemudian, Vano melepas jaket yang dia kenakan. Memberikan jaket miliknya, memakaikan jaket itu pada Tiora. "Pakai jaket saya saat kamu tidur, udara di sini cukup dingin."

Tiora mengangguk dengan cepat, mengiyakan ucapan Vano karena dia terlalu gugup dengan posisi tubuhnya yang berjarak terlalu dekat dengan pria itu.

"Bagaimana dengan kaki kamu? Apa masih sakit?"

Tiora menggeleng. "Sudah lebih baik sekarang."

Vano mengangguk pelan, lalu memasukan tangannya pada saku celana. "Sudah berapa lama kamu ada di luar?"

"Baru sebentar." Kata Tiora dengan nada pelan, berbohong agar Vano tidak menaruh rasa curiga.

"Sebaiknya kamu tidur, ini sudah malam. Saya akan mengantarmu ke kamar."

"Tapi--"

"Hmm?"

Tiora menggeleng, ragu untuk berbicara lebih jauh pada Vano. Dia membiarkan Vano untuk mengantarnya menuju kamar, menyusuri lorong tempat penginapan dan berjalan dengan beriringan. Hingga akhirnya mereka berhenti di depan pintu berwarna cokelat tua. Namun, bukannya masuk ke dalam kamar itu, Tiora justru terdiam. Membuat Vano mengerutkan keningnya karena bingung.

"Kenapa nggak masuk?"

"Itu..."

"Itu apa?"

"Sebenarnya saya berbohong sama kamu tadi."

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang