40

14.9K 818 22
                                    

Seperti biasa, mendekati tanggal tua seperti sekarang ini, Tiora dan Vania sering menghabiskan waktu pada jam sore di kantin rumah sakit di area sektor timur. Kantin ini menawarkan berbagai macam menu makanan yang beraneka ragam dengan nutrisi seimbang. Tidak hanya pegawai, pengunjung rumah sakit pun boleh bersantap di sini.

Saat duduk di sudut meja kantin, Tiora sibuk memandang Vania yang memesan makanan mereka. Sesekali, perempuan itu mengelus perutnya yang mulai terlihat membuncit. Bisa Tiora lihat, Vania banyak mengalami perubahan setelah menikah. Salah satunya raut bahagia sering terpancar dari perempuan itu. Iya, pada akhirnya Drian menikahi Vania meskipun harus melewati berbagai macam drama yang diciptakan pria itu.

Tiora menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, memijat pelipisnya sebentar. Perempuan itu tengah dilanda pening hebat.

"Kayaknya gue nggak bisa jaga hari ini. Lo bisa gantiin gue, nggak? Nanti kalau lo lagi berhalangan, gue yang ganti." tembak Tiora begitu Vania tiba di meja mereka.

"Gue belum duduk, lo udah main nyerocos aja. Kenapa?"

"Kepala gue pusing, habis muntah."

"Masuk angin?"

"Nggak, bukan itu." Tiora mengibaskan tangannya. "Tadi gue diminta Dokter Tina jadi asisten operasi mendadak. Selama di ruang operasi tadi, gue nggak kuat lihat darah pasien dan nahan bau amis. Mual." jelas Tiora sebelum dia menghentikan ucapannya karena jus apel dan makanan mereka yang di pesan Vania datang. "Habis operasi selesai, gue langsung lari ke toilet dan muntah."

"Lo hamil?" kata Vania yang membuat Tiora melemparkan pukulan kecil ke arah bahunya. "Aneh banget, biasanya lo nggak bereaksi seperti itu sama darah."

"Jangan mikir yang aneh-aneh, deh!" Tiora terbelalak mendengar pertanyaan Vania. Dia memang sering melakukan hubungan intim dengan Vano selama dua bulan pernikahan mereka ini, namun dia tidak berpikir bahwa dia tengah mengandung. Terlalu cepat. "Mungkin efek sedikit kelelahan."

Vania tertawa sambil memukul sisi meja. "Ya, siapa tahu kan anak gue mau punya teman se-angkatan."

"Vania." Tiora memandang Vania dengan kesal. "Udah ah, gue mau pulang sekarang."

"Mau gue antar? Takutnya lo kelimpungan di jalan. Perlu gue telepon Vano biar dia jemput lo?"

"Jangan! Dia masih kerja." Tiora melirik ke layar ponsel, mengecek jam yang tertera di sana. "Masih ada dua jam lagi sebelum dia pulang. Gue nggak mau ganggu. Biar gue pesan taksi atau ojek online."

Tanpa mau menunggu lama, Tiora berpamitan pada Vania dan segera beranjak dari area kantin menuju ruangannya. Dia merapikan semua barangnya dengan gerakan lamban. Sesekali tangannya memijit area kepala, pening yang tidak kunjung usai ini benar-benar membuat dia menderita.

Masih dengan gerakan lamban, Tiora berjalan menuju lift. Seketika, Tiora menelan salivanya secara kasar. Apalagi saat dia menangkap tiga orang perawat tengah bergosip di dekat pintu lift sana.

"Iya bener banget! Gue pernah berpapasan sih sekali, badannya itu loh minta dipeluk!" salah satu dari ketiga perawat itu membuka suara.

"Tapi sayang, dia sudah punya Dokter Tiora. Waktu itu gue lihat mereka di area parkir berduaan."

Telinga Tiora memanas mendengar namanya di sebut-sebut dalam pembicaraan ketiga perawat itu.

"Yang mana sih?"

"Itu loh yang sering banget kelihatan sama Dokter Tina. Pantesan aja Dokter Tina kalau ada apa-apa tuh suka panggil Dokter Tiora buat bantu dia. Eh, taunya..."

"Ah, kenapa sih laki-laki tampan selalu berakhir dengan perempuan cantik? Iya sih, harus gue akui kalau Dokter Tiora cantik. Tapi body nya kalah bohay sama gue. Eh tapi, gue pernah memergoki para dokter pria di kantin lagi ngomongin kecantikan dia. Lebih ke arah mesum, sih."

Kali ini, Tiora memberanikan diri untuk melangkah lebih dekat di belakang punggung para perawat itu. "Oh, ya?"

"Eh, Dok!" ujar salah satu perawat. Ketiganya bergerak, membalikan tubuh dan menatap Tiora dengan gelisah. Ketiganya menggeleng, seperti menyesali tindakan bodoh mereka; tertangkap basah membicarakan orang di depan mereka ini. "Dok sumpah kita nggak membicarakan Dokter. Itu tadi kita-"

Tiora meninggalkan lawan bicaranya tanpa mau menunggu salah satu perawat tadi menyelesaikan kalimat. Dia tersenyum tipis dan segera memencet tombol lift. Kepalanya terlalu berat, pikirannya terlalu fokus ingin pulang ke apartemen saat ini juga. Bukan kali pertama Tiora mendengar secara langsung beberapa perawat bergosip tentang hubungannya dan Vano. Tiap kali mereka ketahuan, Tiora selalu mengabaikan. Bukannya tidak peduli, tapi memang tidak penting untuk dipikirkan.

Saat tiba di area depan, Tiora kehilangan keseimbangannya. Tapi dengan ajaib, Tiora masih berdiri tegak saat sebuah tangan kokoh mengejutkannya; merangkul pinggang Tiora dan membantunya berdiri tegak.

"Kata Vania, kamu sakit."

"Eh, kamuㅡ" Demi Neptunus, jantung Tiora terlonjak kaget. Dia kebingungan mengapa Vano bisa ada di tempat ini. Rasanya, dia ingin kembali ke ruangannya dan bertanya pada Vania; kenapa menghubungi Vano untuk datang?

"Kenapa? Kok kelihatan kaget ada aku di sini?"

Tiora menggeleng. Keduanya berjalan dalam diam menuju mobil Vano yang terparkir tidak jauh dari tempat Tiora berdiri. Baru Tiora duduk nyaman dan memejamkan mata ketika Vano mengendarai mobilnya keluar dari area rumah sakit, dia terbangun saat ponselnya berbunyi karena ada panggilan masuk dari Vania. Tiora mengubah posisinya sedikit menyamping. Dengan suara serak, dia mengangkat panggilan itu.

"Halo."

"Lo harus tahu! Suami lo rela nggak ikut rapat sama klien pas gue bilang lo sakit dan mau pulang ke apartemen."

"Oh..."

"Eh, respon lo cuma 'oh' saja? Lo tahu nggak sih, kata Drian, tadi raut wajah Vano kelihatan kaget pas gue telepon. Walaupun dia bisa menyembunyikan itu dengan baik. Dia sampai mempercayakan urusan rapat sama laki gue, loh."

Tiora masih mendengarkan Vania berbicara di seberang sana sambil sesekali memijat-memijat keningnya.

"Gila, Vano tuh suami yang gercep dan peka. Apa pun dia lakukan buat lo!" kata Vania, ucapan perempuan itu membuat Tiora mencuri-curi pandang pada Vano yang sibuk menyetir di sampingnya.

"Vania, gue mau istirahat dulu. Nanti gue telepon lagi kalau sakit di kepala gue ini sudah menghilang." Tanpa menunggu jawaban dari Vania, Tiora segera mematikan panggilan itu secara sepihak.

Vano menoleh saat Tiora memilih menyandarkan kepalanya pada leher kursi; memejamkan mata seolah tidur. Tiora juga tidak banyak bicara. Sesekali, tangan Vano bergerak menyentuh kening dan leher Tiora, mengecek suhu tubuh perempuan itu di sela-sela kegiatannya menyetir. Dia khawatir kalau Tiora demam. Tapi, suhu tubuh perempuan itu tidak panas, cenderung normal.

"Kamu sakit apa?" kata Vano, menoleh ke arah Tiora sekali lagi. "Sudah makan atau belum? Kalau belum, nanti aku pesan makanan lewat aplikasi online."

"Aku pusing." Tiora mengeratkan pegangan tangannya pada sabuk pengaman, matanya tidak menoleh ke arah Vano. Tapi, pada deretan mobil di samping kirinya melalui kaca. "Mau makan sesuatu yang berkuah."

"Seperti apa?"

"Mau yang hangat dan berkuah, Vano. Kamu pikirkan sendiri, kenapa kamu nanya sama aku?"

"Kan kamu yang mau makan. Kenapa jadi aku yang disuruh mikir?" Vano mengerutkan kening. "Nanti kalau nggak sesuai selera kamu, bagaimana? Bilang saja apa nama makanannya, nanti aku beli."

"Tebak saja."

Vano menghela napas, terlihat pria itu sedikit kesal mendengar jawaban Tiora. Otaknya bekerja ekstra untuk menemukan makanan yang Tiora inginkan saat itu juga. Tiora bisa melihat Vano memijat pelipisnya. Entah mengapa, tindakan itu membuat Tiora menyunggingkan senyum dalam hati. Dia suka melihat Vano dijahili dan berpikir keras seperti sekarang ini.

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang