20

24.2K 1.2K 23
                                    

Tiora dan Vano sampai di tempat yang Vano maksud, butuh satu setengah jam untuk mencapai tempat ini dari pusat kota Bandung. Konon, masyarakat di sekitar daerah ini menyebut tempat ini sebagai kolam yang dijadikan sebagai tempat pemandian bidadari.

Perumpamaan itu tidak berlebihan. Mengingat, tempat itu merupakan kolam jernih yang lokasinya cukup terpencil dengan pemandangan alami yang begitu sejuk. Apalagi dengan batu besar yang mengelilingi kolam, begitu eksotis dengan adanya pepohonan di sela-sela batunya. Batu-batu besar yang ada di sekeliling kolam pun sering dijadikan tempat para pengunjung untuk lompat ke dalam sana.

Keduanya mulai berjalan di pinggiran melawan arus sungai. Jalanan di sekitar kolam tidak semulus perjalanan mereka ke tempat ini. Tanah, bebatuan, dan rumput menjadi pemanis jalanan yang mereka lewati.

Beruntung, Tiora mengenakan sandal, bukan sneakers ataupun flatshoes yang sering dia kenakan seperti biasa. Jalanan yang dia tapaki di aliri air yang cukup deras. Belum lagi, bebatuan licin di sana menuntut dia harus berhati-hati agar tidak tergelincir dan jatuh.

Tiora menatap Vano, dia merasa gugup. Hanya ada mereka berdua saja di sana, benar-benar berdua. Tiora bukan takut dengan situasi sunyi di tempat itu. Bukan juga karena Vano mungkin akan berbuat jahat kepadanya. Tapi, ada hal lain yang lebih Tiora takutkan. Dia takut pada apa yang akan mereka lakukan berdua di tempat ini.

Tiba-tiba, angin meniup rambut Vano. pria itu langsung menyibakkan rambut. Anehnya, Tiora suka melihat rambut hitam Vano disibakkan seperti itu. Tapi, dia langsung menggeleng pelan. Menyingkirkan berbagai pikiran aneh dari benaknya.

"Apa yang akan kita lakukan di sini?" tanya Tiora saat mereka menginjakkan kaki di batu besar, memandangi cekungan kolam di depannya.

Tanpa peringatan, Vano meloloskan kaus yang dia pakai dari tubuhnya. Sialnya, Tiora harus menahan diri, seolah memberi perintah pada matanya untuk tidak menatap otot-otot Vano yang terlihat begitu kokoh di depan sana, apalagi saat Vano membungkuk dan melepaskan celana panjangnya. Menyisakan celana pendek yang pria itu kenakan.

"Kenapa kamu melepas baju?"

"Tutup mata kamu." kata Vano, suaranya terdengar lebih parau dari biasanya.

"Sebentar! Sebentar!" Tiora nampak gugup, menatap Vano dengan curiga. Seolah bingung mendengar permintaan pria itu. Sedangkan Vano tersenyum, berusaha meyakinkan. "Apa yang mau kamu lakukan?"

"Tutup mata, Dokter Tiora."

"Vano, kamu--"

Vano yang tidak sabar menutup mata Tiora dengan telapak tangannya. Setengah berbisik memberi perintah pada Tiora untuk melepas sandal. Sedangkan tangannya yang lain tanpa sengaja menyentuh paha Tiora. Anehnya, Tiora merasa panas. Dia meringis ngeri kenapa tubuhnya harus merespon sentuhan Vano seperti itu? Oh ayolah, Tiora tahu hubungan mereka berdua hanya sebatas teman. Jadi, dia harus mengabaikan perasaan aneh itu.

"Siap?" Vano merengkuh pinggang Tiora. Dalam hitungan detik, Vano membawa Tiora melompat dari atas batu ke dalam air kolam yang tidak terlalu panas. Begitu sejuk.

Kejadian itu begitu cepat, Tiora berteriak lalu berusaha menyeimbangkan tubuhnya dalam air. Di depannya, Vano terlihat khawatir, mengelus-elus punggung Tiora--mungkin menyesali tindakannya. Apalagi saat Tiora sedikit terbatuk karena air masuk melalui celah lubang hidungnya yang terasa sedikit perih

"Kamu!" Tiora menatap nyalang. "Kamu nggak bilang kalau kita akan berenang di sini. Saya nggak bawa baju ganti. Saya pulang nanti bagaimana? Basah kuyup begini." Keluh Tiora. Kaus yang Tiora kenakan sedikit menggelembung karena air yang masuk ke dalam sana, dia kerepotan karena harus mengatur kaus yang dia kenakan untuk tetap berada di tempatnya.

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang