12

26.8K 1.3K 25
                                    

Sabtu pagi pukul tujuh, Tiora memilih untuk melakukan jogging di salah satu fasilitas olahraga yang disediakan kampus ternama. Saraga. fasilitas olahraga ini tidak hanya diperuntukan untuk mahasiswa ITB saja, tapi semua orang, karena tempat ini terbuka untuk umum.

Setelah lelah lima hari bekerja dalam satu minggu, Tiora berpikir hari ini saatnya dia menyisihkan sedikit waktu untuk berolahraga di akhir pekan. Tidak perlu olahraga yang terlalu berat dan mahal, dia melakukan olahraga paling mudah dan murah dengan jogging.

Sebagai seorang dokter, selain mempunyai tugas melayani dalam bidang kesehatan bagi masyarakat luas, dia juga mempunyai tugas rutin. Yakni, untuk memelihara kesehatan diri sendiri. Jadilah sekarang dia melakukan olahraga, sebenarnya tidak terlalu sering. Tapi, cukup untuk menjaga ketahanan tubuh.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi saat Tiora berhenti sejenak melakukan putaran lari yang tidak dihitung jumlahnya di lapangan itu. Dia mengedarkan pandangan sebentar kemudian terlonjak kaget. Matanya hampir terlepas dari tempatnya melihat seorang pria yang tidak ingin dia temui kini tengah berlari di lapangan yang sama.

Kedua bola mata mereka saling bertemu. Dengan terburu-buru, Tiora segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dari sudut matanya, Tiora tahu pria itu sedang berlari mendekat ke arahnya. Dari seribu kemungkinan yang ada di dunia ini, Tiora mengomel dalam hati, kenapa dia malah harus bertemu Stevano di Saraga?

Tiora buru-buru mempercepat langkahnya, kembali berlari di lap lapangan. Namun, dia kehilangan keseimbangan dan hasilnya dia terjatuh. Kejadian itu otomatis membuat Tiora mengerang kesakitan, lututnya mulai mengeluarkan darah dan kakinya terasa sangat sakit. Bahkan, penglihatannya mulai kabur.

"Menghindari saya?" Suara Vano terdengar begitu jelas, Tiora bisa merasakan aroma khas lelaki itu mendekat--berdiri di depannya.

Tiora masih meringis kesakitan. Dia mengutuk dirinya sendiri dengan bertindak konyol, tidak berhati-hati dalam berlari untuk menghindari Vano yang menyebabkan dirinya terjatuh. "Hah? Kepedean banget ya kamu. Lagian, saya nggak tahu ada kamu di sini." ucap Tiora sambil menatap Vano cukup sinis.

"Yakin?" Vano menaikkan satu alisnya. "Padahal saya yakin kalau tadi mata kita saling bertemu." Sedetik kemudian Vano membungkukan tubuhnya, mengangkat Tiora dengan perlahan dan membawanya ke pangkuan. Tindakan itu membuat Tiora memekik tidak percaya akan apa yang baru saja Vano lakukan. Vano memperkuat tangannya. Dia berjalan ke pinggir lapangan, membawa Tiora untuk duduk di salah satu kursi besi terdekat sebelah tangga keluar - masuk.

"Apa yang sedang kamu lakukan? Turunkan saya, Stevano. Saya bisa berjalan tanpa perlu kamu gendong seperti ini."

"Berjalan sambil meringis kesakitan dengan lutut yang berdarah?" Kali ini nada suara Vano terdengar begitu dingin. "Kamu gila?"

"Turunkan saya, Stevano Rajasa yang terhormat." Ucap Tiora pelan.

"Oke, saya akan menurunkan kamu setelah kita sampai di dekat tangga itu dan saya akan menjatuhkan kamu supaya kamu dapat luka yang lebih parah dari ini. Puas?"

Ucapan Stevano membuat Tiora kehabisan akal. Dari sekian banyak kata yang keluar dari mulut pria itu, semua bernada dingin dan menyebalkan. Tanpa mau membalas perkataan Vano, kali ini Tiora memilih diam. Dia memilih untuk tidak berdebat panjang. Toh, Vano selalu punya ribuan kalimat yang akan membuat dia menang di setiap perdebatan mereka.

"Tunggu di sini." Kata Vano saat dia berhasil mendudukan Tiora pada salah satu kursi panjang berwarna hijau. Lalu, dia pergi--menghilang dari pandangan Tiora. Menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana.

Tapi, tidak membutuhkan waktu lama, Vano segera kembali sambil membawa kotak kecil berwarna putih dengan logo tanda plus merah. Dia segera menunduk dan mengambil tempat dihadapan Tiora, setengah berlutut.

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang