Tiora duduk di salah satu bangku coffee shop, mengetuk-ngetukan telunjuk tangan kanannya selama beberapa kali. Tidak jarang, dia melihat ke kanan dan ke kiri sambil sesekali matanya memperhatikan beberapa orang berlalu lalang, keluar - masuk pintu utama mall di Jalan Merdeka ini. Dia menunggu Vania yang tengah sibuk melakukan pemesanan di kasir.
Vania ingin mentraktir satu cup kopi enak sambil melepaskan penat karena pekerjaan. Maklum saja, keduanya memang sudah tidak pulang ke tempat kos selama beberapa hari karena kesibukan di rumah sakit.
Beberapa kali mata Tiora melirik ke arah luar melalui kaca yang berada persis di sebelahnya, dan dia menyesal mengambil posisi duduk di tempat ini. Karena entah kenapa setiap dia memperhatikan suasana di jalan ini, dia jadi teringat dengan sosok pria yang bertemu dengan dirinya di restoran cepat saji, sebelah coffee shop ini.
Beberapa detik kemudian, Tiora terkejut, matanya melihat si pria yang dia pikirkan tadi baru saja melangkah masuk ke dalam sana. Satu minggu sejak pertemuan terakhir mereka, pria itu masih membawa segudang pesona yang mampu membuat para wanita terpana.
"Eh, ada Vano tuh." ucap Vania saat dia tiba membawa minuman yang mereka pesan, perempuan itu memiringkan badan agar lebih leluasa memperhatikan Vano yang duduk tidak jauh dari meja mereka.
Tiora mengambil cup nya, beruntung Vania sibuk membuka sedotan sehingga dia kehilangan kesempatan untuk menggoda Tiora. Tiora segera mengalihkan pandangannya, berusaha menjaga ekspresinya untuk tetap tenang yang menurut Tiora, sedikit aneh.
"Heh, Ra. Ada Vano." ucap Vania sekali lagi, kali ini dengan tatapan seolah memberi kode pada Tiora.
"Iya, terus kenapa? Dia bukan siapa-siapa gue ini. Nggak penting." jawab Tiora cukup ketus. Mata cokelatnya memilih memandang pada cup coffee daripada harus menerima tatapan menyelidik dari Vania.
"Yakin nggak penting?" Vania menggosok ujung dagunya dengan jari, sambil tertawa kecil, tangannya bergerak mengambil garpu, memotong red velvet--kue kesukaannya dan mengunyah dengan pelan. "Gue yakin sebenarnya mata lo ini gatel pengen lihat dia. Cuma jaim aja."
Vania benar, pertahanan Tiora goyah. Pada akhirnya, matanya memilih untuk memperhatikan Vano. Pria itu sibuk membuka Macbook, memusatkan matanya pada layar--menampilkan desain yang terkejar deadline sambil sesekali meminum minuman yang dipesan. Bahkan, isi di dalam cup kopi itu hampir tandas.
Tidak lama, kursi di seberang meja Vano ditarik dan di duduki dengan cara yang manis. Menginterupsi Vano, membuat Vano mau tidak mau harus menghentikan kegiatannya dan mendongak, tanpa ekspresi.
"Mocha latte masih jadi favorit kamu ternyata." Kata Davina, lalu tangannya memindahkan satu cup Mocha latte yang dia bawa lebih mendekat ke arah Vano. "Tadi aku lihat Mocha latte yang kamu pesan sudah mau habis. Jadi, aku belikan yang baru untuk kamu."
Vano menghela napas, menatap Davina dengan tatapan dingin. Seolah dia tidak berminat untuk berbasa-basi dengan perempuan di depannya ini.
"Aku nggak berminat buat minum minuman yang kamu beli." Jawab Vano dengan tegas.
"Vano..." Keduanya terlalu sibuk saling menatap, berusaha menyembunyikan apa yang ada di pikiran masing-masing.
Vano menutup macbooknya, menatap nyalang ke arah Davina. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Vano dengan nada suara bergetar menahan emosi.
"Vano, please..." Tangan Davina dengan sengaja menyentuh pipi Vano dan pandangan Vano berubah. Pria itu sedikit tegang dan Tiora terkejut karena tingkah Vano yang berbeda.
Tiora memperhatikan interaksi keduanya. Tanpa sadar, tangannya mencengkram ujung kemejanya dengan sangat kencang. Tatapan Vano, ekspresi Vano... begitu berbeda. Tiora tidak pernah melihat itu sebelumnya. Jangan melihat mereka lebih jauh, Tiora. Jangan.
"Tolong, Davina. Kamu tidak berhak mencari tahu semua hal tentang kehidupan aku. Kamu hanya orang asing untuk aku sekarang."
Vano merasa tidak tahan berhadapan dengan Davina. Selain karena dia tidak ingin berbicara dengan Davina, Vano juga merasa jijik pada dirinya sendiri karena sempat tergila-gila dengan perempuan yang pernah melukai harga dirinya sebagai pria.
Dengan terburu-buru, Vano memasukan macbook ke dalam tas nya. Pria itu melangkah keluar dari coffee shop. Diikuti Davina yang mengekor dari belakang. Menyisakan Tiora yang kebingungan dengan drama keduanya.
"Vano tunggu, aku--"
"DAVINA!" Tatapan marah dari Vano membuat perempuan itu membeku untuk beberapa detik. Davina menelan salivanya dengan kasar, mengumpulkan banyak keberanian untuk mendekat ke arah Vano saat keduanya tiba di pintu keluar area coffee shop itu.
"Stevano." Kata Davina, tangannya menggenggam tangan Vano. "Maaf." Suara Davina terdengar bergetar. "Aku tahu aku salah. Kesalahan aku terlalu besar sampai aku sendiri malu untuk meminta maaf sama kamu. Maaf kalau aku telat menyadari kesalahan aku."
Tangis Davina pecah. Dengan modal kenekatan, Davina membawa tubuhnya mendekat ke arah Vano. Tangannya melepaskan lengan Vano, berganti meraih kedua sisi jas Vano, mencengkram bagian itu dengan sangat kencang.
"Tolong... Jangan seperti ini. Aku sangat kehilangan kamu. Sumpah aku menyesal."
Davina bersiap untuk mendaratkan kepalanya pada dada bidang Vano, namun niatnya tertahan saat kedua tangan Vano meraih kedua bahunya. Bukan untuk membawa Davina ke dalam pelukannya, Vano justru sengaja menjauhkan tubuh Davina darinya.
"Jangan ganggu aku, Davina. Hidup aku sudah sepanas neraka saat bersama kamu. Tolong, tidak bisakah kamu berperan seolah kita ini tidak saling mengenal?" Vano mengambil napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan. "Jangan paksa aku untuk bersikap kasar. Sumpah, aku tidak tertarik dengan semua sikap dan ucapan kamu."
Stevano memutar kembali tubuhnya. Dia merasa kembali ke masa kelamnya beberapa tahun lalu, ingatan demi ingatan pahit terlintas begitu saja. Membuat kepala Vano berdenyut sakit. Seakan meminta untuk dibenturkan pada tembok berkali-kali untuk mengurangi rasa sakit itu.
"Aku bukan Davina yang dulu, Stevano Rajasa. Ayo kita perbaiki semuanya. Kamu pria yang aku butuhkan untuk ada disamping aku. Aku tidak ingin menyesal karena melepas kamu seperti dulu."
Dengan berat hati, Vano kembali berbalik untuk menatap Davina. Lalu, membawa tubuhnya sangat dekat dengan Davina. Bahkan, Vano bisa melihat ada bayangan senyum kemenangan yang siap ditarik Davina. Perempuan itu berpikir, Vano membalikan tubuh ke hadapannya untuk menerima semua ajakan manisnya.
"Davina Gunawan. Aku pernah menjadi murah untuk kamu, memohon-mohon agar kamu pulang dan kembali ke pelukan aku. Apa kamu lupa? Apa karena itu kamu memandang rendah aku dan menganggap kalau aku akan jatuh lagi dalam genggaman tangan kamu?" Vano menatap tajam ke arah Davina.
"Aku..."
"Aku bukan pria dungu yang akan jatuh di tempat yang sama."
"Vano."
Davina terkejut bercampur patah hati. Vano baru saja menolaknya, pria yang dulu begitu tergila-gila padanya baru saja mengabaikan permintaannya untuk memulai hubungan baru.
"Sudahlah, Davina. Jangan mendebat masalah tidak penting ini."
Davina menggeleng tidak terima, tangan Davina kembali meraih ujung jas Vano. Bahkan, Vano merasakan ujung kuku Davina menusuk kulitnya. Vano melepaskan cengkraman tangan Davina secara kasar. Setengah mati dia menahan diri agar dia tidak berteriak. Vano pergi, tanpa peduli dengan orang-orang yang sibuk menatap ke arahnya karena kejadian memalukan ini.
Sedangkan di dalam sana, Tiora mulai paham. Dia menghela napas. Tiba-tiba, rasa sakit menjalar di hatinya. Bayangan tatapan Vano saat menatap Davina membuat Tiora yakin bahwa Vano berbohong. Vano mengenal Davina. Bahkan, lebih dari itu... ada hubungan istimewa yang sempat terjalin diantara keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Romance[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...