49

12K 689 58
                                    

Seakan lupa dengan kenangan pahit yang dia ciptakan di masa lalu, itulah yang terjadi pada Davina. Perempuan ini tetap keras kepala untuk mendekati Vano. Dia ingin menjadikan dirinya sendiri sebagai tempat Vano bersandar setelah kejadian buruk yang menimpa pria itu, berusaha menunjukkan jika dirinya ada dan tidak akan pergi meninggalkan Vano. Meski sudah mendengar ratusan kata penolakan dari pria di depannya ini.

"Bisakah kamu berhenti menemui aku? Hah?" Tegas Vano, pria itu menatap tajam ke arah Davina. Sementara, Davina diam. Vano mengabaikan pandangan Davina yang mulai tidak nyaman dengan beberapa orang yang berlalu lalang memandang mereka di koridor. "Berapa kali aku harus bilang sama kamu supaya kamu paham, jangan ganggu aku."

"Vano."

"Apa itu susah untuk kamu lakukan? Apa alasan kamu mendatangi aku terus-menerus? Jujur, aku risih."

Untuk sejenak, keduanya terdiam; menciptakan suasana sunyi cukup lama di sana. Sampai akhirnya, pandangan Vano menangkap sosok Drian di ujung koridor lainnya, seolah pria itu tengah memperhatikan interaksi mereka. Entah apa yang sedang Drian lakukan di sana. Seingatnya, dia tidak meminta Drian untuk datang ke rumah sakit saat menelepon pria itu terkait urusan mendiang Ibu Tiora.

Bagaikan maling ketahuan mencuri, Drian langsung mengubah ekspresi wajahnya, pria itu menampilkan amarah yang menurut Vano, agak sedikit aneh. Dengan gerakan cepat, Drian menghampiri Vano dan Davina; berdiri di antara keduanya. Seolah mencoba melerai pertikaian yang terjadi. Drian menarik tangan Vano dan membawa pria itu untuk sejajar dengannya.

"Aduh, bosku Stevano. Kenapa spesies Jin ifrit satu ini bisa muncul di sini, sih? Lo kapan datang sih, Davina yang katanya model dan cantik terus banyak fans? Kenapa tadi gue nggak lihat lo di parkiran, ya?" Drian menggaruk-garukan tengkuk kepala, seolah tengah berpikir. "Maaf bosku, kalau gue lihat, mungkin udah gue hadang cewek ini buat nyamperin lo."

"Kenapa sih kamu tuh, Dri? Aku cuma mau mengucapkan ucapan belasungkawa aku ke Vano secara langsung sambil menjenguk Tiora." Davina menghela napas kasar di depan wajah Drian. "Masa aku nggak boleh menjenguk istri dari mantan suami aku? Kok kamu seolah melarang dan repot urusin aku?"

Vano meraup wajahnya dan menghela napas secara bersamaan. Apalagi saat nama Tiora diucapkan penuh penekanan. Setengah mati Vano berusaha menetralkan emosinya. "Harusnya gue yang tanya sama kalian berdua, ngapain kalian ada di sini? Lo juga, Dri. Kok tiba-tiba datang ke sini? Kan tadi di telepon gue bilang kalau gue mau on the way ke rumah lo."

"Oh, itu..." Drian melirik Davina, lalu pandangannya berpusat pada Vano. "Mau ketemu Vania, lah. Sekalian mau periksa tensi, takutnya tensi darah gue naik habis lihat cewek satu ini."

Baik Vano maupun Davina, keduanya tidak ada yang menanggapi perkataan Drian. Dengan langkah sedikit diseret, Davina justru semakin maju ke depan tubuh Vano hingga menciptakan jarak kurang dari satu meter di antara mereka.

"Aku hubungin kamu, kamu nggak pernah angkat atau balas pesan aku. Aku mau mengucapkan ucapan belasungkawa. Kenapa kamu nggak balas panggilan aku?"

Baru Drian bersiap membuka mulut, Vano segera mengangkat tangannya, meminta Drian memberi dia waktu untuk berbicara dengan Davina. Tanpa bantahan, Drian menurut.

"Aku khawatir sama kamu, Stevano."

"Sepenting apa sampai aku harus mengangkat dan membalas pesan kamu? Kenapa kamu mendadak ribet ngurusin hidup aku?"

Vano tidak tahan berhadapan dengan Davina. Demi apapun, dia merasa jijik dengan tingkah laku Davina. Seolah perempuan ini peduli dengan keadaannya. Vano berniat meninggalkan area koridor, tapi tertahan saat Davina menggenggam tangannya dari arah belakang.

"Van, aku cuma khawatir. Kamu juga terlihat kurang tidur."

Untuk kesekian kalinya, Davina tidak mau paham kalau Vano benar-benar muak dengan kehadirannya. Bahkan, saat pria itu menghempaskan tangannya dengan kasar, dia tetap setia mendekat ke arah Vano. Meski sedikit tersentak dengan apa yang baru saja Vano lakukan.

"Istirahat dulu. Ini aku bawa makanan kesukaan kamu, Chicken Teriyaki. Di makan dulu, atau kamu mau makan di kamar rawatnya Tiora? Aku ikut."

Kening Vano mengerut, dia menghela napas lambat sambil kembali menyugar rambutnya. Apa yang harus dia katakan agar Davina mengerti, dia tidak berminat dan tidak suka dengan bentuk perhatian apa pun yang diberikan untuknya.

"Kemarin aku ke restoran Jepang enak di Jakarta. Terus, makan ini. Aku kepikiran buat ke Bandung dan kasih ini ke kamu, sekalian sambil jenguk perempuan bernama Tiora itu. Lumayan lah, rasanya nggak terlalu mengecewakan." Dengan modal kenekatan, tangan Davina berusaha untuk menggapai tangan Vano, menyisipkan tas kanvas berisi Chicken Teriyaki yang dia bawa. Tapi, selalu ada hal yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Lagi-lagi, Vano menolak. "Kamu tuh kenapa sih? Aku tuh peduli sama kamu!"

"Pulang, Davina." Vano menarik napasnya dalam-dalam, menghembuskannya secara pelan. "Jangan paksa aku bersikap kasar dan membuat keributan memalukan yang berpotensi mengganggu pasien di sini." Vano memutar tubuhnya, dia kembali meneruskan niat awal yang tertahan karena kehadiran Davina di sana; masuk ke ruang rawat Tiora.

"Kamu mau ke mana? Mau ke istri kamu si anak haram yang cacat otak itu?"

Langkah kaki Vano berhenti. Dengan cepat, dia kembali menghadap ke arah Davina. Emosi yang Vano tahan kini tidak bisa dibendung lagi. Apalagi saat telinganya dengan jelas mendengar Davina melemparkan kata hinaan untuk Tiora.

"Ulangi ucapan kamu."

"Kok kamu marah? Aku lagi bicara kenyataan. Dia memang anak haram, kan? Terus, orang yang koma itu biasanya mengalami cacat otak, iya kan? Aku yakin, dia nggak akan bisa memuaskan kamu seperti sebelumnya." Davina tersenyum miring. "Bahkan tadi aku lihat, untuk berjalan saja Tiora nggak bisa, harus diantar suster pakai kursi roda. Sebaiknya, kamu segera cari pengganti dia karena—"

Tanpa aba-aba, Vano menerjang leher Davina hingga perempuan itu hampir terjungkal ke tembok. Hanya ada satu hal dalam otak Vano saat ini, menghentikan ucapan omong kosong Davina dengan mencekik leher perempuan itu. Bagi Vano, Davina sudah sangat kelewatan dengan mengatai Tiora seperti itu. Dia tidak bisa lagi mentolerir ucapan Davina.

Melihat adanya emosi Vano yang tidak dapat dibendung, Drian kembali melerai. Pria itu berusaha menarik tangan Vano untuk terlepas dari leher Davina. Apalagi saat Davina mulai terbatuk kecil dan kesulitan bernapas. Memancing emosi Vano ibarat memancing amarah harimau yang sedang tertidur. Fatal untuk dilakukan oleh siapapun, terutama yang berkaitan dengan perempuan penting dalam hidupnya.

Tidak lama Vano melakukan itu, tapi cukup membuat Davina ketakutan. Vano menghela napas, mengumpulkan sisa-sisa kewarasannya yang sempat berpencar entah kemana karena tindakan gila tadi.

"Aku berhenti dari proyek rumah impian kamu. Silahkan cari konsultan lain untuk mengurus proyek itu. Sekali lagi kamu berani menghina Tiora dan menampakkan diri kamu di depan aku, aku nggak akan segan-segan bertindak lebih kasar dari ini."

Saat Vano hendak berbalik, Davina kembali menahan pria itu, untuk yang kedua kali. Kali ini, dia mencengkram kaos Vano dengan kuat. "Aku minta maaf sudah buat kamu marah. Aku mau kamu, jangan menolak kehadiran aku kayak gini, Stevano."

Seolah menantang maut, perempuan itu mendaratkan sebuah ciuman di bibir Vano tanpa bisa Vano antisipasi terlebih dahulu. Drian membelalakan mata, terkejut. Buru-buru Vano melepaskan ciuman mereka—yang dipaksa atas keinginan Davina. Tepat saat itu pula, bunyi suara orang yang terkejut—tapi tertahan, terdengar dari sudut lain.

Vano memandang ke sumber suara dan terkejut bukan main. Mata Vano terbelalak, menatap pada Tiora. Perempuan itu seolah tengah berusaha mencerna situasi yang terjadi antara dia dan Davina.

Entah sejak kapan Tiora dan Suster Vivi berada di sana. Dia tidak melihat keberadaan Tiora beberapa saat yang lalu. Tapi yang pasti, Tiora melihat ciuman yang dilakukan Davina padanya.

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang