21

23K 1.1K 34
                                    

Tiora menggigit ujung kukunya dengan gusar. Harusnya dia pulang karena tidak memiliki jadwal jaga. Tapi, dia malah terdiam di kursinya memikirkan tentang Vano yang tidak lagi memberi kabar lima hari sejak liburan singkat mereka.

Memang lo siapanya Vano, Tiora? Sadar. Apa pentingnya memikirkan Vano yang tidak menghubungi? Tiora pun tidak paham dengan kebimbangan hatinya ini. Tiora juga tidak tahu mengapa dia ingin mendapatkan kabar terbaru dari Vano, saling mengirim pesan singkat dengan pria itu melalui aplikasi chat, atau sekedar berbasa-basi di telepon. Apalagi, hampir dua bulan ini, mereka sering menghabiskan waktu bersama.

Andai saja Tiora tahu status dia dan Vano ini sebenarnya apa, berteman atau dalam tahap pendekatan? Tidak keduanya atau lebih dari itu? Tapi, kalau dipikir ulang, tidak ada teman yang berciuman dengan melibatkan perasaan. Jadi, sebenarnya hubungan mereka ini apa?

Bangun, Tiora! Kenapa lo jadi mikirin hal itu? Gerutu Tiora dalam hati.

Makin lama, Tiora makin frustasi. Untuk sejenak dia terdiam, memandang pada layar ponsel. Mengecek aplikasi chat, mencari nama Vano di sana. Tidak ada pesan baru, pesan terakhir yang dikirim oleh pria itu pun dilakukan lima hari yang lalu.

Tiora makin menjerit kesal dalam hati. Ada cara mudah bagi Tiora agar bisa berbasa-basi dengan pria itu, menghubungi lebih dulu. Tapi, tidak Tiora lakukan. Dia malu dan... sedikit gengsi, tentunya.

Tiora menggeleng pasrah, dia tidak mau terjebak dalam situasi menyebalkan itu terlalu lama. Saat dia berbalik dari kursinya, dia menemukan Vania sedang duduk sendiri dengan minuman yang tinggal setengah di atas meja nya. Tiora menghembuskan napas melihat Vania, melamun dengan pandangan kosong-menatap layar ponsel.

"Lo kenapa, Dokter Vania?" kata Tiora begitu duduk di depan kursi meja Vania.

Vania menghela napas dan menatap Tiora, mendelik kesal. "Gue sebel, Drian susah banget diajak jalan." ujarnya.

Tiora mengangguk pelan. Ternyata, di ruangan itu bukan hanya dia saja yang frustasi, tapi Vania juga. "Kenapa? Dia sibuk banget?"

"Iya." Vania mendengus sebal. "Banyak proyek menumpuk untuk segera diselesaikan." Vania menyilangkan tangannya. "Gue kasihan juga sih sebenarnya sama dia. Biasanya kan proyek yang ditangani dikerjakan bareng sama Vano. Tapi, gara-gara Vano kecelakaan, semua dia handle sendiri. Jadi dia nggak ada waktu buat gue. Apalagi-"

Kalimat Vania belum juga selesai, tapi wajah Tiora sudah berubah pucat pasi. "Vano kecelakaan? Kapan?"

Tiora meremas tangannya, hingga kuku jarinya menusuk telapak tangan. Kalimat Vano mengalami kecelakaan mengulang di otak Tiora. Untuk waktu yang sangat lama, Tiora dan Vania saling beradu pandang.

"Eh serius, lo nggak tahu, Ra? Gue kira lo udah tahu."

"V-Vania." Hanya itu yang mampu diucapkan Tiora.

"Kejadiannya lima hari yang lalu, malam hari. Motor yang dikendarai Vano ditabrak mobil sampai terseret beberapa meter. Drian bilang, Vano mendapat luka berat di bagian kepala tepatnya di area pelipis mata. Terus, luka ringan di bahu sama tangan kiri. Sempat dibawa ke rumah sakit tapi sekarang ada di rumah, rawat jalan. Sumpah gue-"

Tiora buru-buru berdiri, mengambil tas dan melepas sneli begitu saja. Mengabaikan Vania yang memanggil namanya. Saat berjalan di koridor rumah sakit, Tiora menghela napas untuk membuang sedikit ketegangan dalam dirinya.

Tiora berusaha mengendalikan diri selagi menunggu pesanan ojek online sambil memperhatikan orang-orang yang sibuk keluar masuk pintu utama rumah sakit. Pantas saja dia tidak melihat Dokter Tina ada di rumah sakit beberapa hari terakhir.

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang