"Nggak usah pasang muka tegang gitu, Raphael. Sumpah, jelek!" ucap Drian yang terlihat sama-sama tegang saat mereka berdua tiba di depan pintu kamar Vano.
"Seorang Raphael Rajasa nggak pernah kelihatan jelek." Tidak ada tawa dari Drian, pria itu lebih memilih menyandarkan pelipisnya pada pintu dan membiarkan otaknya menghitung detik demi detik yang mereka lewati berdiri sambil mengumpulkan keberanian. "Jadi, siapa yang mau ngetuk pintu lebih dulu?"
"Kamu saja, kan kamu adiknya."
"Enak aja!" Raphael mengajukan protes. "Abang aja, aku nggak berani sumpah."
Drian merangkul pundak Raphael, menuntun Raphael menghadapkan tubuhnya pada pintu. "Sama, abang juga nggak berani. Tapi, abang takut terjadi apa-apa. Jadi, kamu duluan yang ketuk pintu ini terus minta izin sama Vano buat buka. Nanti abang ikut nyaut belakangan."
Raphael meneguk ludahnya. "Suit aja yuk Bang, biar adil."
Drian mengangguk sebagai tanda setuju. "Oke."
Saat keduanya hendak melakukan apa yang diusulkan oleh Raphael, pintu kamar Vano terbuka perlahan. Keduanya melirik secara otomatis, lalu menghela napas lega.
Raphael langsung melingkarkan tangannya pada pinggang Vano dengan sangat erat. Tanpa peduli dengan ekspresi Vano yang kebingungan dengan aksinya. Raphael Menyandarkan kepalanya pada dada Vano, lalu memeluk Vano lebih erat lagi. Untuk alasan yang sulit dijelaskan, Raphael ingin berterima kasih kepada Tuhan, setidaknya dia tidak melihat kakaknya dalam kondisi mengenaskan seperti yang sudah-sudah.
Untuk beberapa saat, Vano membisu. Dia mengerutkan kening saat Raphael semakin mengeratkan pelukannya. "Kamu ngapain sih? Raphael lepas. Sumpah kakak nggak bisa napas."
"Jangan protes!" Raphael melepaskan pelukannya dari Vano. "Aku nggak mau kak Vano sedih hari ini."
"Memang kakak kelihatan sedih?" Vano memandangi Raphael dan Drian secara bergantian.
"Mungkin." Raphael mengangkat kedua bahunya. "Mungkin kedengarannya lebay, alay, atau apalah itu. Tapi, waktu aku memeluk kakak tadi, aku bisa merasakan rapuhnya hati kakak. Untuk hari ini, aku mohon kakak jangan terlihat sedih. Aku mau kakak terlihat keren seperti biasanya."
Vano tersenyum getir, menyadari jika adiknya benar-benar peduli dan mengenal dirinya dengan baik.
"Lo mau ke sana?" Tanya Drian sebelum Vano menutup pintu kamarnya yang hanya dibalas anggukan oleh pria itu. "Gue ikut, Raphael juga. Kita temenin lo." Pinta Drian terlihat seperti memohon agar dia diizinkan menemani Vano seharian ini.
.
.
.
.
Vano dan Raphael memandang hampa deretan papan tempat pemakaman umum yang menyambut kedatangan mereka, tempat yang biasa Vano kunjungi selama beberapa tahun terakhir. Sedangkan Drian, pria itu sibuk membuka bagasi, membawa satu buket bunga lily putih yang sudah mereka persiapkan sebelum tiba di tempat pemakaman ini. Konon, bunga ini melambangkan ketidakbersalahan dan rasa simpati.
Langkah Vano terhenti dan beralih melemparkan tatapan tenangnya, tersenyum manis menatap makam bertuliskan Zeline Edrea Rajasa sambil menggenggam bunga lily dan meletakkannya di atas makam itu.
"Papa datang." Katanya, sambil menghela napas kasar di pusara mendiang sang anak, anak perempuan yang sangat dia cintai selama tiga tahun menemani harinya. Sampai sebuah penyakit yang menyerang membuat Vano kehilangan sosok anak tersayang untuk selamanya.
"Hi, Zeline. Om Raphael datang sama Bang Drian dan Papa kamu nih." Raphael ikut berjongkok, memandangi Vano yang sibuk mengusap papan makam di depan sana. "Waktu berlalu begitu cepat, sudah tiga tahun Zeline ninggalin kita. Tapi buat aku, Zeline kayak nggak pernah pergi, dia selalu ada di ingatan dan selalu punya tempat istimewa di hati aku."
"Van... dia tahu nggak sih kalau mendiang anak lo dimakamkan di sini?" Drian menginterupsi, lalu dia sempat terdiam, sedangkan pandangannya sibuk memindai ke segala arah, lalu matanya memicing. "Maksud gue-"
"Enggak." Jawab Vano tegas. Matanya melihat ke arah Drian. "Lo tahu sendiri kan cuma lo dan keluarga gue yang tahu. Cuma kalian yang hadir di proses pemakaman waktu itu."
Tapi, rasa khawatir dan gelisah yang datang secara bersamaan tercetak di wajah Drian. Terlihat jelas Vano berusaha meredam rasa penasaran, apalagi saat pandangan sahabatnya itu menatap hanya pada satu titik di depan sana. Namun, rasa penasaran itu hilang berubah menjadi marah saat Vano berbalik, menatap pada satu sosok yang ditatap Drian sedari tadi. Berdiri dengan wajah tenang dan tatapan tidak bisa diartikan ke arah mereka, sambil membawa buket bunga berwarna sama.
"Van, kata lo nggak ada yang tahu selain gue sama keluarga lo. Tapi..."
Vano enggan untuk mendengar perkataan Drian secara utuh, dia langsung berdiri dan berjalan menuju ke arah sang wanita dengan langkah terburu-buru. Tidak mempedulikan ekspresi kesakitan sang wanita karena lengannya ditarik secara paksa, membawa wanita itu sedikit menjauh dari pusara makam anaknya.
Raphael ingin ikut menghampiri, namun genggaman tangan Drian dan gelengan kepala yang dilakukan pria itu seolah memberi kode kalau Raphael tidak boleh ikut campur dengan urusan Vano sementara.
Vano menarik sang wanita hingga sisi paling ujung dari tempat pemakaman ini, melepaskan genggamannya dan menatap nyalang ke arah sang wanita.
"Kenapa kamu bisa ada di sini? Bagaimana kamu bisa tahu Zeline dimakamkan di sini?" tanya Vano menahan emosi.
"Van..."
Vano mengangkat tangan kanannya tepat di hadapan wajah sang wanita. "Kemarin-kemarin waktu dia masih hidup, aku suruh kamu pulang, tapi kamu sibuk dengan selingkuhan kamu. Sekarang, saat dia terkubur tidak bernyawa di dalam sana, kamu datang." Ucap Vano dengan marah. Seluruh emosinya tidak dapat dibendung lagi. Untuk yang kesekian kali, Vano merasa Davina sudah melewati batas kesabarannya. "Kenapa? Mau sok merasa menyesal? Pergi!"
Vano bersiap pergi, namun tangannya tertahan sesuatu.
"Vano." Davina menarik tangan Vano hingga pria itu kembali berbalik menatapnya. "Aku bukan merasa sok menyesal. Tapi, aku memang menyesal. Aku sudah merenungkan hal ini. Aku sangat... sangat menyesal. Aku mohon, izinkan aku untuk mengunjungi makam anak kandung aku sendiri. Apa kamu mau bersikap egois, tidak mengizinkan aku mengunjungi Zeline? Maksud aku..." Davina menarik napasnya. "Zeline pasti senang kalau papa dan mama nya mengunjungi dia."
Davina mengucapkan semua pemikirannya begitu saja, mengabaikan perubahan wajah Vano yang semakin merah menahan emosi.
"Senang?" Pandangan keduanya saling beradu cukup lama. "Lelucon apa lagi itu, Davina?"
"Vano, please." Davina memelas, menggigit bibir bawahnya cukup keras. Dia merasa frustasi karena Vano terus saja menolak kehadirannya. "Aku mohon, ayo kita perbaiki hubungan kita. Zeline juga pasti bahagia kalau papa dan mama nya bisa bersatu lagi. Aku minta maaf, aku menyesal. Aku berkata dengan jujur kalau aku benar-benar menyesal. Aku sudah merenungi semua kesalahan aku selama ini sama kamu, sama Zeline. Aku..."
"STOP!" Vano melepaskan diri dari genggaman tangan Davina secara paksa. Lalu, dia menciptakan jarak antara keduanya. "Nggak usah bawa-bawa Zeline untuk melancarkan niat kamu." Vano mengambil napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan. "Hentikan semua imajinasi kamu, karena sungguh, aku nggak tertarik dan aku pastikan, aku nggak akan pernah jatuh ke tangan wanita seperti kamu lagi."
Vano memutar kembali tubuhnya, mendadak kepalanya pening, terasa berat. Dia merasa banyak jari telunjuk tak kasat mata terarah kepadanya yang mengatakan jika dia seharusnya mendengar ucapan orang tuanya—terutama Mama yang tidak pernah setuju dirinya menikah dengan Davina, menyalahkan dia karena kepergian Zeline, menyalahkan segala hal dan hinaan sadis lainnya.
Vano berjalan meninggalkan Davina, membiarkan perempuan itu mematung untuk beberapa saat sebelum akhirnya Davina mengambil langkah untuk mengejar Vano menuju mobil laki-laki itu. Tepat saat langkah Davina melewati gerbang parkir pemakaman, suara Drian yang memanggil namanya membuat langkahnya tertahan.
Davina berhenti sejenak, memberikan waktu untuk Drian berlari kecil ke tempatnya berdiri. "Biarin Vano pergi, kita bicara sebentar." Kata Drian penuh amarah dan Davina hanya menurut.

KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Romansa[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...