31

17.9K 926 32
                                    

Vano membawa mobilnya memasuki salah satu cluster yang terletak di perumahan di Jalan Palagan Tentara Pelajar. Setelah memarkirkan mobil, Vano sengera masuk, memberi senyum hangat saat kedatangannya disambut oleh asisten rumah itu.

Langkah kaki Vano terhenti di ruang yang bisa dikatakan sebagai ruang keluarga, sosok yang dicari tengah sibuk melakukan adegan panas di depan sana. Mencium, mencumbu, saling menggoda.

"Kampret, kaget gue Stevano." kedua orang di depan Vano berhenti melakukan aktivitas itu saat menyadari kehadiran Vano yang menatap intens ke arah mereka, si pria terlihat sibuk mengambil kaus berwarna putih yang tercecer di lantai, sedangkan si wanita sibuk membenarkan tali bra yang merosot di tempatnya.

"Hai, Van. Kapan datang? Kok nggak bilang-bilang mau ke sini?" Nadira menyapa dengan ramah, menyembunyikan sesuatu dalam dirinya yang panik dan malu karena Vano menyaksikan kegiatan dia dan Jevin. "Sayang, aku ke dapur dulu, ya? Mau menyiapkan makan malam." Nadira melirik Jevin, matanya berkedip berkali-kali, memberikan kode pada suaminya itu untuk mengatasi situasi canggung ini. "Vano nanti makan malam bareng kita, ya? Kebetulan aku sama Jevin belum makan malam."

Vano tersenyum dan mengangguk. "Iya, Nad. Maaf ngerepotin." pria itu berjalan lebih dekat ke arah sofa, duduk saling berhadapan dengan Jevin.

"Lo kenapa nggak ngomong mau ke sini, sih?" Jevin memperhatikan Vano dengan tatapan kesal. "Sumpah, malu gue."

"Punya rasa malu juga lo ternyata." Vano menoleh, menaikkan satu alisnya. "Kamar lo lagi di renovasi apa gimana? Heran gue, bisa-bisanya lo melakukan kegiatan 'itu' di ruang tengah."

Jevin mencebik, matanya melirik ke arah arloji yang terpasang pada pergelangan tangan kanannya. "Ada apa datang ke rumah gue jam setengah delapan malam begini?"

"Mau nginep."

"Loh, bukannya pas di rumah sakit adiknya Tiora, siapa itu namanya?" Jevin menegakkan tubuh, berusaha mengingat dengan jelas. "Ah, Mima. Dia kan nyuruh lo buat nginep di rumah dia?"

"Iya." Vano meraih bantal kecil di sudut sofa. "Tapi gue nggak enak sama keluarganya Tiora. Jadi, gue bilang sama Tiora, gue mau tidur di rumah lo. Sekalian mau ngasih pengumuman."

"Sumpah, malesin banget lo. Gara-gara lo, kegiatan gue sama istri jadi berantakan." Jevin melemparkan bantal kecil ke arah Vano, masih memasang wajah kesal apalagi saat Vano menatap dengan tatapan tanpa dosa di depan sana. "Ngomong-ngomong, mau kasih pengumuman apa?"

"Gue mau nikah."

"Serius?" Jevin bangun dari sofa, berjalan mendekat ke arah Vano, mendaratkan bokongnya di samping sepupunya itu. "Orang tua lo udah tahu? Terutama nyokap?"

"Belum."

"Woy, gila lo?" Jevin menepuk bahu Vano. "Mau married diam-diam lagi? Lo nggak kapok bikin keluarga heboh sampai nyokap lo marah-marah dan lo di usir? Terus bokap lo hampir kena serangan jantung gara-gara tindakan lo."

Vano mengangkat satu alis, merebahkan tubuhnya pada sandaran sofa. "Kalau dipikir-pikir, dulu gue kayaknya gila banget sampai nekat kayak gitu."

"Bukan gila lagi, tapi satu level di atas nggak waras. Sampai milih Davina dibanding dengerin omongan nyokap lo. Iya sih dia cantik, model, terkenal. Tapi lo dulu buta dan tuli banget, Van. Gue sama Tante Tina udah kasih info ini itu tentang dia, lo nggak percaya. Asli, kayaknya dulu lo tuh kena pelet dia. Sampai Tante Tina memohon sama gue buat nyadarin lo."

Jevin menyugar rambutnya, menghapus sisa-sisa keringat pada kening, mengambil bantal yang ada di belakang tubuhnya.

"Ngomong-ngomong, nyokap udah tahu tentang hubungan lo sama Tiora?"

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang