37

16.1K 829 28
                                    

Tiora terduduk dengan lesu di balik meja kerjanya. Ditemani layar laptop yang menampilkan berbagai informasi mengenai kanker paru. Tadi sore setelah menyelesaikan visite di ruang rawat inap, Dokter Tina meminta Tiora datang ke ruangannya. Perempuan itu mengatakan kalau ibunya akan diterbangkan menuju Singapura minggu depan, menjalani perawatan intensif di sana.

Beberapa kali, Tiora mengerutkan kening, menyimpan kepalanya di atas keyboard laptop dan menghela napas. Rasanya terlalu sesak di dalam sana. Belum lagi, dia merasa pusing karena belum menemukan cara ampuh mengeluarkan ibunya dari penyakit mematikan ini.

Tiora mengangkat kepalanya dari atas laptop dengan cepat saat Vania masuk ke dalam sana. Mata perempuan itu begitu sembab, berkaca-kaca, melamun dengan pandangan kosong. Tiora yakin, Vania bukan menangis karena bahagia.

Hari ini, Vania kembali bekerja sejak menghilang selama hampir satu minggu penuh. Tiora sendiri pun tidak tahu apa alasan dibalik kepergian Vania selama itu. Vania tidak pulang ke tempat kos. Semua pesan dan panggilan yang dikirimkan tidak pernah mendapatkan tanggapan dari Vania. Perempuan itu nampak berbeda, cenderung menghindar tiap kali mereka berpapasan muka.

"Vania." tembak Tiora begitu perempuan itu duduk di depan kursi meja kerja Vania.

Vania hanya melirik Tiora sekilas dan kembali melamun.

"Ra." Kali ini, Vania membuka mulutnya. Tidak lagi menghindar. Perempuan itu sedikit histeris. "Kayaknya, gue mau gugurin kandungan gue."

Tiora terkejut, tetapi dia memilih untuk tidak menanggapi pernyataan Vania. Sudah dia duga Vania akan mengatakan hal ini. Apalagi, setelah kekacauan besar yang terjadi.

"Tenangkan diri dulu, Vania. Kita bicarakan perihal ini dengan baik-baik." kata Tiora setenang mungkin. Ada jeda yang tercipta diantara keduanya, Tiora menggunakan waktu itu untuk menarik kursi; lebih dekat sebelum pandangannya kembali memandang Vania.

"Gue harus gimana, Tiora?" Bibir Vania bergetar, menahan tangis. "Gue nggak berani bilang. Mama gue pasti histeris kalau tahu anaknya hamil di luar nikah." Vania menghela napas dan menatap sambil memijit-mijit kening. "Sumpah, Drian yang gue puja-puja berubah jadi bajingan. Gue bilang, ayo menghadap ke orang tua kita sama-sama. Kita jelaskan duduk perkaranya apa. Tapi, dia menghindar dengan alasan takut lah, nggak berani lah. Gue pusing, Tiora."

Tiora terdiam, Vania pun ikut diam. Vania menatap Tiora dengan penuh rasa kebingungan.

Selama beberapa detik, Tiora hanya duduk diam memandangi Vania, meratapi apa yang perempuan itu perbuat. Sebelum akhirnya dia kembali membuka mulut. "Kita bicarakan hal ini secara persuasif sama orang tua lo. Kita keluarkan semua kemampuan negosiasi yang kita miliki."

"Caranya?"

"Pertama, minta ampun dulu karena membuat mereka kecewa dan sampaikan apa masalah yang lo hadapi. Reaksi orang tua lo mungkin nggak bisa ditebak. Tapi, lo lebih mengenal orang tua lo. Untuk tahap ini, sebaiknya kita sampaikan setenang mungkin dan hati-hati."

"Kalau orang tua gue marah pas gue ngaku, gimana?"

"Orang tua mana yang nggak marah kalau anak gadisnya hamil di luar nikah? Gue bantu lo bujuk orang tua, minta maaf, akui kesalahan dan berjanji untuk bertanggung jawab."

Vania mengangguk, sedikit ragu. "Temenin gue, Ra. Gue takut."

"Iya, Vania." Tiora mengembangkan senyum, sedangkan Vania langsung berpindah tempat duduk di sebelah Tiora dan memeluk Tiora erat.

"Sumpah, lo memang yang terbaik, Ra. Gue jadi sedikit tenang. Jujur, gue sempat kepikiran buat gugurin anak ini. Tapi, gue makin yakin nggak mau gugurin. Kalau pun Drian nggak mau terima, nggak apa-apa." Vania memaksa menyunggingkan senyum. "Drian lari, tapi gue cukup waras untuk mempertahankan anak gue dan jadi single parent. Yang terpenting, gue sama anak gue sehat."

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang