"Apa ada yang ingin kamu ceritakan?" Tiora menguntai senyum tipis, menyelami tatapan mata Vano. Dia mencari hal apa yang mengganggu pria itu. Tapi, dia tidak menemukan jawaban yang tepat atas berbagai pertanyaan yang menumpuk di dadanya. "Kamu terlihat kacau."
"Sangat." Vano menengadahkan kepala, memejamkan mata. Dia tahu Tiora sedang menyelidiki keadaannya. Tapi, dia tidak siap untuk menceritakan semua hal. Tidak untuk sekarang. Setidaknya nanti, saat kondisi Tiora berangsur normal. "Rasanya hampir gila saat mengetahui kamu dan Raphael terlibairt kecelakaan. Lalu, kamu terbaring koma. Rasanya aneh saat harus bersikap biasa saja, menjadi dinding penyangga, dan harus meyakinkan orangtua kalau kalian baik-baik saja. Padahal aku sendiri pun kacau karena kejadian itu."
"Vano." Napas Tiora tertahan, dia tahu ada rasa yang aneh menyelimuti Vano saat mengatakan hal itu. Terutama ketika nama Raphael disebut, suara Vano sedikit bergetar. "Boleh bertanya sesuatu?"
"Boleh, asal jangan menanyakan pertanyaan yang susah."
Tiora terkekeh, kemudian menatap Vano dalam-dalam. "Raphael..." Tiora menyusuri dada Vano dengan jari tangannya, mengusap dengan lembut. "Bagaimana kondisi Raphael? Aku sudah bertanya sama Vania. Tapi, dia bilang lebih baik tanyakan langsung sama Vano. Aku takut dia mendapat luka yang lebih parah dari yang aku alami."
Seketika, raut wajah Vano berubah drastis. Pria itu nampak serius. Dengan gerakan lamban, pria itu menyentuh punggung tangan Tiora yang tadi berada di dadanya. Cukup lama dia terdiam sambil menutup mata. Dengan posisi dan keadaan seperti ini, Tiora merasa seluruh saraf Vano menegang. Seolah Vano mencoba keluar dari pertanyaan yang membuatnya merasa tidak nyaman.
"Raphael..."
Meninggal, Tiora. Dua kata itu berhasil Vano teriakkan dalam hati. Dengan helaan napas berat, Vano mengalihkan pandangannya ke arah lain, meninggalkan tatapan Tiora saat ini sebelum kembali membuka suara.
"Raphael minta untuk dirawat di Singapura. Katanya kalau sembuh total, dia mau langsung jalan-jalan ke Universal Studio. Supaya dekat dan nggak perlu menghabiskan uang untuk tiket pesawat lagi. Untungnya, dia sudah membaik. Tenang, sebentar lagi dia pulang."
Iya, Raphael sudah pulang. Pulang ke sisi Tuhan. Vano melantunkan kalimat panjang itu di dalam sana. Setelahnya, dia mengecup Tiora tepat di kening perempuan itu. Vano mengakhiri percakapan diantara keduanya, dia memilih untuk menutup mata dan terlelap dalam hitungan menit setelah obrolan pendek mereka. Satu tangan Vano memeluk Tiora, cukup erat, dan perempuan itu tidak menolak.
"Vano."
"Hmm."
"Kalau ada hal yang kamu sembunyikan, aku lebih senang kamu menceritakannya sekarang." Kali ini, Tiora kembali memberanikan diri untuk meletakkan jari tangannya di wajah Vano. Tepat di bagian perbatasan kening sisi kiri dan rambut, membiarkan ibu jarinya bergerak ke kanan dan ke kiri di atas kulit wajah Vano. "Daripada kamu pendam sendiri."
Tidak ada jawaban. Aneh menjalar merasuki relung hati Vano.
Untuk alasan yang sulit dijelaskan, Tiora meneguk ludahnya susah payah. Dia tidak menemukan kata yang pas untuk menjelaskan sikap Vano, terutama saat matanya menyusuri pandangan mata Vano yang terlihat kosong. Seolah ada hal yang pria itu sembunyikan.
.
.
.
Waktu begitu cepat berlalu, langit sore sudah berganti dengan pagi. Kalau ada yang bertanya 'Apa semalam dia tidur dengan nyenyak?' Maka dengan percaya diri Tiora akan menjawab 'Ya'. Karena ada Vano, tentunya. Setelah sekian lama mereka berpisah tempat tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Romance[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...