Mengingat kejadian semalam membuat Tiora sering melamun seharian ini. Bahkan, beberapa kali dia susah untuk berkonsentrasi pada pekerjaan--sulit menggambarkan perasaannya saat ini. Dia ingin marah, memaki, menangis, dan melakukan hal-hal lain bersifat emosional. Seolah, dia terpuruk dan tidak percaya pada siapapun. Dia sulit menerima kenyataan, pria yang dia sukai berakhir dengan sahabatnya sendiri.
Tiora paham, berani mencintai tidak melulu akan mendapat sambutan yang sama. Mencintai artinya sama dengan berani patah hati, siap untuk terluka. Karena hal itu bisa hadir seperti koin dua sisi, kita tidak tahu kapan kedua sisinya akan bertukar tempat.
Oh, ayolah Tiora! Harusnya lo seneng, sahabat baik lo jadian sama cowok baik kayak Drian. Lo boleh meluangkan waktu lo untuk bersedih karena patah hati ini, tapi jangan berlama-lama. Jangan jadi lembek, Tiora! Batinnya berteriak.
.
.
.
Menjelang pukul 07.00 malam, beberapa jam setelah orang-orang terkasih dikebumikan, hujan deras mengguyur bumi. Dengan pikiran yang melayang entah kemana, seolah masih tidak percaya dengan kepergian mereka, Tiora terduduk lemas. Entah sudah berapa lama Tiora duduk diam di kursi, dengan pundak terkulai memperhatikan orang yang sibuk keluar - masuk ke rumah mendiang kakeknya untuk memberikan ucapan duka cita.
Tiora merasakan seseorang duduk di sampingnya, menariknya untuk lebih mendekat. Tulang Tiora serasa lumpuh. Dia terpaku tidak bisa bergerak.
"Tiora." panggil Drian lembut.
"Tolong, jangan mengatakan hal-hal seperti ikhlas, sabar, turut berduka cita, dan kata-kata sejenisnya. Aku sudah muak mendengar itu dari pagi." ucap Tiora dengan suara bergetar, dia menjerit dalam hati. Dia sangat patah hati. Terpukul.
Drian menarik napasnya sebelum kembali mengucapkan kalimat lain. "Enggak. Aku mau bilang, luapkan semua kesedihan kamu, Ra. Kamu sangat diperbolehkan untuk menangis, silahkan menangis selama mungkin. Aku temani." Dengan perlahan, Drian membawa wajah Tiora menuju bahunya, seakan dia memberi izin pada Tiora untuk mencurahkan semua perasaan campur aduk yang hinggap dalam diri perempuan itu untuk dikeluarkan di sana.
Pandangan keduanya saling bertemu. Sorot mata Tiora berbicara banyak tentang rasa sakit yang dia rasakan. Pada akhirnya, pertahanan Tiora runtuh. Dia menangis sambil merintih. Jerit rasa sakit, tercekat di tenggorokannya. Drian memberikan dia kekuatan untuk bertahan hidup. Tiora tahu, dia tidak sendirian. Ada Drian di sampingnya...
.
.
"Kayaknya, lo udah punya gebetan baru nih." ucap Vania yang baru saja tiba di ruang Tiora, dia sedang tersenyum jahil dan menggoda. "Ceritain dong."
Tiora seketika terbangun dari lamunan, "Maksudnya?"
"Maksud gue, kemarin malem lo dan Vano..." Vania kembali bersuara. "Lo dan Vano pulang bareng. Apa yang gue lewatkan tentang hubungan kalian berdua? Gila lo, deket sama anaknya Dokter Tina. Eh gue baru tahu kalau dia anaknya Dokter Tina dari Drian."
Apa yang gue lewatkan tentang hubungan lo dan Drian? Tiora hampir meledak, tetapi dia berhasil membujuk diri sendiri untuk tenang. Mengingat hal-hal yang mereka lewati bersama semasa kuliah. Vania yang selalu baik padanya tiap kali dia kesusahan, rasanya terlalu berlebihan jika hanya karena satu pria dia marah pada Vania.
"Handphone gue sama Vano tertukar kemarin, terus dia ngajak ketemu buat ngembaliin handphone kita." Tiora kembali memajukan wajahnya lebih dekat ke mejanya, mencoba konsentrasi dan melupakan ucapan Vania. "Cuma itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Romance[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...