Vano menatap pintu kamar rawat Tiora dengan setumpuk rasa bersalah di dadanya. Otaknya mulai menyiapkan rangkaian kalimat maaf pada Tiora—bukan hanya maaf, tapi juga penjelasan mengapa insiden fatal itu bisa terjadi.
Apalagi saat Tiora meminta Suster Vivi mengantarnya kembali ke kamar rawat dengan mata berkaca-kaca—memalingkan wajahnya. Perempuan itu mengakhiri apa yang dia lihat, tidak mau tahu kelanjutan dari episode drama yang terjadi di lorong tadi.
Hanya ada Vano di depan pintu. Setelah insiden itu terjadi, Drian mengatakan pada Vano untuk mengurus semua kekacauan yang Davina buat, pria itu memaksa Davina keluar dari area koridor; entah kemana. Vano pun tidak ingin tahu.
Hampir lima menit Vano berdiri di balik pintu, dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Iya, Vano melakukan itu berulang kali. Sialnya, hal itu membuat sesuatu dalam diri Vano kehilangan kesabaran. Saat Vano sudah merasa yakin, dia masuk ke dalam kamar rawat yang terlihat seperti kamar di hotel bintang lima dibanding kamar rawat rumah sakit.
Vano membawa kakinya mendekat ke arah Tiora yang masih duduk di kursi roda, dekat jendela kaca kamar ini. Perempuan itu hanya diam, tidak berniat mencolek atau mendekatkan sup di depannya yang sudah dibawa Suster Vivi tadi. Dia kehilangan minat untuk memakan sarapannya.
"Tiora..."
Vano memanggil Tiora. Tapi perempuan itu masih terdiam, menatap Vano dalam, namun enggan mengeluarkan suara. Tanpa ragu, Vano berlutut dan menggunakan jarinya untuk mengelus kulit tangan Tiora.
"Sus, boleh tinggalin kita sebentar?" pinta Vano. Tanpa banyak bicara, Suster Vivi menuruti permintaan Vano. Dia membawa tubuhnya melesat keluar dari kamar ini. "Aku minta maaf. Aku bisa jelaskan—"
"Minta maaf untuk apa, Vano? Memangnya kamu punya salah apa sama aku?" Tanya Tiora dengan penuh nada sindiran. Perempuan itu mengerutkan kening, berpura-pura tidak mengerti dengan maksud Vano. "Justru aku yang harusnya minta maaf. Tadi aku lama di toilet, masih susah untuk jalan ke closet duduk. Jadi menghabisan banyak waktu di sana. Eh... pas mau pulang ke ruangan ini, gak sengaja lihat kamu ciuman sama Davina."
"Tiora..."
"Maaf ya, sudah mengganggu adegan romantis kalian." Tiora berhenti sejenak dan menatap pada Vano dengan sedikit marah.
"Maaf." Vano memejamkan mata. Hanya kata itu yang dapat mewakili rasa bersalah yang membelenggu Vano. Entahlah, meski sebenarnya kata maaf saja tidak cukup, tapi Vano pikir mengatakan maaf di saat seperti ini memang baik dilakukan.
"Sudahlah." kata Tiora, setengah berbisik.
"Tiora, aku mohon.. berikan aku sedikit waktu untuk menjelas—"
"Istri mana yang rela melihat suaminya dicium oleh perempuan lain tepat di depan mata sendiri?"
Vano menghela napas, merasa frustasi dengan situasi yang terjadi. Dia tahu betul Tiora lebih dari kata marah oleh kejadian ini. Tapi, dia pun tidak menemukan alasan yang jelas mengapa Davina dengan nekad mencium bibirnya tadi.
Merasa belum puas menumpahkan kekesalannya, tangan Tiora bergerak maju memukul dada Vano berkali-kali. Meluapkan segala emosi yang dia pendam karena tingkah Davina yang sangat menjengkelkan baginya, walau terhalang infus yang ada di tangannya.
Tiora tidak bisa bohong kalau Davina benar-benar membuatnya marah. Tapi sialnya, dia hanya bisa meluapkan itu pada Vano sambil menunggu rasa kesal dan marah di hatinya mereda.
Butuh dua jam bagi mereka menyelesaikan kesalahpahaman ini, sampai berdebat ke hal lain seperti Tiora meminta untuk pulang dan dirawat di rumah hari ini. Menurut Vano, Tiora perlu beristirahat dalam pengawasan dokter dan suster yang siap membantu penyembuhan di rumah sakit. Sementara menurut Tiora, dia ingin beristirahat di rumah tapi tetap dalam pengawasan dokter yang menanganinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Roman d'amour[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...