Jangan lupa vote dan komen nya, terima kasih d('.'d)
Vano memarkirkan mobil yang dia kemudikan di jalanan depan tempat kos Tiora. Rasa canggung kembali menguasai mereka. Tiora dan Vano sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Kalau boleh jujur, Tiora merasakan kenyamanan tidak terkira saat berada di rumah Vano tadi. Di luar dugaannya, Dokter Tina justru tidak marah. Perempuan itu memeluk dan mengatakan agar Tiora sering datang berkunjung ke sana. Belum lagi Raphael dan orang-orang di rumah itu yang menyambutnya dengan ramah. Tiora seolah merasakan suasana kekeluargaan yang tidak lagi dia dapatkan setelah kecelakaan 9 tahun lalu. Kecelakaan yang merenggut nyawa nenek, kakek, om, dan tante nya.
Tapi semenjak meninggalkan rumah itu, Tiora merasa aura Vano berubah. Sedikit mengerikan. Apalagi saat dia berpamitan pulang. Mereka harus menghabiskan waktu lima belas menit untuk berdebat.
Tiora memilih untuk pulang sendiri menggunakan ojek online dan membiarkan Vano mengambil waktu istirahat sebanyak yang pria itu mau. Tapi, Vano tidak setuju dengan ide itu. Menurut Vano, sudah seharusnya dia yang mengantar Tiora pulang. Tidak baik jika Tiora pulang sendirian, apalagi di jam malam seperti ini.
Pada akhirnya, Tiora mengalah. Mengikuti saran dan usulan Vano.
Tiora melepaskan seat belt-nya, dia sengaja mengubah posisi duduk sedikit miring, menatap pada Vano yang mencengkeram kemudi mobil cukup kencang.
"Vano."
"Ya?"
"Terima kasih sudah mengantar saya."
Ada rasa frustasi yang tiba-tiba datang menghampiri Vano. Tentang hubungan dia dan Tiora saat ini.
"Tiora, apa bisa mulai detik ini kita berbicara menggunakan bahasa non-formal? Jujur, rasanya agak aneh berbicara formal dengan perempuan yang aku mau."
Tiora membisu, dia seakan kehilangan kemampuan berbicara. "Vano, saya..." Tiora memandang Vano dan tas yang dia bawa secara bergantian. "Saya..."
"Aku, Tiora. Tapi, kalau kamu terbiasa berbicara formal dengan aku, aku nggak masalah."
Vano tersenyum, melepas seat belt-nya, membawa tubuhnya untuk saling berhadapan menatap Tiora.
"Oke, kalau kamu merasa canggung. Ayo kita ulang perkenalan kita dari awal." kata Vano. "Hai, Tiora. Boleh kenalan? Aku Stevano. Panggil saja Vano."
Tiora tersenyum cukup lebar saat Vano mengucapkan semua kalimat ini. Sumpah demi apapun, wajah Vano berubah menjadi sangat menggemaskan. "Hai, Vano. Aku Tiora. Senang bertemu dengan kamu."
Vano mengambil tangan Tiora, menggenggamnya dengan sangat erat. Tiba-tiba, Vano membawa jari-jemarinya untuk bermain di ujung rambut Tiora yang membuat perempuan itu menghela napas selama beberapa saat. Mendadak Tiora merasa tubuhnya kekurangan banyak oksigen. Jantungnya berdebar tak menentu, entah karena apa.
"Boleh aku bertanya?" ucap Vano dengan nada sedikit gelisah. "Tentang perasaan kamu untuk Drian. Kalau Drian masih menempati tempat spesial di hati kamu, aku..."
Tiora menggeleng, jemari tangan Vano bergerak di atas punggung tangannya. Membelai naik-turun berulang kali.
"Aku pikir, aku keliru dengan rasa suka yang aku miliki untuk Drian." Mata keduanya saling menatap. "Aku sudah memikirkan ini sejak lama, kalau ternyata rasa yang aku miliki untuk dia hanya rasa suka atas kebaikan Drian yang aku rasakan sejak kecil sampai sekarang ini. Bukan rasa suka karena ingin memiliki dia seutuhnya sebagai seorang pria." Tiora berusaha tersenyum, menghela napasnya secara perlahan. Memberanikan diri untuk melihat ke arah mata Vano. "Drian pantas untuk Vania, begitu juga sebaliknya. Apa kamu percaya dengan ucapan aku?"

KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Romansa[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...