3

37.4K 1.7K 14
                                    

"Ra, maaf ya. Aku harus pamit, sudah ada janji bertemu seseorang." Drian bersiap untuk berdiri, menyudahi acara perjumpaannya dengan Tiora yang baru dia jumpai lagi setelah dua minggu tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. "Van, gue titip Tiora sama lo ya. Awas jangan di apa-apain, anak orang, nggak baik."

"Hati-hati, Drian." ucap Tiora.

Vano mengangguk, lalu dia menatap Tiora dan Drian secara bergantian. Hanya ada mereka berdua di meja itu sekarang. Kepergian Drian berbarengan dengan datangnya minuman yang Tiora pesan. Inilah yang Tiora butuhkan, dia membutuhkan minuman untuk menyiram tenggorokannya yang terasa kering karena perjumpaan singkat dengan Drian tadi.

"Kamu hanya memesan minuman ini?"

"Iya, memangnya kenapa?"

Vano mendekat, sampai-sampai dia tidak memberikan sedikitpun ruang diantara mereka, "Tidak lapar?"

"Tidak." Kata Tiora, lalu dia mendekatkan sedotan pada bibirnya. Tapi, mendadak tubuh Tiora terasa dingin. Tangannya juga berkeringat mendapati Vano yang terus menerus menatapnya, membuat Tiora gugup. Ritme minumnya pun jadi tergesa-gesa, hampir saja dia tersedak. Tiora menggeser gelasnya sedikit ke kanan. Menyudahi acara minumnya. "Sampai kapan kamu mau memperhatikan saya minum?"

"Ada masalah?"

"Jelas ada."

"Ini mata saya." Vano kembali bersandar di kursi sambil bersedekap. Menatap pada Tiora dengan pandangan yang sulit diartikan. "Tingkat percaya diri kamu tinggi sekali, Dokter Tiora. Dari tadi saya tidak memperhatikan kamu, tapi itu." Ucap Vano sambil menunjuk ke arah yang dimaksud dengan ujung dagunya.

Dengan gerakan cepat, Tiora menoleh dan melihat apa yang membuat Vano tidak memutuskan pandangannya tadi. Astaga! Tolong selamatkan Tiora saat ini juga. Bukan dia objek menarik yang di tatap Vano. Ada sepasang kekasih-tidak jauh dari meja mereka. Si wanita sibuk memegang ponsel, memaksa si pria untuk melakukan foto bersama. Keduanya saling tersenyum dan menggoda dengan manja.

Satu alis Vano terangkat naik. Tersenyum dengan wajah yang begitu menyebalkan. Merasa puas karena berhasil membuat Tiora duduk dengan tegang-Merasa malu dengan tuduhan yang ditujukan pada dirinya.

Setelahnya, Tiora sibuk membuka aplikasi ojek online dan mengambil dompet dari dalam tas. Siap membayar minuman yang dipesan. Saat dia hendak berdiri, Vano lebih dulu mencegahnya. "Kamu tunggu di sini, saya yang bayar."

"Eh! Nggak perlu, lagi pula--"

Tanpa mau mendengar Tiora menyelesaikan kalimatnya, pria itu sudah berdiri di depan meja kasir-membuat Tiora sedikit berdecak sebal. Setelah Vano selesai melakukan pembayaran, keduanya berjalan beriringan menuju pintu masuk - keluar kafe. Vano membukakan pintu, mempersilakan Tiora untuk keluar lebih dulu. Lalu, mereka berdiri di luar dengan canggung.

"Terima kasih."

Vano seperti sengaja memandangnya, lalu menggumam. "Sama-sama." Ucap Vano, memasukan ponselnya pada saku celana. "Pulang bersama saya dan batalkan pesanan ojek online kamu."

Tiora memeluk ponsel pintar miliknya di depan dada, mengambil napas dalam-dalam untuk menghilangkan rasa canggung. Sedangkan Vano, dia berjalan menuju motornya yang terparkir di sisi kanan kafe, memasang helm dan menghidupkan mesin.

"Ayo naik."

Tiora menatap hampa helm hitam yang disodorkan oleh Vano, menimbang untuk menerimanya atau tidak. "Kamu ini kan orang asing, kita juga tidak mengenal satu sama lain. Jadi lebih baik saya--"

"Oh jadi kamu menolak? Oke, hati-hati kalau begitu."

"Eh, tunggu!"

Pada akhirnya Tiora berjalan mendekat. Mengambil helm hitam itu dengan cepat dan memakainya. Membatalkan pesanan ojek online nya. Entah bisikan apa yang membuat dia mau menerima tawaran Vano; Si pria menyebalkan. Tapi, pesanan ojek online yang tidak kunjung mendapat pengemudi membuat Tiora gundah. Selain itu, tidak baik jika dirinya berlama-lama diluar pada malam hari seperti ini. Jadi, mau tidak mau dia menerima tawaran itu.

"Pegangan yang erat." Suara Vano terdengar begitu tegas.

"Iya." Dengan sedikit ragu, Tiora mendaratkan tangannya pada pinggang Vano.

"Jangan terlalu menempel seperti itu, dada kamu mengganggu konsentrasi saya."

Tiora melayangkan satu pukulan ringan pada punggung Vano. "Jangan berpikiran mesum!" cibir Tiora pelan dan tanpa sadar, wajahnya sudah memerah dalam hitungan detik. Tiora duduk di atas motor dengan tegang. Seharusnya angin malam hari cukup menyejukan tubuh. Tapi untuk saat ini, angin tidak mampu mengurangi rasa panas dalam tubuhnya.

"Rumah kamu dimana?" tanya Vano saat mereka sudah berada di jalan raya, melewati deretan kuda besi yang berlomba untuk meninggalkan jalanan.

"Di daerah Tamansari."

Cukup lama mereka terdiam dalam perjalanan hingga akhirnya Vano menghentikan motornya di area tempat kos Tiora. Tiora turun dari motor, mengucapkan kata terima kasih dan menyerahkan helm pada Vano. Saat tangannya meraih ujung gagang pintu gerbang kos, Vano sudah memanggil namanya-mengurungkan niat Tiora masuk ke dalam sana.

Apa lagi yang pria ini mau?! Batin Tiora begitu orang yang terduduk di motor mahal tadi sudah berdiri di hadapannya.

"Saya ingin bertanya sama kamu." Ucap Vano sebelum dia kembali melanjutkan, "Kamu menyukai Drian?" katanya dengan suara tegas tanpa mau sedikitpun menggeser pandangan ke arah lain, mengunci Tiora.

"Maksudnya?" ucap Tiora kaget. Dia hanya berdiri mematung, wajahnya berubah tegang.

"Dari cara kamu memandang Drian, cara kamu saat menerima sentuhan Drian, sudah jelas kalau kamu menyukai Drian. Tapi, Drian tidak tahu tentang perasaan kamu."

"Itu bukan urusan ka-"

"Ra!"

Suara lain datang, mau tidak mau Tiora dan Vano memalingkan wajah ke arah sumber suara. Tiora tertegun-dia sulit menjelaskan situasi ini. Rasa terkejut bercampur bingung dan sakit. Dia melihat Drian berjalan keluar dari gerbang kosan-merengkuh pinggang Vania. Keduanya bergandengan mesra.

"Lo nganterin Tiora, Van?" ucap Drian tanpa mau melepas tangannya dari pinggang sang kekasih.

Tiora ingin pergi dari area itu sesegera mungkin, seolah tidak mau melihat realita yang menyakitkan. Kakinya terasa lemas. Sepersekian detik, telinganya terasa tuli. Tidak ada bunyi selain napasnya dan suara-suara yang mencoba untuk menguatkannya.

Jadi, inikah alasan Drian berpamitan di kafe tadi? Sudah ada janji dengan seseorang, katanya. Seseorang yang tidak disangka adalah sahabatnya sendiri.

Sejak kapan? Sejak kapan Drian dan Vania...

Jangan menangis... Jangan menangis.

Tiora melantunkan kalimat yang sama pada dirinya.

Terlalu sibuk memperhatikan Drian dan Vania, sampai tidak sadar Vano beranjak lebih dekat ke arahnya. Membuat Tiora sedikit canggung, tanpa diberi kesempatan menetralkan diri dari keterkejutan dan rasa canggung, satu tangan Vano mengusap jemari tangan Tiora, sementara yang satu lagi bersembunyi di saku celana. Bagai terjebak dalam adegan film romantis, Vano tiba-tiba menunduk dan menyejajarkan wajah mereka.

"Masuk dan tidur, Dokter Tiora. Jangan melihat terus ke arah mereka." bisik Vano yang hanya dibalas anggukan singkat Tiora.

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang