5

29.5K 1.5K 13
                                    

Tiora dan Vania menatap pucat pemandangan di depan mereka. Tempat kos yang mereka tempati ludes dilalap api. Kobaran api pertama kali dilihat oleh pemilik indekos yang melihat ada percikan api dari standar tiang listrik yang selanjutnya mengakibatkan terjadi kebakaran.

Tidak ada korban jiwa yang ditimbulkan dari peristiwa ini. Namun, kobaran api yang ditimbulkan merembet ke dua indekos lain yang saling bersebelahan diantara bangunan indekos itu. Beruntung, Tiora dan Vania sempat mengamankan barang-barang penting mereka. Sedangkan sisanya, tidak bisa mereka selamatkan.

"Mampus kita, Ra!" ucap Vania yang sibuk memandang pada bangunan kosan yang tadi diselimuti kepulan asap dihadapan mereka berdua. Beruntung, api berhasil dipadamkan dengan cepat. "Waduh, kepala gue mendadak pening nih gara-gara kosan kebakaran. Malem ini kita mau tidur di mana?"

"Gue juga nggak tahu." Tiora melirik dan meringis, dia melesat dan berjongkok, membuka tas besar disampingnya. Jari-jemari tangannya mulai sibuk melipat; memasukan pakaian dan barang penting yang berhasil diselamatkan ke dalam sana satu per satu.

"Gila ya, gede banget tadi api nya." serbu Vania saat mengemasi barang-barangnya, sambil berjongkok.

Vania mendesah putus asa, lalu dia kembali berdiri di depan Tiora dan merogoh ponselnya yang sedari tadi mengganjal dibalik saku celananya. Vania nampak serius, tangannya terus berada di layar ponsel. Namun, tiba-tiba saja dia mengerutkan keningnya lalu menangis tersedu-sedu hingga membuat matanya hampir berubah merah.

"Eh, kenapa lo?" tanya Tiora panik melihat perubahan sikap Vania, "Lo nangis gara-gara kosan kita kebakaran? Iya sih, gue juga pengen nangis. Gue juga bingung mau tidur di mana malam ini. Tapi--"

"Bukan gara-gara itu, Ra!"

"Terus?"

"Drian lagi on the way ke sini, katanya sih dia udah deket di sekitar tempat kosan kita. Dia mau nampung gue." Jawab Vania dengan antusias, sesekali dia menghapus air matanya yang terlanjur mengalir dari kedua sudut mata.

"Astaga.." Tiora menggelengkan kepalanya, merasa menyesal karena sempat mengkhawatirkan Vania yang tiba-tiba menangis saat menatap pada layar ponsel tadi, "Terus kenapa lo nangis?"

"Gue terharu." ucap Vania pelan, "Gila cowok gue baik banget. Untung banget Drian lagi main di sekitar Tamansari, dari share location yang dia kasih, nggak lama lagi dia nyampe."

Tiora berhenti selama beberapa saat, mengambil jeda dan menghela napas. Kali ini, dia tidak menanggapi Vania, ada jeda panjang yang dia ciptakan dan tatapannya menatap tajam pada Vania. Membuat Vania jadi sedikit salah tingkah. Tiora mengakhiri tatapan tajam itu, menunduk pada tas yang terbuka. "Drian datang sendirian ke sini?"

"Lo berharap Vano datang sama Drian?"

Tiora berdecak, siap ingin memaki. Tetapi, senyum ejekan yang tercetak di bibir Vania membuat niat itu dia urungkan.

"Enggak kok, Ra. Drian nggak datang sendiri. Dia datang sama Vano."

"Serius?" Tiora menggigit bibir bawah kuat-kuat, pandangannya kembali menatap Vania yang asyik menutupi bibirnya dengan ponsel untuk menyembunyikan tawa, yang beberapa kali terlepas pelan karena rasa panik tercetak jelas pada raut wajah Tiora. "Ngapain dia datang ke sini?"

"Nggak tahu, mau nampung lo kali tuh."

"Vania! Bisa-bisanya dalam situasi kayak gini lo menyempatkan diri buat bercanda." keluh Tiora. "Ahhhhh... Vania!"

"Lo sama Vano emang ada masalah apa sih? Kok lo kayak nggak mau ketemu dia gitu? Santai keles, nggak usah pasang wajah pucet. Kayak mau disamperin sama debt collector aja."

"Bukan gitu. Gue tuh..." Tiora menimbang, berpikir sejenak sebelum kembali menyambung kalimatnya. "Gue tuh--"

"Oh, jadi kamu nggak mau ketemu saya?" Suara bariton di depan sana menggema, seketika kaki Tiora terasa sangat lemas saat ponsel Vania menuntun pandangannya untuk melihat pria yang tengah berdiri di dekat Tiora.

Ya Tuhan!

Vano dan Drian berjalan lebih mendekat--menuju tempat Vania dan Tiora berdiri. Pria itu memunculkan senyum miring yang menggoda seperti biasanya. Tangan kokoh Vano meraih tangan Tiora, menariknya dalam satu hentakan untuk lebih dekat dengan tubuhnya.

Tiora tercenung, Vania mengerjap.

"Nah, Ra. Gue nggak bohong kan? Ini Vano datang."

Kepala Tiora miring sedikit ke kiri, terlihat sibuk memberi kode pada Vania untuk menjauhkan dia dari pria bernama Stevano ini, memasang wajah bagai anak anjing yang minta dibawa pulang.

Tiora bergeser beberapa langkah, berhadapan dan melayangkan tatapan marah pada Vano. Sial! Kenapa spesies manusia menyebalkan satu ini harus datang ke sini sih? Lebih sial lagi karena Vano terlihat menarik dan seksi dengan kaos putih lengan pendek, celana bahan navy, sepatu continental putih dari salah satu perusahaan Jerman ternama. Meski dengan kaos, tetap terlihat menggoda.

"Kalian berdua tuh kenapa sih?" Drian melirik dengan pandangan penuh curiga, "Kok keliatan aneh gitu." Drian lalu berjalan ke arah kiri, menghampiri Vania.

Vano mengangkat satu alis, menatap Tiora dengan tatapan menggoda. Menunggu Tiora mengeluarkan sepatah kata untuk menjawab pertanyaan Drian. Tapi, perempuan itu tetap diam. Wajah Tiora mulai memerah, menahan malu dan marah.

"Ini tas kamu?" Vano menatap Tiora penuh arti, lalu membawa tas besar berisi baju-baju yang Tiora lipat tadi. "Gue pergi dulu sama Dokter Tiora." Sambung Vano yang dibalas anggukan Drian. "Ayo." Ucapnya tepat di depan telinga Tiora.

"Eh! Saya--"

Dengan gerakan cepat, Vano menuntun Tiora ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, agak jauh dari tempat kos Tiora. Pria itu membuka pintu untuk Tiora. Bahkan, dia menaruh satu tangan di pinggiran pintu bagian atas.

"Saya, itu Vania--" bisik Tiora dengan pelan, menahan diri untuk memukul pria gila ini. Seandainya dia tidak ingat jika pria ini adalah anak Dokter Tina sang direktur utama, sekaligus cucu dari pendiri rumah sakit tempat dia bekerja, mungkin Tiora memilih memukul lengan Vano dengan flatshoes yang dia pakai.

Vano menutup pintu mobil dengan kencang, berlari mengelilingi mobil menuju kursi kemudi. "Ada yang luka?"

"Nggak ada."

"Syukurlah kalau begitu. Kamu sudah ada rencana mau menumpang di mana untuk sementara?"

Tiora membalas pandangan Vano. "Belum tahu. Saya juga pusing mencari tempat kos dalam waktu singkat." Tiora menghela napas kasar. "Belum lagi, harus memikirkan tentang membeli barang-barang baru yang tidak sempat terselamatkan tadi." Tiora meniup ke udara, ke arah poninya, dia suka melakukan itu saat sedang kesal.

Vano tidak memberi opini, dia memilih untuk menjadi pendengar yang baik dulu sampai Tiora tuntas mengungkapkan perasaannya.

"Hari ini kayaknya harus saya ingat sebagai hari sial, banyak kejadian gila yang terjadi. Kamu dan kosan yang terbakar!"

"Oke, pertama, kamu ingin mencari kosan baru yang seperti apa?"

"Dekat dari rumah sakit dan harganya tidak mahal, supaya nggak bikin dompet saya sekarat."

"Kamu bisa tinggal di apartemen saya untuk sementara. Jaraknya nggak begitu jauh dari rumah sakit tempat kamu bekerja." Vano tersenyum tipis. "Tenang, kamu bisa tinggal secara gratis. Silakan pakai selama kamu mau."

Tiora memandang horor ke arah Vano. "Hahaha... terima kasih tawarannya Pak Stevano Rajasa yang terhormat, tapi saya tidak mau!" tegas Tiora, dengan tertawa yang dibuat-buat. "Ngomong-ngomong, ini kita mau ke mana?"

"Rumah orang tua saya." Sahut Vano santai. Sementara Tiora, badannya mulai merasa panas dingin.

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang