Mama Tina memandangi ponsel dalam genggaman tangannya, sudah hampir setengah hari sejak dia mengabari Vano tentang kecelakaan yang dialami Tiora dan Raphael, pria itu belum muncul juga. Begitu banyak pengandaian buruk muncul, namun Mama Tina masih terus berusaha berpikir positif.
Mama Tina menjerit marah dalam hati. Apalagi saat mengingat penjelasan dari beberapa saksi mata di lokasi kejadian. Dia merasa tidak terima dengan keadaan ini. Bahkan rasanya, dia ingin menemukan pelaku secepat mungkin dan mempertanyakan alasan orang itu melakukan tindakan kejam dan sadis.
Masih dia ingat dengan jelas, kemarin sore Raphael mengajaknya ke panti asuhan, tempat yang biasa mereka kunjungi beberapa tahun terakhir, untuk menyerahkan buku bacaan dan baju yang diperlukan anak-anak di sana. Tapi karena ada pasien yang harus di operasi secara mendadak, dia meminta Tiora menemani Raphael ke sana bersama sopir pribadinya.
Saat kecelakaan terjadi, Raphael duduk persis di samping sopir dengan posisi kursi agak disandarkan. Usai mobil ditabrak tepat di bagian samping posisi kursi Raphael, mobil yang ditumpangi itu melewati pembatas jalan kendaraan kemudian masuk ke U-turn yang ada water barrier sampai ringsek parah.
Mobil yang bertugas mengantar Raphael dan Tiora ke panti asuhan justru mengantarkan Raphael kembali ke hadapan Yang Maha Kuasa.
Mama Tina menarik tubuh untuk duduk di perbatasan kursi. Di depan sana, Raphael setia memejamkan mata. Mengabaikan semua ucapan Mama Tina, pria itu seolah enggan bangun dari tidur panjangnya. Hati Mama Tina masih berusaha percaya, jika anaknya masih bernyawa dan menantunya yang sedang dalam kondisi kritis akan baik-baik saja.
"Raphael, ini Mama."
Mama Tina bangkit, membuka kain putih yang menutupi wajah tampan anaknya itu. Dia mengepalkan tangannya, terselip harapan kalau semua ini hanyalah mimpi belaka. Dia yakin Raphael masih hidup. Mama Tina tidak kuasa menahan tangis saat tangannya menyusuri badan Raphael. Dari rambut ke pipi, lalu turun menuju bahu dan terakhir di tangan Raphael yang terasa dingin.
"Raphael, mana yang sakit? Bilang sama Mama biar Mama obati, supaya rasa sakitnya berkurang. Ayo bangun, Kakak sebentar lagi datang menemui kamu. Kamu nggak mau menyambut Kakak?"
"Ma." Sepasang tangan kokoh merengkuh pundak Mama Tina. Perlahan, Mama Tina menoleh dan dia menemukan sosok Papa Diwa, suaminya, tengah berdiri di samping lalu membungkuk setengah badan. "Jangan seperti ini." Dengan suara bergetar seolah memperlihatkan sikap tegar, Papa Diwa segera memeluk Mama Tina, membelai punggung Mama Tina naik-turun. "Papa tahu ini berat. Tapi, Raphael pasti sedih."
Mama Tina menggeleng. "Raphael masih hidup. Anak Mama masih hidup."
Mama Tina sadar, dia tahu anaknya tidak akan kembali. Dia hanya sedang memberikan harapan palsu kalau anaknya masih bernyawa. Mama Tina masih percaya diri, sambil berdoa akan adanya sebuah keajaiban.
Tak berapa lama, suara pintu terbuka. Ada dua orang masuk ke dalam ruangan. Saat Mama Tina menoleh, tangisnya semakin pecah. Perempuan itu menangis lebih keras dari sebelumnya. Hatinya remuk dan hancur berkeping-keping. "Vano, Raphael..." Mama Tina merengkuh tubuh Vano, masuk ke dalam pelukan anak sulungnya. "Raphael, ini Kakak datang."
"Ma." suara Vano terdengar bergetar. Sakit, seluruh tubuh Vano merasakan nyeri. Adiknya terbujur kaku dengan luka segar menghiasi wajah mungil itu. Raphael mengalami luka berat di bagian kepala dan koma. Kondisinya terus menurun sampai akhirnya dia menghembuskan napas terakhir pada jam delapan malam.
Vano mendadak mati rasa. Mata Vano berkeliling, pandangannya menangkap Papa Diwa tengah mencoba menghapus air mata yang berusaha ditahan dari wajahnya. Tapi, detik berikutnya ada tetesan air baru yang membasahi kulit keriput itu.
"Mama panggil Raphael berkali-kali, dia nggak mau bangun. Mama minta tolong sama kamu, coba kamu yang panggil, ajak dia ngobrol. Pasti dia langsung bangun dan mau bercanda. Raphael selalu nurut sama Kakaknya. Mama mohon sama kamu, Vano." Dengan sisa tenaga yang ada, Mama Tina mencengkeram kaos bagian dada Vano, menunjukkan rasa putus asa.
"Iya, nanti Vano coba. Kata suster, dari sore Mama selalu menunggu Tiora sama Raphael. Sekarang, Vano minta Mama sama Papa istirahat dulu." ucap Vano tanpa melepaskan pelukannya pada sang ibu. "Tidur satu atau dua jam, yang penting Mama istirahat. Biar Vano yang menemani Raphael di sini."
Mama Tina menggeleng pelan, menunjukkan penolakan atas usulan Vano. "Tapi Tiora lebih butuh kamu. Tiora ada di kamar sebelah. Temani dia, dia baru selesai operasi. Mama masih kuat jaga Raphael di sini."
"Sebelum ke kamar ini, aku sudah menemui Tiora." Vano berusaha mengukir senyum, namun gagal. "Tenang, ada Vania yang menunggu Tiora di sana. Tiora akan baik-baik saja, aku yakin dia akan segera membuka mata. Dia perempuan kuat."
Hati Vano menjerit kesakitan mengatakan sebuah kebohongan. Saat menapakkan kakinya di rumah sakit ini, dia langsung bergegas pergi ke kamar Raphael. Dia belum menemui Tiora. Vano tidak sanggup melihat Tiora terbaring tak berdaya dan melihat seberapa parah luka yang didapat perempuan itu.
Vano membelai rambut Mama Tina dengan lembut, menenangkan perempuan itu yang setia dengan tangisnya.
"Tenang, Ma." Mata Vano memerah, seolah menahan air mata untuk tidak mendarat di pundak Mama Tina. "Aku mohon, jangan menangis. Raphael lagi pura-pura tidur, dia lagi bercanda. Mama kayak nggak tahu Raphael gimana." Vano menghela napas, mengeluarkan semua sesak yang hadir di dadanya. Untuk yang kedua kali, dia mengatakan kebohongan. Ini berat, sungguh berat.
Tanpa perdebatan panjang lebar, Mama Tina melepaskan pelukannya. Perempuan itu memandang Raphael dan Vano sejenak, lalu keluar ruangan bersama Papa Diwa menuju ruang kerjanya untuk beristirahat. Seolah percaya dengan apa yang Vano katakan; Raphael sedang berpura-pura tidur.
Vano bergegas duduk di kursi yang ditempati Mama Tina tadi, meminta suster yang datang bersamanya memberikan sedikit waktu baginya memberikan salam perpisahan. Vano menarik ujung kursi, menatap nanar Raphael dari dekat.
"Rasanya aneh melihat kamu terdiam seperti ini." Bibir Vano bergetar. "Biasanya tiap kita bertemu, kamu selalu heboh dan melontarkan candaan garing kamu. Anehnya, Kakak selalu mau ketawa tapi... Kakak tahan."
Setengah mati Vano berusaha menahan air matanya, namun air mata itu luruh juga. Dia tidak tahan melihat luka robek yang masih basah di wajah adiknya itu. Beberapa kali pria itu menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya secara perlahan.
"Nanti siapa yang minta jajan sama Kakak lagi? Sumpah, Kakak nggak pernah marah tiap kamu minta jajan karena Kakak tahu, uangnya selalu kamu gunakan untuk anak-anak di panti. Bukan untuk kepentingan kamu."
Vano membawa tangannya meraba wajah Raphael, turun pada leher, lalu pundak, hingga berhenti pada lengan Raphael. Matanya mengamati Raphael selama mungkin, memperhatikan setiap sisi tubuh. Dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Raphael, kamu adik yang hebat. Terima kasih sudah hadir ke dalam kehidupan Kakak, Mama, dan Papa. Kita akan bertemu lagi nanti di surga."
Vano memejamkan matanya, mendekatkan keningnya dengan kening Raphael. Mencium dan memeluk Raphael untuk yang terakhir kali. Cukup lama dia melakukan itu, sampai kedua tangannya sulit untuk dilepas dari tubuh Raphael.
"Dulu kamu pernah janji sama Kakak supaya Mama memaafkan dan menerima Kakak lagi, membuat keluarga kita berkumpul kembali. Kamu berhasil menepati janji kamu. Sekarang giliran Kakak. Semua akan baik-baik saja. Kakak janji akan membuat Mama dan Papa menerima kepergianmu. Meskipun berat." bisik Vano dengan suara bergetar. "Kakak sayang kamu. Tidur yang damai, Raphael. Jaga Zeline di sana."
Vano tidak tahan untuk berada terlalu lama di sana. Saat dia berdiri dan berbalik meminta suster melakukan pemulasaran Raphael secara hati-hati, suster yang sedari tadi berdiri di belakang punggungnya tak bisa menyembunyikan tangis. Suster itu terus memandang pada Vano, memberikan ucapan duka cita dan hanyut akan keadaan emosional di dalam sana.
Tanpa banyak kata, Vano keluar dengan langkah berat. Vano hancur, hatinya remuk redam. Menangis pun terasa percuma. Dia paham, adik kesayangannya tidak akan pernah bangun lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/232745707-288-k973003.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Romance[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...