44

14K 772 31
                                    

Vano memasuki wilayah cafe yang dikelola secara bersama olehnya dan Drian. Cafe itu berada di lokasi dengan pemandangan yang memukau mata para pengunjung. Apalagi letaknya berada di tebing curam daerah Uluwatu. Banyak yang mengatakan bahwa cafe miliknya ini adalah infinity view dengan pemandangan yang tidak terbatas menjurus ke laut lepas.

Selain itu, cafe ini memiliki tiga lantai dengan masing-masing sisi menghadap ke laut. Sisi paling barat adalah tempat paling favorit Vano karena terbuka dan tersedia banyak sofa serta kursi cantik yang di tata rapi sedemikian rupa.

Vano memberi senyum ramah saat pandangan beberapa pekerja seketika tertuju padanya di langkah pertama kakinya memasuki area cafe.

Tanpa mau beramah tamah lebih lama dengan karyawan atau pengunjung di sana, Vano segera naik ke lantai tiga, mencari keberadaan Drian. Tadi sore, Drian memilih pamit undur diri setelah selesai dengan kunjungan mereka di hari kedua ke tempat proyek yang sedang mereka kerjakan, meninggalkan Vano untuk melepas lelah di cafe ini.

"Serius amat ngeliatin ceweknya. Jaga tuh mata. Inget, ada Vania yang nunggu lo di rumah." kata Vano, melemparkan tubuhnya di sofa tosca, mengagetkan Drian dengan kemunculannya secara tiba-tiba.

"Si bahlul! Kaget gue." Drian memiringkan kepalanya, lalu menengadah. "Apaan sih, Van? Negative thinking mulu lo sama gue. Gue tuh lagi liat bayi itu, lucu banget tingkahnya." wajah Drian meringis geli melihat ekspresi Vano. "Ngomong-ngomong, nih gue udah pesen minuman favorit lo. Mocha latte, pake es batu yang banyak, spesial buat Pak bos Stevano."

Vano mengangkat alis, tersenyum tipis dan menyeruput minumannya secara pelan, sedangkan Drian memilih untuk melanjutkan kegiatannya menatap bayi lucu keturunan Perancis yang dia tatap sedari tadi.

"Vano, gue mau ngomong serius." kata Drian cukup tegas.

"Lo mau ngomong apa? Memang dari tadi kita lagi bercanda?"

"Dih, ngelawak lo?" Drian memiringkan tubuhnya menatap jelas raut wajah Vano, sedangkan kedua tangannya dia lipat di atas meja. "Jadi gini, dari tadi gue mandangin anak bayi itu, lucu banget dia. Makin nggak sabar nunggu hasil kolaborasi gue sama Vania. Gue penasaran, gimana rasanya jadi bapak? Mengingat, istri gue bentar lagi lahiran. Nah, gue mau nanya sama lo yang udah berpengalaman."

Vano menghela napas berat. Setelahnya, dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. "Rasanya, ya.. siapin diri lo aja buat banyak begadang."

"Terus selama begadang, apa yang harus gue siapin?"

"Kopi hitam, sesajen, sama lilin."

"Eh, monyong! Gue tuh mau begadang buat jaga anak, bukan begadang buat jadi babi ngepet." Drian menatap Vano dengan nyalang, pria itu melemparkan bantal yang berada di samping sofa nya. Beruntung, Vano cukup sigap menangkap bantal tadi. Kalau tidak, mungkin bantal itu akan mendarat di tubuh pengunjung lain di dekat meja keduanya. "Eh serius, gue--"

"Vano! Drian!"

Baik Vano maupun Drian, keduanya secara kompak mengangkat wajah mereka ke arah sumber suara. Tanpa mau bertanya mengenai kehadiran perempuan ini dihadapannya, Vano langsung memasang wajah tegas, menunjukkan ketidaksukaannya. Apalagi saat perempuan itu tersenyum cukup lebar dan sudah mensejajarkan dirinya duduk di samping Vano.

"Nggak masalah kan kalau aku duduk di sini?" tanya Davina dengan santai. "Kebetulan banget, tadi aku habis pemotretan. Lokasi pemotretannya nggak jauh dari cafe ini. Sumpah, aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di tempat ini lagi. Kamu ingat nggak sih, dulu kita sering banget ke sini pas pacaran?"

"Siapa?" Mata Drian dan Davina terlihat mengadu pandangan. Sekali lagi, Drian menghela napas. Terutama saat dia mendapati Vano memutar bola matanya malas ketika Davina merangkul tangan kirinya. Buru-buru Vano menyingkirkan tangan Davina dari lengannya. Pria itu sedikit bergeser ke arah kanan; menjauhkan tubuhnya untuk berdekatan dengan perempuan di sampingnya itu.

"Aku sama Vano. Dulu kita kan--"

"Yang nanya." Drian tersenyum getir. "Ini tuh kebetulan atau kamu memang seniat itu menemui Vano sampai ke sini? Pakai alasan pemotretan segala."

"Kamu tuh kenapa sih, Dri? Aku nggak segila itu buat memuluskan segala cara menemui Vano. Aku datang ke Bali kemarin. Kalau kamu nggak percaya, fine! Ini bukti tiket pesawat yang aku pesan. Aku berangkat kemarin pagi dari Jakarta. Apa perlu aku beberkan pesan managerku tentang pemotretan di sini?" kata Davina dengan tegas.

"Oh."

Drian menaikkan alisnya, apalagi saat Davina memasang wajah garang; tidak terima dengan tuduhan yang dilontarkan Drian padanya. Sementara tangan perempuan itu sibuk menunjukkan bukti pemesanan tiket pesawat melalui aplikasi di layar ponselnya, mengarahkan ponselnya ke depan muka Drian. Memaksa pria itu melihat dengan jelas bukti yang dia tunjukkan.

"Stop membahas masa lalu. Move on, hey! Davina cantik, model, banyak penggemar. Masa orang cantik dan terkenal seperti kamu nggak bisa move on dan cari pria lain di luar sana yang lebih baik dari Vano?"

"Memang aku cantik. Kamu bukan pria pertama yang memuji aku seperti itu."

"Hah? Ke-geer-an banget. Coba jelaskan dari sudut, siku-siku, dan sisi mana aku memuji kamu?" Drian berdecak sebal, apalagi saat pandangan Davina berubah tajam menatap matanya. Seolah perempuan itu tidak mau kalah argumen dengan perdebatan kecil yang tengah terjadi diantara mereka. "Eh, ngomong-ngomong soal ucapan aku sebelumnya, Vano nggak baik buat kamu, kan? Aku bicara kenyataan, iya kan? Kok kamu sinis gitu natap aku. Buktinya, kamu--"

"Nggak usah mancing-mancing soal itu, Drian." Davina menegakkan tubuhnya, memajukannya ke depan. "Jangan bahas tentang itu lagi. Aku sudah bilang berkali-kali, aku menyesal. Kamu tuh--"

"Kalau begitu, nggak usah ungkit terus sejarah cinta kalian di masa lalu. Mau kamu apa, sih? Kamu datang tiba-tiba ke meja kita terus bahas masalah pacaran. Nggak jelas. Basi." Drian mengamati reaksi Davina, bisa dilihat, muka perempuan berubah memerah. Setengah mati Davina mencoba menetralkan emosinya. Sial, saat pandangan Drian beralih menatap Vano, sahabatnya itu justru terlihat sibuk menyeruput Mocha latte, seolah Vano tidak berminat bergabung atau memberi dukungan pada tiap kalimat pembelaan yang dia lontarkan. "Kamu nggak bisa lihat kalau Vano sekarang sudah bahagia?"

"Dri--"

"Apa perlu gue siapin celurit sama golok biar kalian berdua saling baku hantam daripada saling berdebat dan mengganggu pengunjung kayak sekarang?" Vano menyimpan gelas dengan isi yang sudah tandas, nada sarkas yang dikeluarkan berhasil membuat kedua orang di meja itu berhenti berdebat untuk hal yang Vano anggap tidak penting selama beberapa saat.

"Lo tuh ya, apa susahnya sih ngebela-in gue? Malah ngomong gitu." Drian mencondongkan tubuh, berbisik tepat di telinga Vano. Pria itu menyipitkan mata dan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak terasa gatal sebagai bentuk pengalihan. Dia tidak habis pikir kenapa Vano tidak membelanya sama sekali.

"Lanjutkan perdebatan tidak penting ini, gue pergi." Vano bangkit berdiri, diikuti Drian di belakangnya. Baru tiga langkah, Vano tiba-tiba berhenti karena suara dering ponsel miliknya. Vano melirik Drian, tangannya mengambil ponsel dan menjauh sedikit dari meja yang dia tempati. "Halo, kenapa Ma?"

Tanpa Vano sadari, Davina yang masih duduk di sofa memperhatikan perubahan wajah Vano. Merasa khawatir, Davina memutuskan berdiri dan mendekat tepat di samping kanan pria itu. "Kenapa, Van?"

"Tunggu, Mama bisa tenang dulu sebentar?" Suara Mama Tina terdengar serak di seberang sana. Terdengar isak tangis dan itu membuat Vano kebingungan. "Tiora sama Raphael kenapa?" Vano melirik Davina, lalu pandangannya terarah ke depan; mengabaikan perempuan itu dan rasa cemas yang ditujukan untuknya. Vano menghela napas, menetralkan rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit oleh rasa kalut karena panggilan yang dia terima.

Seluruh tubuh Vano membeku, satu-satunya yang bekerja adalah tangannya yang sibuk menempelkan ponsel di daun telinga.

Apa maksud dari semua ini? Baru saja dia merasakan lembutnya suara dan tatapan teduh Tiora lewat video call, melepas rindu, dan melemparkan candaan tadi malam. Mengapa Tuhan selalu tahu cara merebut kebahagiaan yang dia rasakan dengan cara paling sadis?

"Aku pulang sekarang."

Di saat Vano tengah memejamkan mata dan tenggelam dengan berita yang mengejutkan itu, pundaknya terasa tertarik cukup keras. Saat matanya terbuka, Vano mendapati Drian sudah mengambil tempat di samping tangan kirinya. "Ayo, kita pulang. Lo mau berdiri jadi patung di sini?" celetuk Drian, meskipun dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, dia yakin ada hal yang sedang berjalan tidak baik.

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang