39

14.4K 725 23
                                    

"Woy, Kak!" kata Raphael, begitu dia tiba di ruang tengah. Pria itu mengayunkan kakinya cukup lambat seperti siput. Beruntung saat Raphael tiba di ruangan itu, Tiora sudah menutup pintu kamar cukup rapat. "Kenapa tuh muka? Kok kelihatan bete gitu dikunjungi adik sendiri, nggak kangen?"

Vano mendelik, "Kenapa kamu nggak bilang mau datang ke sini? Mentang-mentang punya kartu akses cadangan. Kalau kamu mau minta uang jajan, bisa chat atau telepon. Biar Kakak transfer, nggak perlu datang ke sini tiba-tiba."

"Kakak cocok jadi penyanyi. Kebiasaan, kalau ngomong sama aku selalu pakai nada tinggi." ucap Raphael seraya duduk di sofa, tangannya sibuk mengeluarkan satu botol air mineral dari dalam tas kecil yang dibawa, meminumnya hingga isi botol tandas setengah. Mengabaikan Vano yang terusik dengan kehadirannya. "Ngomong-ngomong, Kakak ipar mana?"

"Ada di kamar." Vano berjalan menuju kulkas, mengambil dua kaleng minuman bersoda. Tangannya melempar salah satu kaleng itu pada Raphael, sementara yang lain dia buka.

"Oh, habis melakukan olahraga, ya?" Raphael tersenyum jenaka, kembali meneguk air mineral itu sebelum akhirnya kembali berbicara. "Pantesan muka Kakak ditekuk gitu. Acara ena-ena nya aku ganggu."

"Jangan mikir yang macam-macam, Raphael." Vano menggeram kecil, melirik Raphael.

"Ya nggak bisa lah! Aku kan mikirnya macam-macam, nggak bisa satu macam doang." Raphael kembali tersenyum, kali ini matanya memicing menggoda. "Tuh, buktinya Kakak nggak pakai baju. Terus, resleting celana Kakak terbuka. Ya, gimana aku nggak mikir menjurus ke arah itu." Raphael menggelengkan kepala, matanya terarah pada bagian bawah Vano yang mengeras.

Ingin rasanya Vano mengumpat saat ini juga karena bertindak bodoh dan ceroboh. Vano menyimpan minuman kalengnya, kedua tangannya segera menaikkan resleting itu dengan cepat.

"Eh, ada Raphael." sontak, Vano dan Raphael menoleh ke arah sumber suara. "Sudah lama kamu datang ke sini?" Mata Vano dan Raphael mengikuti pergerakan langkah kaki sang pemilik suara ke arah mereka, terdengar begitu tenang, berperan seolah kegiatan intim yang gagal tadi tidak pernah terjadi. "Maaf tadi Kak Tiora habis mandi, terus ganti baju. Jadi nggak tahu kalau kamu datang."

"Justru harusnya aku yang minta maaf karena datang mendadak." Raphael menjawab, sambil kembali memasukan botol tupperware ke dalam tas. "Jadi gini, alasan aku datang ke sini mau minta bantuan Kak Vano."

"Bantuan apa?" Vano melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aku sama beberapa teman jurusan mau daftar magang di kantor Kakak. Tolong, Kak. Demi kelancaran mata kuliah KKL."

"Kamu bisa membicarakan itu di kantor besok pagi, Raphael." kata Vano, penuh jeda dalam setiap kalimat yang diucapkan. "Mengirim resume dan motivation letter kamu. Simple, kan?"

"Justru itu. Ada cara yang lebih simple, lewat jalur orang dalam." Raphael berdehem, menarik kerah kemejanya. Menaikkan tingkat kepercayaan diri satu level di atas garis maksimal, mengeluarkan berbagai usaha agar Kakaknya ini mau menerima dia sebagai mahasiswa magang. "Maksud aku..." Pria itu kembali berdehem. "Lewat Kak Vano."

"Oke." Vano mengangguk pelan. "Teman-teman kamu diterima magang di kantor, kecuali kamu. Kamu magang di tempat lain, supaya punya pengalaman luas. Kalau kamu magang di kantor Kakak, bisa-bisa kamu dapat perlakuan khusus, dan Kakak nggak mau itu terjadi."

"Belum juga kirim resume, eh sudah di tolak sama pemiliknya langsung. Nasib..." Raphael mencebik, tangannya mengelus dada seolah pasrah. "Eh, Kak Tiora." Raphael kembali ke mode riangnya, kali ini pandangannya berpusat pada Tiora yang terduduk di tangan kursi. "Ini ada titipan dari Mama. Tadi, aku habis makan sliced sirloin enak sama Mama. Terus, Mama minta dibungkus tiga box dan nyuruh aku yang antar ke sini. Sudah di marinated, bisa langsung di masak."

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang