Vano memejamkan kedua matanya. Mencoba mengenyahkan pikiran kotor dalam kepala dibawah guyuran air dari shower yang berlomba membasahi tubuhnya. Setelah Vano merasa pikirannya sudah kembali jernih, dia menyudahi acara mandinya. Memakai celana dan kaos yang dia bawa, memutuskan kembali ke ruang tengah unit apartemen. Tapi, dia terdiam saat mendapati Tiora tengah berdiri sambil mengenakan handuk. Kedua tangan perempuan itu tidak berhenti meremas bagian depan handuk yang dia kenakan.
"Tas saya yang kemarin kamu bawa mana?" kata Tiora dengan nada bingung.
Tanpa mau menunggu Vano menjawab pertanyaannya, Tiora mencari ke setiap sudut ruangan, dengan nada panik dia masih berusaha mencari tas sampai melirik ke area balkon apartemen.
"Lah? Kok tas saya tidak ada? Aduh, jangan-jangan... kamu buang tas saya, ya?"
Vano memilih duduk di sofa, memperhatikan kepanikan Tiora yang terasa menyenangkan sebelum dia kembali bertemu klien dan berkutat dengan kegiatannya--mendesain proyek besar.
"Pak Stevano Rajasa!!! Tas saya, kamu simpan di mana? Baju saya ada di tas itu, saya kedinginan." Tiora mulai kehabisan kesabaran, terutama saat matanya mendapati Stevano menatapnya dengan tatapan intens di depan sana.
Tapi, tatapan Vano semakin dalam. Setiap detik yang berlalu bagaikan siksaan bagi Vano. Wajah kebingungan sekaligus kesal yang tercetak jelas pada raut Tiora, terlihat lucu baginya. Setiap kali Tiora mempererat cengkramannya pada handuk yang dia kenakan, lalu sepuluh detik kemudian, perempuan itu menggigit bibir bawahnya, membuat Vano ingin menarik dan membawa Tiora ke tempat yang lebih pribadi. Mungkin, bibir itu bisa digunakan untuk sesuatu yang menarik.
Jangan, Stevano. Memikirkan hal itu saja sudah salah.
Keheningan ini harus berhenti. Dia harus berhenti menatap Tiora sekarang. Dia harus menyadarkan diri. Vano menyerah, dia harus berjalan menuju lemari dan memberikan Tiora pakaiannya atau dia akan terjebak dan tidak sanggup mengalihkan pandangan dari Tiora. Terhanyut akan kecantikan yang dimiliki Tiora. Hidung mancung, kulit bersih, alis tebal, dan bibir penuh berwarna merah muda. Jenis kecantikan yang mampu membuat banyak lelaki normal tunduk. Termasuk Vano.
"Tas kamu ada di bagasi mobil saya. Saya tidak sempat mengambil tas kamu karena saya sibuk menggendong kamu ke sini. Jadi untuk sekarang, kamu pakai baju saya saja dulu."
Vano berjalan menuju lemari, memberikan kaos miliknya pada Tiora. Jari-jari tangan Vano memegang ponsel, mengetuk beberapa tombol di layar. Namun sejurus kemudian, ponsel dalam genggamannya nyaris jatuh. Dia terpaku menatap Tiora yang baru keluar dari kamar mandi. Bahkan saat perempuan itu mengenakan kaos yang kebesaran pada tubuh mungilnya. Terutama pada lekukan paha yang terlihat... hmmm...
"Kenapa? Aneh?"
Vano menggeleng, dia berusaha terlihat fokus pada layar ponselnya. Membalas pesan-pesan dari para pekerja di kantor maupun pesan lain yang dikirim oleh teman. Tiba-tiba, suara bel dari luar berbunyi, memaksa Vano mengintip melalui layar kecil di samping pintu untuk mengetahui siapa tamu yang dengan sengaja membunyikan bel itu.
Sejurus kemudian, Vano menarik tangan Tiora ke atas ranjang kasur. Memaksa perempuan itu untuk berada dalam selimut. Sedangkan Vano, dia berpura-pura seperti orang yang tertidur dengan selimut yang menutupi bagian dada ke bawah. Awalnya Tiora gelagapan. Dia kira, Vano akan melakukan sesuatu yang jahat. Namun, suara pintu kamar yang terbuka membuat Tiora terdiam.
"Kak Vano!!"
Tiora merasakan tubuhnya bergetar. Tiora menerka-nerka, suara tadi terdengar seperti suara seorang pria muda. Apakah mungkin itu suara teman Vano? Suara adik Vano? Atau... suara orang lain? Tapi yang jelas, Tiora tidak mengenal suara yang terdengar jenaka ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Romance[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...