Vano terduduk sambil menumpuk tangannya di punggung tangan Tiora. Tepat satu minggu setelah dia mengantar Raphael ke peristirahatan terakhir sang adik; di samping makam Zeline, Tiora masih belum mau bangun juga.
Perempuan itu betah memejamkan mata dengan bantuan alat pernapasan yang menjaga laju pernapasannya. Selain itu, ada selang makan dan infus untuk memasukkan nutrisi juga obat-obatan serta monitor denyut jantung yang membantu Tiora bertahan.
Dokter mengatakan, dia tidak bisa memprediksi sampai kapan Tiora akan tertidur. Tapi, selama kondisi Tiora stabil, itu sudah bagus.
Sudah beberapa hari terakhir Vano tidak masuk kantor, dia menyerahkan semua urusan pekerjaan pada Drian atau kalaupun ada hal-hal penting yang harus diselesaikan dalam waktu dekat, dia akan terpaksa menyelesaikannya di kamar rawat ini. Percuma saja dia bekerja lalu menjadi gila karena tidak tenang meninggalkan Tiora dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Ada begitu banyak rasa lelah yang menggelayut di tubuhnya, tapi Vano abaikan. Meski saat ini rasa sakit tengah mencengkram kepala dan suhu tubuhnya sedang naik di atas normal akibat kurang tidur selama beberapa hari.
Bagi Vano, tidak ada waktu untuk beristirahat atau bersedih. Dia ingin terlihat kuat, setidaknya untuk Tiora dan orangtuanya. Dia takut orang tuanya hancur karena kejadian ini. Apalagi Mama Tina. Berbicara tentang Mama Tina, perempuan itu jadi sering menangis dan melamun sendirian di rumah.
Padahal, Bi Asih atau Papa Diwa sering mengajak Mama Tina mengobrol dan menghibur hati perempuan yang sedang dirundung duka itu. Tapi, tidak ada respon yang diberikan. Selain itu, Vano mau orang tuanya punya tempat bersandar saat tubuh mereka tidak lagi kuat untuk menyangga. Meski di dalam sana hatinya hancur lebur.
"Sampai kapan kamu mau tertidur seperti ini? Ayo bangun, Tiora." Vano membawa tangannya membelai wajah Tiora. Tidak ada jawaban dari Tiora. Hanya suara ritmis dari monitor jantung yang menanggapi perkataan Vano. "Jangan tidur terlalu lama. Aku rindu kamu." Vano memajukan badannya hingga menempel pada sisi ranjang. "Aku butuh kamu, Tiora..."
Vano menatap frustasi ke arah Tiora, pria itu membungkukkan badan, kemudian mendaratkan kecupan singkat di kening Tiora. Meski sedikit terganggu karena selang infus yang dipasang pada tangan.
"Aku baru kehilangan orang yang aku sayang." bisik Vano pada telinga Tiora. "Aku mohon, aku nggak bisa kehilangan kamu. Aku nggak bisa kehilangan dua orang yang aku sayang dalam waktu yang berdekatan. Bangun, Tiora. Aku sangat membutuhkanmu."
Kegiatan berinteraksi dengan Tiora harus Vano hentikan saat ponsel pada saku celananya bergetar. Vano menyimpan tangan Tiora cukup hati-hati. Lalu, dia menarik ponselnya dari saku, melirik layar ponsel. Tadinya, Vano berniat mengabaikan. Tapi saat melihat nama yang tertera di layar, dia memaksa untuk berdiri dan beranjak menjauhi ranjang sementara waktu untuk mengangkat panggilan itu.
"Kamu dimana? Dengan siapa? Semalam berbuat apa?" suara di seberang sana membuka pembicaraan.
"Lo bukan lagi telponan sama Andika Kangen Band. To the point aja, Drian. Geli gue denger lo ngomong 'kamu'." Vano menyandarkan tangannya pada kusen jendela, terdengar suara tawa terbahak-bahak diseberang sana. "Ada apa?"
"Gue mau menemui lo. Mau kasih lihat sesuatu. Lo dimana?"
"Di ruang rawatnya Tiora." Vano menyingkirkan tirai; menahan dengan tangannya. Matanya mengamati gedung dan bangunan-bangunan yang nampak kecil dekat rumah sakit dari balik kaca jendela.
"Jangan kemana-mana. Gue mau ke situ sekarang. Soalnya, ini nggak bisa dibicarakan lewat sambungan telepon."
Vano berbalik, mengamati Tiora dan menyudahi kegiatannya melihat keadaan di luar jendela. Sementara tirai yang dimainkan tadi sudah kembali ke posisi awal. "Iya." Tanpa menunggu Drian menyudahi panggilannya, Vano sudah menutup panggilan itu lebih dulu. Kakinya melangkah pendek-pendek sambil kembali duduk di dekat ranjang Tiora.

KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Romance[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...