2

40.1K 1.7K 7
                                    

Vano terduduk di kursi kerjanya. Pria itu menarik napas cukup dalam sebelum dia memijat pangkal hidung. Tangan kirinya yang masih terasa sakit akibat terjepit kayu yang hampir ambruk saat dia mengecek bangunan ke lapang memang membuat mood nya turun. Dia sangat mengandalkan kedua tangannya untuk menyelesaikan beberapa desain proyek yang menunggu untuk dikerjakan. Dia perlu mendinginkan otaknya sejenak.

Sesekali matanya mengamati ruang kerja yang baru saja selesai di renovasi minggu lalu. Ruang kerja yang cozy, tidak terlalu kaku bertema hitam dan putih. Meskipun ada beberapa sudut bermain di warna natural seperti coklat kayu. Ruang kerja ini bercat putih dengan gabungan panel-panel langit dari kayu. Lalu, di belakang meja kerja terdapat jendela kaca yang menampilkan langsung pemandangan sibuknya jalanan Kota Bandung.

Untuk sejenak, Vano ingin memejamkan mata dan tidur. Berharap semua rasa sakit di tangannya hilang dalam sekejap. Tapi, rasa kantuk itu tidak kunjung datang. Pada akhirnya, dia menyibukkan diri dengan merogoh ponsel dari saku celananya, mencari sedikit hiburan dari aplikasi yang terinstall di sana.

Alis Vano berkerut menatap layar ponselnya. Bagaimana bisa wallpaper di layar ponselnya berubah menjadi foto perempuan? Seingat dia, wallpaper di layar ponsel itu bertema layar bawaan dari perangkat ponsel. Bukan foto seorang perempuan.

Dahi Vano makin mengkerut saat dia mengingat dengan jelas siapa perempuan yang ada dalam layar ponsel. Dokter Tiora. Seingatnya, ponsel mereka terjatuh dan ponsel Tiora juga berwarna sama. Jangan-jangan...

Jari-jemari Vano dengan lincah menyentuh layar ponsel, memasukkan beberapa digit angka. Dia berniat untuk menghubungi nomor ponselnya, menjelaskan pada Tiora kalau ponsel mereka saling tertukar. Namun, niat itu dia urungkan.

Vano menimbang, berpikir sejenak. Dengan lancang, jari-jemari itu mengetuk galeri. Vano memandangi foto-foto dalam ponsel satu per satu. Untuk beberapa saat, Vano mematung. Bibirnya mengukir senyum saat layar ponsel itu menampilkan foto Tiora tengah mengenakan sneli lengkap dengan kartu tanda pengenal yang tergantung. Dia seperti terhanyut dalam kecantikan Tiora, seolah Tiora memberikan sihir ajaib yang bisa membuat matanya betah memandang foto itu berlama-lama.

"Tiora Lunardi." Gumam Vano.

Tidak lama foto itu lenyap saat panggilan dari nomor yang sangat Vano kenali masuk. Meskipun nomor itu tidak tersimpan dalam ponsel ini, tapi Vano tahu, itu adalah nomor ponselnya. Tanpa mau berlama-lama, Vano segera mengangkat panggilan dan menempelkan ponsel itu di telinganya.

"Sepertinya kamu sudah menyadari kalau ponsel kita tertukar." ucap Vano langsung ke inti, pria ini memang tidak pandai berbasa-basi.

"Kenapa kamu tidak menghubungi lebih dulu kalau kamu sudah tahu ponsel kita tertukar?"

"Supaya bisa melihat foto-foto di galeri ponsel kamu."

"Kamu!" Entah menahan rasa untuk mengumpat atau kesal, suara Tiora terdengar tertahan di ujung panggilan. "Tolong kembalikan ponsel saya."

"Oke, kita bertemu di kafe Jalan Braga jam 7 malam nanti. Saya akan kirim alamatnya."

.

.

.

Tiora sudah sampai di kafe yang dimaksud Stevano. Kafe itu terletak di sudut Jalan Braga, kafe ini dikenal oleh para pengunjung memiliki varian makanan yang beragam, selain itu harganya pun terjangkau. Tidak mengherankan jika kafe ini tidak pernah sepi pengunjung. Baik mereka yang sengaja datang untuk mengakses wifi gratis, mengerjakan tugas kuliah, atau bercengkrama sambil menghabiskan malam.

Saat Tiora masuk, dia sedikit tersentak. Perempuan itu terkejut sampai terdiam saat melihat pria yang mempunyai janji mengembalikan ponsel mereka yang tertukar tengah duduk di salah satu meja cafe bersama Drian; saling bersebelahan. Mereka tidak berdua, ada dua orang lain yang menempati meja itu. Dua orang pria ikut duduk berhadapan dengan keduanya, mereka terlihat sibuk dengan pembicaraan yang begitu serius.

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang