Drrt... drrt...
Suara getaran ponsel terdengar nyaring di dalam kamar diiringi sorot cahaya matahari yang menyusup masuk melalui celah jendela. Perlahan Tiora membuka matanya, hidungnya kembang kempis menahan perih di dada akibat menangis. Dia menghela nafas dalam, menyeka keringat yang bercucuran di pelipis mata.
Seketika, kabut gelisah menyelimuti manik mata Tiora. Kejadian buruk itu hadir kembali dalam mimpi. Tiora kembali memejamkan mata, sebelum dia mengambil napas begitu dalam. Kemudian, dia melirik ke arah meja kecil samping kasur, meraih ponsel dan menempelkannya di telinga.
"Halo."
"Dokter Tiora Lunardi, lo dimana? Jangan ngomong lo baru bangun tidur!" Suara di seberang sana terdengar berbisik, ada campuran rasa khawatir dan ketegangan di dalamnya. Tiora tahu ini suara sahabatnya, Vania.
Vania, perempuan cantik dari Jakarta. Sahabat Tiora sejak masa-masa kuliah dan kebetulan mereka menjadi mahasiswa di jurusan dan universitas yang sama. Kenapa mereka bisa bersahabat? Singkat cerita, mereka dulu satu tempat kos-kosan dan mereka juga teman makan mie sambil menonton drama Korea setiap malam.
Ya meskipun mie instan itu tidak sehat, maklum, namanya juga anak kos-kosan. Apapun bisa dimakan. Asal murah dan bisa mengganjal perut. Selain itu, mereka sangat cocok tentang apapun, terutama dalam pembahasan tentang makanan dan... pria tentunya.
"Iya, baru bangun." Jawab Tiora tanpa beban.
"GILA! Dokter Tina nanyain lo dari tadi! Dia udah datang sejak lima belas menit yang lalu."
"APA?"
Dengan gerakan cepat, Tiora melirik ke samping meja. Jam yang berada di atas meja nya sudah menunjukan pukul tujuh dua puluh, Tiora yakin kalau hari ini dia telat. Sialnya, dia mempunyai janji dengan Dokter Tina untuk visit pasien. Setelahnya, Dokter Tina akan memeriksa laporan CT scan dan MRI dari salah satu pasien usus buntu yang telah melakukan prosedur pembedahan dengan Laparoskopi untuk mereka diskusikan. Tiora melompat cepat dari kasur, menyibak selimut lalu berlari menuju kamar mandi.
"SERIUS?"
"Ngapain gue bohong?"
"Lo kenapa nggak ketuk pintu kamar gue sih? Kan kamar kita deketan!"
"Ih, gue tuh udah melakukan hal yang lo bilang tadi. Tapi lo nggak bangun. Terus, gue udah telepon lo berkali-kali, baru kali ini lo angkat. Ya udah, karena nggak ada jawaban dari lo, gue pergi lebih awal. Nggak enak kalo gue telat, gue ada jadwal visit pagi ini. Lo ngapain aja semalem sampai bisa kesiangan kayak gini?"
Tiora menggeram dalam hati. "Gue pulang malem, tidur kemaleman juga. Abis bantuin Dokter Tina operasi mendadak."
"Ya udah kalau gitu, cepat datang ke sini! Nggak enak nih, kalau Dokter Tina nanya lagi dan lo belum juga ada di sini."
"Iya oke.. oke." Jawab Tiora mematikan panggilan pada ponselnya.
Dengan tergesa-gesa, Tiora mencuci muka dan mengganti baju. Menggunakan sedikit polesan pada wajahnya sekaligus membawa lembaran kertas yang dipelajari dalam tote bag yang disusun rapi.
Segala sumpah serapah Tiora keluarkan dalam hati mengiringi langkah kakinya berlari menuju gerbang kos. Jari-jarinya sibuk merapikan helai rambut yang mengganggu pandangan matanya.
Wajah Tiora beberapa kali menoleh ke kanan dan ke kiri, pandangannya menyisir ke sekitar. Berdoa dalam hati agar dia segera mendapatkan ojek online. Tiora bergerak gelisah karena pesanan ojek online-nya tidak kunjung mendapatkan pengemudi.
Perjalanan dari tempat kos ke rumah sakit tidak terlalu panjang. Ini hari Jum'at, tidak ada kemacetan yang berarti di jalanan, dan Tiora naik ojek. Begitu motor berhenti di depan gerbang, Tiora bergegas turun. Dengan napas terengah, kakinya melewati lorong rumah sakit. Tanpa sengaja Tiora menabrak seorang pria berbadan tinggi. Terlihat sedang buru-buru ingin meninggalkan lorong itu.
"Aduh!"
Suara Tiora terdengar sedikit nyaring, si pria langsung menghentikan langkahnya. Memutar posisi badannya dengan malas. Jangan harap pria itu akan memasang wajah ramah, wajah menyesal karena menabrak Tiora pun tidak dia tunjukan
Pria itu memandang Tiora yang berpakaian rapi, kemeja pastel, dan rok senada terlihat berjongkok dengan banyak kertas yang berhamburan di atas lantai. Sedangkan tangan kirinya sibuk memegang sneli. Raut wajah kesal pria itu semakin terlihat jelas karena ponselnya terjatuh dan perjalanannya terganggu.
"Kamu jalan nggak pakai mata, ya?"
"Jalan itu pakai kaki. Fungsi mata itu untuk melihat." Tiora menimpali kalimat pria itu dengan nada kesal.
Pria itu kemudian ikut berjongkok, membantu merapikan kertas. Hal aneh tiba-tiba datang menyelimuti tubuh Tiora saat alis tebal pria itu mengerut. Lalu, kedua pandangan matanya menyusuri wajah Tiora dengan intens dan tidak goyah. Pipi Tiora memanas tiba-tiba. Tengkuk Tiora meremang saking tidak nyaman. Aneh. Sial! Apa-apaan sih, Ra?
Sebelum pria itu menjulurkan seluruh kertas yang berhasil dikumpulkan, sebuah suara lain datang di dekat meja resepsionis.
"Dokter Tiora."
Tiora segera menoleh ke sumber suara. Lalu, dia berdiri mengambil kertas dari tangan si pria dan ponselnya yang terjatuh dengan sedikit menunduk. "Selamat pagi, Dokter Tina." Ketika Tiora mengangkat kepala, Dokter Tina sedang memandang pria di samping Tiora. Pria itu berdiri, tanpa mau pergi dari tempat itu. Padahal Tiora yakin saat menabraknya tadi, pria itu terlihat terburu-buru.
"Baru datang?"
"Saya... maaf dok, saya terlambat. Tadi saya mau langsung menuju ruangan Dokter Tina. Tapi, saya tidak sengaja bertabrakan dengan pengunjung rumah sakit ini dan terlibat insiden kecil." Sahut Tiora dengan suara tegang, merasa bodoh sekaligus malu datang terlambat. Tatapan tenang pria di depannya, makin membuat dia gugup. Tiora tahu, dia tidak bisa bermain-main dengan profesi ini, apalagi menyangkut perihal waktu. Sedikit saja dia terlambat, konsekuensinya menyangkut nyawa pasien yang sedang berobat.
"Oh ini." Dokter Tina tiba-tiba bersuara. "Stevano Rajasa, anak saya, dia baru saya bersihkan luka di tangannya. Kecelakaan kecil di tempat kerja."
Entah untuk alasan apa, mendadak Tiora salah tingkah. Dia ingin menjerit sekeras mungkin. Anak? Stevano Rajasa? Pantas saja wajah pria menyebalkan ini mirip dengan Dokter Tina! Tiora makin terlihat tegang karena disampingnya, berdiri anak tertua dari Dokter Tina Rajasa, direktur utama rumah sakit ini.
Stevano berjalan mendekat, mengulurkan tangan dan bersikap 180 derajat terbalik dengan sikap yang ditampilkan sebelumnya.
Tiora meraih tangan Stevano, merasakan jabatan kukuh pria itu. "Salam kenal, Dokter Tiora."
Tiora memaksa wajahnya tetap netral, menyembunyikan kekesalan dan rasa terkejut, seperti lebih baik dia bersikap netral daripada menimbulkan masalah lain muncul di depan Dokter Tina. Tiora tersenyum sopan, terlihat percaya diri. "Salam kenal juga, Pak Stevano. Saya Tiora, dokter baru di sini."
Dari sudut matanya, Tiora bisa melihat dengan jelas Dokter Tina tengah tersenyum dan menggeleng kepala. "Bisa kali tangan Dokter Tiora dilepas, kalian bukan mau nyebrang jalan."
Tiora dan Stevano serentak melihat ke arah Dokter Tina. Tiora terdiam, buru-buru melepaskan tangannya. Sementara Stevano, pria itu memandang dengan tatapan intens dan tajam, membuat badan Tiora kembali bergerak dengan gelisah. Tanpa sadar, Tiora menggigit bibir bawahnya saat Stevano berjalan menjauh, meninggalkan dia dan Dokter Tina dengan senyum tipis yang berhasil pria itu keluarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Romance[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...