30

19K 933 39
                                    

Air mata haru yang ditahan Tiora sejak Vano mengeluarkan cincin itu seketika pecah. Secara perlahan, Tiora mengangkat satu tangannya ke wajah Vano, menyentuh kening dan pipi pria itu.

"Kamu kenapa?" Vano mengerutkan kening, memperhatikan Tiora yang menangis di depan sana, terlihat serius menatap ke arahnya.

"Kamu sakit? Kalau kamu sakit, bilang sama aku, supaya kamu nggak bercanda seperti ini."

"Bercanda?" Vano membalas sentuhan tangan Tiora, membawa tubuh perempuan itu sedikit mendekat ke arahnya. "Aku serius, sayang. Kamu senang atau sedih aku lamar? Sumpah, aku bingung."

Tiora menggeleng pelan, dia bukan menolak atau sedih. Tapi, terkejut karena Vano melamarnya mendadak seperti ini. Dia tidak bisa berkata-kata, Tiora menghela napas sebelum kembali mengamati Vano.

"Hari ini kamu bikin aku nangis berkali-kali. Pertama, kamu mempertemukan aku dengan Ibu. Kedua, kamu melamar aku." kata Tiora saat Vano sibuk menghapus jejak air mata di wajahnya, menggigit bibir bawahnya cukup kencang. Apalagi saat Vano tersenyum dengan begitu menggoda di depan sana. "Kamu mau nikahin aku?"

"Ya, mau lah. Tadi aku nanya kamu, mau nggak kamu nikah sama aku? Aku nunggu jawaban kamu, Tiora."

Tiora mengangguk, "Sebelum aku memberikanmu jawaban, aku mau kamu menjawab pertanyaan aku. Kalau kamu bisa jawab dalam waktu satu menit, aku mau menikah sama kamu. Sekarang juga, atau besok, aku siap." ucap Tiora menantang yang dibalas Vano tidak kalah menantang dengan tatapannya.

"Pertanyaan apa?"

"Pertanyaan gampang." Tiora masih memandang Vano dengan tatapan menantang. "Ingat, satu menit. Kenapa kamu memilih aku sebagai pendampingmu? Apa yang istimewa dari aku? Padahal kita baru berpacaran satu bulan. Satu bulan itu masih terlalu dini untuk kita melanjutkan ke jenjang pernikahan. Jadi, apa alasan kamu?"

Vano tersenyum. Dan Tiora semakin gugup mendengar jawaban Vano. Ya, Tuhan. Pria itu masih sanggup tersenyum dalam keadaan serius seperti ini?

"Karena aku sudah memutuskan untuk mencintai dan mengerti Tiora seorang. Jika bukan Tiora, aku tidak punya pilihan lain, karena perempuan bernama Tiora adalah perempuan mengagumkan." Vano membelai puncak kepala lalu menelusuri wajah Tiora. "Kamu mengagumkan." Vano menarik napas sebentar. "Aku kagum dengan cara kamu meraih cita-cita kamu sebagai dokter, tidak mengeluh dengan pekerjaan kamu, bahkan saat Mama aku memberikan setumpuk pekerjaan untuk kamu, kamu tidak pernah marah atau minta untuk dikurangi. Semua yang ditugaskan, selalu kamu kerjakan tepat waktu."

"Terus, apa lagi?"

"Tiora itu lucu. Apalagi kalau lagi marah atau cemburu. Terus, Tiora juga sering nggak jujur. Bilangnya gak cemburu, eh malah marah-marah dan mendiamkan aku seharian." bisik Vano dengan suara lembut. "Tapi, aku juga sering cemburu sama Tiora. Apalagi banyak dokter-dokter yang ajak dia jalan, bahkan ada yang ajak Tiora jadian. Tapi, nggak aku tunjukan saja. Karena cemburu adalah tantangan. Tantangan untuk tahu seberapa besar aku bisa menahan marah ke dokter-dokter itu."

"Lalu?"

"Aku suka senyum Tiora, dia kalau senyum manis, tapi jangan senyum ke pria lain, terutama para dokter itu." Vano berhenti sejenak, sebelum kembali melanjutkan. "Aku suka Tiora dan hobi nya. Tiora itu hobi membaca buku. Jarang sekali aku menemukan perempuan yang gemar membaca. Selain itu, dia juga selalu menyisihkan uang untuk membeli buku bacaan di toko buku Jalan Merdeka."

Suasana di sana seketika hening. Sementara mata Tiora masih tertuju pada Vano, setia mendengarkan penjelasan pria itu. Tiora bingung, harus bahagia atau merasa ngeri, karena Vano tahu tentang dia begitu dalam.

"Berjumpa dengan Tiora adalah anugrah terbesar, karena dia mampu mengubah pandangan duniaku. Karena dia, aku merasakan lagi apa itu jatuh cinta. Tiora juga yang membuat aku merindu, ingin tahu segala hal tentangnya, ingin menghabiskan waktu bersama. Tiora membuat aku sadar, kalau aku membutuhkan seseorang untuk berbagi suka dan duka. Aku-"

Kalimat Vano tertahan saat Tiora mendaratkan ciuman pada bibirnya. Bukan ciuman dalam dan lama. Hanya sebuah ciuman singkat, namun berhasil membuat Vano terdiam membisu. "Waktunya sudah habis." kata Tiora dengan wajah merah karena malu. "Jawabannya iya, Stevano. Aku mau menikah sama kamu."

Vano tersenyum, merasa puas dengan semua ekspresi bahagia yang terpampang jelas pada wajah cantik perempuan itu. Tangan Vano menyematkan cincin di jari manis tangan kanan Tiora. "Jadi, kita ke KUA sekarang?"

"Hah? Ngapain?" Mata Tiora terbuka lebar.

"Ya, mampir aja dulu. Buat pemanasan." kata Vano, memasang wajah tanpa dosa sekaligus penuh kepuasan apalagi Tiora sedikit panik karena ucapannya. "Soalnya tadi kamu bilang, kamu siap nikah sama aku sekarang atau besok. Aku sih nggak masalah, tinggal telepon kedua orang tua aku dan Raphael untuk datang ke sini, ke pernikahan kita. Ah iya, Drian dan Vania juga."

Tiora tertawa kecil, tangannya meraih sudut pipi Vano. "Memangnya kamu bisa mewujudkan itu dalam waktu kurang dari 24 jam?"

"Bisa." Vano tertawa kecil. "Apapun untuk kamu, bisa aku wujudkan."

"Sombong."

"Aku sedang bicara kenyataan, Tiora."

"Oke, kalau begitu, aku tunggu kejutan kamu yang lain, tuan menyebalkan."

Vano mengangguk, seolah menyanggupi kata-kata yang terdengar seperti tantangan dari Tiora tadi. "Ngomong-ngomong, kamu mau membicarakan apa?"

"Oh, itu." Tiora menarik tangan Vano secara mendadak, memaksa pria itu membungkuk untuk semakin dekat dengannya. "Sini, aku mau membisikan sesuatu." ucap Tiora dengan suara pelan.

"Apa, Tiora?"

"Tolong bilang ke Stevano, ada titipan ucapan dari Tiora."

"Apa katanya?"

"Kata Tiora, terima kasih untuk semuanya. Terima kasih karena membuat Ibu menerima kehadiran Tiora. Terima kasih untuk semua hal-hal mengejutkan yang diberikan. Tapi, Tiora kesal karena Stevano nggak cerita kalau dia bolak-balik Bandung - Yogya buat menemui Ibu. Itu juga Tiora tahu dari cerita Mima. Maaf gara-gara itu, Stevano jadi sering terlihat kelelahan. Kata Tiora, dia sayang sama Stevano."

"Kata Stevano, ada salam buat Tiora." Vano meraih tangan kanan Tiora, mencium punggung tangan dan telapak tangan itu secara bergantian. "Katanya, sudah tugas Stevano membahagiakan Tiora." Senyum tipis menghiasi wajah tampan Vano. "Aku mencintaimu, Tiora."

Keduanya tertawa. Kali ini mereka sudah sama-sama gila. Gila karena cinta. Tapi, nikmati saja. Mereka berdua memang harus menikmatinya sampai nanti mereka tak bisa menikmatinya lagi.

"Aku mau ke rumah Jevin, kebetulan ada banyak hal yang aku ingin bicarakan. Tentang urusan pekerjaan. Nanti, aku menginap di rumah dia."

Tiora mengangguk mendengar penjelasan Vano. Tidak menunggu lama, keduanya beranjak dari teras menuju kamar Mima. Perempuan itu membuka pintu secara perlahan agar Mima tidak terbangun.

"Besok aku datang ke sini lagi." bisik Vano, nyaris tidak mengeluarkan suara. "Tidur yang nyenyak."

Tiora tersenyum. "Iya. Kamu juga."

Bibir Vano mendarat mulus di keningnya, mencium bagian itu cukup lama. Ciuman lembut yang mampu membuat Tiora melayang ke langit tinggi.

"Aku mau mencium kamu di bibir, tapi kamu tahu, aku takut melanjutkan ke hal yang lebih dari sekedar berciuman, aku juga takut membangunkan Mima." kata Vano, sedikit memiringkan kepalanya, mengintip Mima yang tengah tertidur pulas dari balik tubuh Tiora. "Aku lanjutkan nanti."

"Nanti?"

"Iya." Keduanya bertukar tatapan. Vano membawa jari-jarinya menyusuri wajah Tiora, membiarkan perempuan itu memejamkan mata, menikmati sensasi gila yang diberikan jemarinya. "Di malam pertama kita." kata Vano, tersenyum dengan jenaka.

Tiora memutar bola matanya malas, melirik Vano, tersenyum geli penuh arti. Ingin sekali dia melayangkan bantal ke wajah tampan itu. Calon suami macam apa dia itu? Malah mengeluarkan celetukan-celetukan yang membuat jantungnya berdebar, wajahnya memanas dalam hitungan detik.

MR. ANNOYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang