"Vano."
"Ya?"
Mata Tiora memandang Vano, tepatnya pada bagian buku-buku tangan yang terdapat banyak memar. "Tangan kamu kenapa?"
Tiora memberanikan diri untuk bertanya, dengan suara pelan. Sungguh, dia penasaran dengan luka lepuh yang didapat Vano sejak luka itu terlihat saat Vano mencengkeram kemudi mobil; dalam perjalanan menuju apartemen.
Tapi, setiap Tiora ingin bertanya lebih jauh, dia mengurungkan niatnya. Perempuan itu memilih untuk meremas seatbelt sambil mencuri-curi pandang ke arah Vano yang terlihat sedikit kacau. Pria itu bahkan mengemudikan mobilnya dengan sangat cepat, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Vano selalu terdiam, seperti tengah berpikir.
Vano melirik Tiora sekilas, melepaskan kemeja putihnya. Menghiraukan Tiora yang memperhatikan gerakan demi gerakan tangannya saat melepaskan kemeja itu. "Hanya luka kecil. Aku baik-baik saja."
Tiora memiringkan wajahnya, merasa gemas dengan tingkah laku Vano sejak pria ini menjemputnya di rumah sakit. Tiora merasakan tarikan kuat dari dalam diri untuk menggenggam tangan Vano. Perlahan, jari-jari Tiora menyentuh buku-buku tangan Vano, meremas tangan itu dengan tenaganya hingga Vano meringis ngilu dengan remasan yang Tiora lakukan pada tangan kanannya.
"Katanya baik-baik saja, kok kamu meringis begitu?" Tiora menarik tangannya dan menghadap ke depan Vano. Memperhatikan dengan seksama ekspresi wajah Vano yang masih kesakitan karena ulahnya. "Kamu terpapar apa sampai mendapat luka ini?"
"Tumpahan kopi."
"Kamu menjatuhkan cairan kopi?" Tiora memiringkan kepala, memandang Vano dengan ekspresi kebingungan. "Tunggu, aku ambil kotak obat-obatan dulu."
Tiora berjalan melewati Vano, menuju lemari dapur; tempat dia biasa menyimpan kotak obat, berjaga-jaga siapa tahu terjadi kecelakaan kecil saat memasak di sana. Saat dia kembali ke ruang tengah, Tiora bisa melihat sisa kilatan amarah yang terkandung dari tatapan Vano.
"Kenapa bisa ceroboh begini?"
Vano menggeleng, "Bukan aku."
"Terus siapa?"
"Davina." Pria itu meraih tangan Tiora, menuju sofa. Memasang wajah normal. Menghilangkan ketegangan yang dia rasakan sejak tadi. "Dia datang ke kantor lagi. Tapi, karena Drian lagi nggak ada, jadi aku yang tangani. Dia bawa kopi, niatnya mau ngasih, terus aku tolak. Eh, dia maksa. Sampai cairan kopi panasnya jatuh ke gambar teknik di meja sama tangan."
"Luka nya sudah kamu obati?" Tiora mengompres tangan Vano sampai rasa sakitnya berkurang. Keduanya saling beradu pandang dengan kondisi wajah yang sangat dekat.
"Belum, baru di kompres sebentar saja. Aku langsung pergi menjemput kamu." tegas Vano saat Tiora mengoleskan salep antibiotik dan membungkus luka itu secara longgar untuk menghindari tekanan kulit yang terbakar.
"Terus, gambarnya bagaimana? Apa masih bisa diselamatkan?"
Vano menggeleng, tangannya mengusap rambut, memberi tarikan kecil. Bukan tanpa alasan Vano marah. Dia sedikit putus asa karena Davina merusak gambar teknik yang dia kerjakan dengan hati-hati dari minggu kemarin. Belum lagi sejak kuliah dulu, gambar teknik adalah mata kuliah yang sering membuat dia kekurangan jam tidur tiap malam. Tidak jarang, banyak mahasiswa teknik arsitektur angkatannya yang menangis darah saat mengerjakan. Sialnya, dia harus mengulang pengerjaan denah gambar teknik proyek hotel yang ditangani dari awal.
"Andai aku bisa bantu kamu. Sayangnya, aku nggak bisa gambar dan itu bukan bidangku." Tiora memasukkan perban ke dalam kotak, menyudahi kegiatannya mengobati tangan Vano. "Jadi, kamu harus menggambar ulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ANNOYING
Romans[SOME PARTS ARE PRIVATE. FOLLOW TO READ.] WARNING! AKAN ADA BANYAK ADEGAN DEWASA. Tiora Lunardi, si dokter cantik yang mempunyai perasaan terpendam selama bertahun-tahun pada pria bernama Drian. Tapi, siapa sangka kalau Drian justru malah memiliki h...