Kacau

1.1K 230 3
                                    

Kacau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kacau

Adam percaya kalau situasi makan malam bersama dua keluarga berlangsung dengan kacau. Itulah yang dia lihat sendiri dengan mata kepalanya. Papanya dan papa Rosa sibuk berkelahi, mengadu mulut siapa yang hebat. Kedua mama mereka juga tidak kalah akrabnya, justru saling berkomentar rambut cantik. Tapi yang membuat Adam penasaran, mengapa ia tidak mengenal Rosa ? Atau, kenapa mama dan papanya tidak mengenalkannya ?

"Elo enggak penasaran," lirik Adam kearah Rosa. "Kenapa kita enggak bertemu sejak lahir ?"

Rosa yang sibuk bermain game Among Us, beranggapan enggak jelas.

"Kalau gue sama lo ketemu duluan, hidup gue bisa musnah," kata Rosa asal. "Gue bersyukur kepada mama dan papa karena telah menjauhkan elo dari gue, paling tidak, gue sama lo enggak ketemu sejak lahir."

"Kalau lo ketemu sama gue duluan," ujar Adam, kesal. "Lo enggak jadi gini, tau!"

"By the way, umur lo berapa ?" Tanya Rosa.

"15 tahun," jawab Adam.

Kening Adam mengerut. "Emang kenapa ?"

Sambil mengingat orang yang ditemuinya, Rosa menyebut satu persatu. "Riska Nabila, Rika Maya  dan Anita, mereka sepupu gue yang seumuran lo."

"Terus apaan ?" Dengan perasaan tidak enak, Adam bertanya.

"Gue jodohin sama mereka aja, gimana ?" Rosa berhenti bermain game, mengangkat salah satu alisnya. "Mereka cantik loh bisa masak, cuci baju dan bla-bla-bla. Elo mau enggak ?"

"Enggak!" Adam berdecak kesal. Sesuai dugaan, Rosa memang tidak terduga. Bisa-bisanya cewek itu punya pikiran jodohin dia sama sepupunya. Dia aja udah susah diatur, apalagi sepupunya.

"Kenapa enggak mau ?!" Tanya Rosa, penasaran.

Adam menatap Rosa, lalu menghela napas. "Enggak, ya enggak," ujarnya. "P-Pokoknya gue enggak mau menikah aja."

"Ya, udah." Rosa melanjutkan membuka aplikasi lain, lalu memainkan ponselnya lagi. "Kalau enggak nikah, katanya bisa jadi bujangan enggak laku—"

"Elo sendiri ?" Kesal karena dipaksa, Adam terpaksa harus menanyakan cewek itu. Walau sebenarnya, ia tidak peduli.

Sejenak Rosa tidak menjawab, menatap Adam. "Gue enggak butuh gituan, mendingan sewa asisten yang bisa buatkan makanan, bawa troli gue dan enggak atur gue."

Melanjutkan kembali gamenya, membuat Adam terdiam. Berpikir sejenak kalau cewek di hadapannya benar-benar enggak sama dengan cewek lain. Bagaimana bisa cewek ini meragukan cinta daripada seorang asisten ?

"Elo sendiri ?" Lanjut Rosa. "Mau menikah ? Pacaran ? Atau, jomblo ? Kalau gue bukan ketiganya."

Adam nyengir kebingungan. "Bukan ketiganya, elo maksud apa ?"

"Hidup gue dari awal di mulai kata Single," ujar Rosa. "Jadi gue single. Bukan jomblo!"

Memukul jidatnya pelan, Adam merasa hanya dia yang tidak waras. Atau, mungkin dia saja yang tidak tahu apa jawaban Rosa.

"G-Gue...," Adam tidak bisa melanjutkan. Rosa benar, ia tidak tahu keputusan apa yang ia harus ambil mengenai itu. "Gue lanjut kuliah aja—"

"Terus nantinya jadi perjaka!" Seru Rosa.

"Elo kayak senang banget, ya!" Decak Adam, geleng kepala. "Memang bedanya sama lo apa ?"

Rosa berpikir sejenak, lalu langsung berkata tanpa embel-embel. "Asisten." Ucapnya. "Nanti gue pilih yang tampan kayak BTS aja."

"Tapi kalau elo di apa-apain sama mereka gimana, Ros." Adam tidak tahu mengapa ia peduli. Habisnya, kalau saja seorang Rosa benar-benar menyewa asisten saat orang tuanya juga enggak berdaya, apalagi cewek itu malas.

Adam tidak tahu kenapa pikirannya jadi kacau. Terpaksa menyela, ia mengganti topik.

"Elo kalau sewa asisten tanpa sepengetahuan gue." Adam melirik tajam Rosa, membuatnya terpaksa tidak berkutip. "Gue bakal hanguskan buku 18+ elo, dan enggak ada lagi gorengan di rumah ini!"

Rosa tahu Adam serius. Mungkin saja, Adam menatapnya tajam. Tapi menemukan celah tertawa iblis dari senyum Adam, membuat Rosa menyerah. Tamatlah riwayatnya, pikir Rosa hanya bisa menghembus napas.

***

"Anak elo hanya terpaku sama orang doang, Rif."

"Gue bilang, ya." Papa Rosa, Arif, tidak senang jika seseorang meremehkan anaknya. Paling enggak, jangan sekali-kali mengatakan kelemahan anaknya di depannya. "Anak gue sangat hebat, buktinya aja anak elo, Adam tunduk sama anak gue."

Papanya Adam, Akbar tidak berkutip. Melihat Adam memberikan Rosa air dari jauh, membuat Akbar langsung tidak bisa berkata.

"Apakan gue bilang ?—"Lirik Arif, setengah melotot tidak senang. Arif, salah satu papa posessif dari sebagian papa di dunia ini. Hanya dengan melihat Adam berdekatan dengan Rosa, membuatnya langsung berlomba lari kesana.

Akbar yang heran, mengikuti langkah Arif. "Elo ngapain disini—"

"Adam, tolong minggir sedikit," ujar Arif memisahkan jarak kursi Adam dan Rosa. Setelah membuat jarak, yang kata Arif cukup jauh, padahal kalau Akbar lihat terlalu jauh. "Yah, gini dong! Kan, bagus!"

"Elo larang anak elo dekat sama Adam, ha ?!" Akbar jadi kesal. Ia tidak permasalahkan Rosa, tetapi membuat jarak sama anaknya, itu sama saja tidak percaya dengan anaknya. "Emang anak gue enggak cocok jadi menantu, ha?! Masa elo jauh-jauhin mereka!"

Akbar menarik kursi keduanya menjadi dekat. Adam yang dibicarakan hanya kebingungan. Sementara itu, Rosa tidak berkutip. Ia terlalu sibuk bermain game.

Kesal karena jarak terlalu dekat, membuat Arif menatap Akbar tidak suka. "Anak gue masih kecil, apanya yang dekat-dekat ?!" Ucapnya. "Lagian, Adam dan Rosa enggak pacaran juga! Kalau mereka pacaran, gue duluan yang pastinya dikenalkan Rosa. Orang temannya aja, gue tahu semua! Emang elo tau teman anak lo ?!"

Akbar diam, merasa sedikit malu. Memang benar, Akbar, salah satu papa yang enggak peduli amat. Asalkan, anaknya enggak merokok, main cewek, kekerasan, pembully, enggak berteman sama sembarangan, enggak nyontek— tetapi sebenarnya, Akbar, papa yang terlalu banyak peraturan. Jika disaingkan dengan papa posessif, sebenarnya keduanya tidak beda jauh. Tapi terlalu mirip, sehingga selalu menolak.

"Walau gue enggak tau nama temannya semua," ucap Akbar, menentang sambil menatap Arif. "Tetap aja, anak gue enggak ngerokok kayak anak lain, jenius dan pemain basket lagi, apalagi yang kurang dari anak gue ?! Elo tau kelebihan anak lo, enggak ?!"

"Anak gue juga hebat, ya!" Sambil menatap kesal musuhnya sejak kecil, Arif melotot. "Dia menang lomba olimpiade sains juara 1, terus dia juga pernah bertanding—bla-bla-bla—"

"Anak gue jago banget soal bantu orang tua, dia bantu gue bersihkan ini, itu dan—"

"Emang elo pikir anak gue enggak berbakti, apaa?!"

"Elo sendiri, lo pikir anak gue enggak berbakat, ha ?!"

"Pokoknya, anak gue lebih hebat!" Junjung Arif, menatap Akbar.

"Anak gue seratus kali lebih hebat!" Seru Akbar, tidak mau kalah.

"Anak gue!"

"Dibilangi anak gue!"



Continue...

Figuran RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang