Pagi harinya, aku terbangun dengan ketukan pintu kamar. Aku pun membuka pintu.
"Aria, harap ke ruang rapat sekarang. Semua orang sudah menunggu." kata Budi, yang mengetuk pintu tadi.
"Ah baik, Budi, aku segera kesana," kataku. Aku pun mencuci muka dan bergegas ke ruangan rapat yang dimaksud Budi.
"Baik, karena Aria sudah datang, kita mulai rapat hari ini," kata Faisal. Budi pun menjelaskan kondisi tadi malam dan korban yang ditimbulkan akibat kejadian tadi malam. Lalu dilanjutkan dengan pembeberan motif tersangka dari keterangan yang sudah dikumpulkan.
"Singkatnya, mereka adalah suruhan orang. Mereka menyerang kosan ini dengan imbalan uang yang cukup besar untuk mereka," jelas Budi.
"Oke, sedikit intervensi, ada hal yang harus dibicarakan dari kejadian tadi malam. Aria, pelaku pemukulan orang yang berdarah di kepalanya itu, kamu, kan?" tanya Faisal.
"Betul. Itu perbuatanku," kataku.
"Lalu orang dengan luka lebam di kepala belakang, itu kamu juga? Kenapa kamu melakukan itu?" tanya Faisal lagi.
"Karena kedua anggota kosan, Fani dan Rena, sedang dalam keadaan terdesak. Mau tidak mau, aku harus melumpuhkan musuh dengan cepat sebagai tindakan preventif," kataku.
"Satu hal yang mengganjal untukku adalah kenapa semua penjahat tadi malam bisa menurut dalam perintahmu?" kata Budi.
"Aku menggertak mereka, agar tidak melanjutkan pertarungan, atau mereka akan kehilangan nyawa. Sembari aku menunjukkan kondisi pria dengan kepala berdarah itu," jelasku.
"Nggak, saat kamu melakukan itu, presensi dan aura yang kamu keluarkan sangat berbeda. Sudah lama sekali sejak aku merasakan aura dari seseorang sepertimu," kata Siska. Aku pun terdiam mendengar perkataanya.
"Jadi, siapa kamu sebenarnya?" lanjutnya.
"Seperti yang kamu tahu, Siska. Aku Aria Agnasina. Aku seorang mekanik yang ditugaskan kesini. Apa masih kurang jelas?" kataku. Siska yang tidak merasa ada kebohongan dalam perkataanku pun terdiam. Lalu rapat pun ditutup dengan kesimpulan untuk mencari siapa dalang dibalik penyerangan tadi malam.
"Aria, ikut aku," kata Faisal. Aku pun berbicara secara pribadi dengan Faisal.
"Apa maksudmu melakukan semua itu? Bukankah sudah kubilang untuk meminimalisir kerusakan?" kata Faisal.
"Aku kan sudah bilang tadi. Itulah alasanku melakukan semuanya. Tidak ada yang lebih baik selain melumpuhkannya total untuk sementara waktu. Selain itu..." kataku, lalu aku mendekat dan membisiki Faisal.
"Apa kamu tidak takut digampar Indra karena membiarkan adik Indra terluka? Atau, apa kamu tidak takut kehilangan Fani, saudara kembarmu?" bisikku, yang kemudian berlalu ke bengkel. Faisal pun melihatku dari jauh dengan tatapan terkejut.
"Sebenarnya... siapa kau ini, Aria?" gumamnya.
Aku pun melanjutkan pekerjaanku di bengkel. Sembari aku memeriksa kendaraan di bengkel, Rena pun menghampiriku.
"Ada apa, Rena?" tanyaku polos. Rena dengan tampang gugupnya itu pun ragu ketika hendak mengatakan sesuatu.
"A-Aria, terima kasih, yah, sudah menolongku semalam, hehe," katanya lugu. Dia sangat terbata-bata. Apa dia takut karena aku kemarin seperti itu?
"Kamu terbata-bata sekali. Takut denganku?" kataku polos. Mengengar itu, Rena pun mengangguk pelan. "Tenang saja, kemarin aku hanya berusaha melindungi kosan ini. Dan juga kamu," kataku.
"A-apa itu karena aku adik presdir?" bisik Rena.
"Tentu saja tidak. Tapi karena kau temanku," kataku. Rena pun bernafas lega setelah mendengar perkataanku. Aku hanya tersenyum melihat keluguannya. Tak lama setelah itu, ponselku pun bunyi. Pesan singkat dari Sembilan.
"Sepertinya Sembilan memanggilku. Aku harus segera menemuinya," bisikku pada Rena, lalu aku pun berlalu meninggalkannya. Sesampainya di ruangan Sembilan, Ia pun mengajakku berbicara dengan Indra.
"Kuhargai usahamu untuk melindungi adikku, Rena, dari ancaman semalam. Tetapi hal ini tidak boleh terulang lagi, karena itu dapat membahayakan penghuni kosan yang lain," jelas Indra. Aku pun mengerti apa yang Ia bicarakan dan meminta maaf atas kejadian itu.
"Omong-omong, kamu punya aura yang cukup kuat, nampaknya. Aku jadi penasaran seperti apa masa lalumu," katanya lagi.
"Masa laluku sangatlah membosankan, kau akan mengantuk jika kuceritakan," kataku. Indra pun menutup pembicaraan dan memerintahkanku untuk melakukan pemeriksaan berkala pada kendaraan, karena ini awal bulan.
"Anu, terkait perayaan ulang tahun Rena, bagaimana?" kataku.
"Nanti malam akan ada sesuatu untuk itu, jangan khawatir," jawab Indra. Aku pun kembali ke bengkel untuk menjalankan tugas seperti yang diperintahkan oleh Indra.
"Apa kakak memarahimu?" kata Rena pelan. Rupanya dia tahu kalau aku habis bertemu Indra juga.
"Tidak, hanya peringatan saja. Aku akui memang saat itu sangat berlebihan, dan aku memang salah. Cuma karena kondisi darurat saja aku bisa seperti itu," kataku. Rena pun mengerti dan menepuk pundakku.
"Tapi hingga sekarang, aku tahu, kok. Sejak pertama kita kenal, kamu nggak pernah berubah, Aria," kata Rena. Aku pun tersenyum mendengar itu.
"Mimpi apa aku bisa bertemu kau lagi di tempat seperti ini, Rena. Sejak lulus, aku mencarimu tau," kataku. Rena pun terkejut mendengar itu.
"Tak kusangka kau sekarang sudah jauh lebih berkembang dari sebelumnya. Syukurlah, kau belajar banyak," lanjutku. Kami pun tertawa dalam perbincangan itu.
Hari mulai gelap. Aku diminta Faisal untuk bersiap di halaman kosan dengan yang lain. Siska datang menuntun Rena yang kebingungan karena para penghuni kosan mematikan semua lampu, dan Rena mengira listriknya sedang padam. Sesampainya Rena di halaman, lampu pun dinyalakan, confetti diledakkan, dan semua bersorak,
"SELAMAT ULANG TAHUN, RENA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...