Mereka berkumpul di ruang rapat atas arahan Aria. Tak lama, pintu terbuka dan Rizal menyusul masuk.
"Loh? Rizal?" kata Aria.
"Aria, biarkan aku membantu. Dengan begini, seluruh anggota kosan ini berada di belakangmu," kata Rizal. Aria tersenyum mendengarnya.
"Mohon bantuannya ya, sob," kata Aria. Aria lalu memulai rapat.
"Oke, untuk saat ini, memang aku belum ada rencana apapun," kata Aria. Semua orang kaget, padahal baru saja Ia mengatakan bahwa ada rencana.
"Tapi, aku tahu apa yang harus kulakukan. Aturan perang nomor satu : Kenali musuhmu. Diki, Sembilan, aku butuh informasi tentang Alexander Raditya Drajat, sebanyak mungkin," kata Aria. Diki dan Sembilan mengangguk. Mereka mencari informasi sedetail mungkin tentang musuh mereka kali ini.
"Menarik ya, benar-benar ada hal seperti ini," kata Sembilan.
"Pencarian selesai," kata Diki.
"Tolong tunjukkan pada semuanya," kata Aria. Diki lalu menampilkan informasi itu dalam proyektor.
"Alexander Raditya Drajat. Anak sulung Keluarga Drajat ini memiliki sebuah organisasi gelap. Organisasi ini bergerak di bidang keamanan, dan merupakan organisasi semi-militer ilegal yang punya pemasok dana yang cukup besar, sehingga kerahasiaan mereka terjaga. Aku berhasil melacak nomor telepon yang Ia gunakan barusan, dan meretas database mereka tanpa diketahui," kata Diki.
"Berapa jumlah anggotanya?" kata Aria.
"Untuk sekarang, anggota mereka ada di angka 750 orang. Beberapa diantaranya memiliki pangkat yang cukup tinggi, sedangkan yang lain adalah anggota yang terlatih dengan baik, mengingat mereka adalah organisasi semi-militer. Atau bahkan mendekati militer itu sendiri," jelasnya.
"Oke. Sekarang, mapping lokasi untuk perang kita kali ini," kata Aria. Diki segera memanipulasi gambar yang Ia terima dari pencarian menjadi model tiga dimensi. Ia lalu menganalisa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di tempat itu.
"Kemungkinan, kita akan masuk lewat gerbang di sebelah selatan bangunan. Ada kemungkinan lain bahwa jalan didepan bangunan akan ditutup, mengingat jalan ini adalah jalan 'mati' yang sangat jarang dilewati warga sekitar. Selain itu, ini kemungkinan titik-titik penjagaan yang terletak di timur, utara, dan barat bangunan. Menurutku, mereka akan melakukan segala cara untuk menahan pihak luar untuk terlibat dalam perang ini, selain pihak yang dia 'undang' hari ini," pungkas Diki.
"Oke, apa ada bangunan di sekitar bangunan itu yang dapat kita gunakan?" kata Aria.
"Ada dua pos polisi kosong, seratus meter dari situ ada bangunan tinggi lain yang bisa kita gunakan," kata Aria.
"Oke, pembagian tim, tim pertama : medis. Berapa banyak tenaga yang bisa dikerahkan, Dokter?" kata Aria.
"Sejauh ini aku punya puluhan personil, termasuk yang ikut dalam insiden tudung merah waktu itu," kata Romi.
"Untuk antisipasi, Budi, aku perlu anak buahmu untuk backup Dokter Romi. Kau berpasangan dengan Fani untuk mengelola mereka," kata Aria.
"Baik, serahkan padaku," kata Budi.
"Oke, aku akan lakukan sebisaku," ujar Fani.
"Semua tenaga dari tim medis aku arahkan ke gedung tinggi yang dimaksud oleh Diki tadi. Persiapan dari berangkat, sampai tempat hingga waktunya penyelamatan harus benar-benar matang," jelas Aria. Budi, Fani dan Romi mengangguk paham.
"Pembagian tim nomor 2 : tim pantau. Faisal, Diki, Sembilan. Pertama Diki, siapkan drone untuk mengawasi perang dari langit. Beri informasi pada tim medis terkait jumlah dan kondisi korban secara garis besar, sehingga tim medis tahu seberapa banyak backup yang dibutuhkan nanti. Selain itu, buka komunikasi dengan tim medis terkait timing untuk segera maju ke lokasi, mengingat akan tetap ada kemungkinan bagi tim kita untuk terpukul mundur," ujar Aria.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...