Malam itu, seperti biasa, Aria melakukan rutinitasnya di atap kosan. Bulan purnama yang terlihat besar saat itu, turut menemani malam merenungnya. Tak lama, Ia merasakan kehadiran seseorang dari belakangnya.
"Baru pulang, Sis?" katanya.
"Iya nih. Ngobrol panjang banget sama abang-abanganmu itu," kata Siska. Aria terkekeh.
"Ceramah apalagi itu manusia satu?" kata Aria. Siska dibuat tertawa oleh perkataan Aria.
"Intinya sih aku curhat perkara Tudung Merah ke dia. Bagaimana caranya aku bisa menjadi pemimpin yang solid. Bagaimana caranya, aku bisa merangkul mereka semua, sedangkan..." kata Siska.
"Hm?" kata Aria.
"Sedangkan, tanganku tidak seluas itu untuk bisa merangkul mereka, tidak sejauh itu untuk bisa meraih mereka, tidak sekuat itu untuk menggenggam mereka," kata Siska.
"Kau tidak perlu semua itu, Siska. Kau tidak perlu merangkul semua orang," kata Aria. Siska dibuat bingung oleh Aria.
"Lah, kan dia bilangnya begitu?" kata Siska.
"Tapi kau tidak harus merangkul mereka sendirian, bukan?" kata Aria. Siska lalu memperhatikan Aria untuk paham maksud Aria.
"Kau hanya perlu merangkul beberapa orang saja, lalu ajari mereka untuk merangkul yang lain. Dengan begitu, kalian akan bisa saling bahu membahu, saling menggenggam tangan satu sama lain, dengan begitu, 'pagar' yang akan kalian buat akan jauh lebih kuat dari sebelumnya," kata Aria.
"Hm? Begitu ya?" kata Siska.
"Lagi pula, tidak semuanya harus dalam perlindunganmu. Dengan langkah yang kau buat untuk mendapatkan hormat dari mereka, mereka tidak hanya ada dalam dekapanmu, tapi juga akan melindungimu dari segala sisi. Jadi, tidak hanya kau yang ada untuk mereka, they will got your back too, Siska," kata Aria. Siska lalu termenung memikirkan ucapan Aria itu.
"Kamu sendiri, kenapa malam-malam kesini? Bukannya tidur?" kata Siska.
"Ah, ada banyak hal berputar di kepalaku. Aku tidak bisa tahu itu apa," kata ARia.
"Hm? Mungkin, ingatanmu? Kamu sempat cerita kan kalau kamu lupa ingatan?" kata Siska.
"Ah, mungkin itu. Makanya, sekarang pun belum bisa terlihat jelas," kata Aria.
"Tenang saja. Mungkin akan butuh waktu, tetapi aku yakin pasti ingatan itu akan kembali. Lihat Indra. Dia saja pada akhirnya bisa mengingat adiknya," kata Siska.
"Yah, semoga saja. Saat ini aku hanya bisa ingat Ellie. Aku bahkan tidak bisa ingat orang tua asliku sekarang. Mungkin saja, dalam waktu dekat, mereka semua hadir didalam ingatanku lagi," kata Aria. Siska lalu mengangguk.
---
Paginya, seperti biasa, Aria mengantarkan Rena untuk pergi kuliah.
"Kamu nggak kuliah naik mobil aja, kah, Rena? Betah banget kayaknya naik motor," kata Aria.
"Kenapa, Aria? Kamu tidak mau mengantarku hari ini?" kata Rena.
"Y-ya bukan begitu, maksudku, kamu kan sudah dapat fasilitas yang bagus disini, apalagi sebagai adik Indra. Rizal bisa mengawalmu juga kalau naik mobil," kata Aria. Rena lalu tersenyum.
"Aku, sudah terbiasa untuk tidak bergantung dengan fasilitas Kakak. Selain itu, karena Kakak juga merahasiakan identitasku ke semua orang, nanti orang-orang pada tahu dong aku sebenarnya siapa? Bukannya akan lebih buruk?" kata Rena.
"Iya juga sih, tapi, menurutku ya, cepat atau lambat, orang-orang juga akan tahu rahasiamu, kok. Tidak mungkin orang dapat menyembunyikan apapun dalam waktu lama. Pasti akan tercium juga nantinya," kata Aria. Rena lalu berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...