"Ada apa denganmu? Benar, aku tadi yang mengantar Rena ke kampus, ada apa?" kata Aria. Mereka berdua pun saling tatap dengan sinis.
"Lain kali, jangan melewati kecepatan maksimal 120km/jam, karena itu berbahaya untuknya," kata Rizal. Aria pun semakin bingung lagi.
"Oi, dia itu telat ke kampus, loh. Kuliahnya itu penting baginya, makanya dia tidak boleh terlambat kelas sedikitpun," kata Aria.
"Lagipula, aku jauh lebih mengenal Rena ketimbang kau. Jadi aku lebih tahu batasan mana yang tidak boleh dilanggar olehku padanya, mengerti?" kata Aria yang berusaha menatap Rizal tetapi kesulitan karena mata Rizal tertutup rambut.
"Apa katamu?!" kata Rizal dengan nada tinggi. Mereka berdua pun saling bersitegang, dan membuat semua orang yang melihatnya takut akan terjadinya pertengkaran didalam kosan.
"Aduh celaka, dia bikin marah Rizal," kata Romi, panik.
"Aduh kenapa coba dia bikin masalah sama manusia satu itu?" tanya Doni keheranan. Faisal pun tidak ada di tempat karena ia sedang berada di perusahaan, sehingga tidak ada yang mampu memisahkan mereka.
"Ayo ayo, Nak, jangan bertengkar. Nanti saya masakkan semur jengkol legendaris ala saya, lho," tegas Pak Agus yang melihat pertikaian Aria dan Rizal. Rizal pun melihat Pak Agus dan sontak bergidiklah manusia berpostur tinggi besar itu.
"Saya mohon maaf, Guru," kata Rizal.
"Aih, maafkan kami Pak Agus, sepertinya bung Rizal salah paham dengan saya," kata Aria.
"Omong-omong, semur jengkol legendaris ala Pak Agus itu... kayak apa ya, Pak?" tanya Aria polos. Makin bergidiklah si jangkung satu itu. Mendengar nama hidangannya saja sudah membuat ia takut bukan kepalang. Doni dan Romi yang melihat itu pun langsung tepuk dahi.
"Bodoh! Kenapa Ia malah tanya?!" seru mereka. Pak Agus pun menatap Aria.
"Oh, apa kamu ingin coba?" ujarnya.
"Saya hanya penasaran sih, Pak. Tapi kalo Pak Agus lagi nggak buat, nggak apa-apa kok, Pak. Saya tidak ingin merepotkan Pak Agus, hehe," jawab Aria polos. Aria lalu berlalu meninggalkan Rizal.
"Dia belum tahu seberapa kejam masakan itu," batin Rizal, sembari melirik Aria dari jauh.
Aria pun langsung menuju ruang makan, mengambil segelas air dingin dan meminumnya.
"Hah, hari ini panas sekali rasanya, bumi sedang marah kah?" gumamnya.
"Tadi sama Rena kemana?"
"Tadi aku sama-- ASTAGA FANI! Kukira siapa, bikin kaget saja," kata Aria yang terkejut melihat Fani yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
"Hehehe, jadi kalian kemana tadi? Sepertinya buru-buru sekali," kata Fani.
"Itu, Rena hampir telat mengikuti kelas untuk kuliahnya, dia cemas sekali. Alhasil kubawa dia ngebut, mungkin lebih ngebut dari waktu aku membawamu tempo hari," ujar Aria.
"EH?! Kamu bikin bahaya anak orang, ya!" seru Fani sembari mengacak-acak rambut dan menjewer telinga Aria.
"Adududuh, kamu ini mamaku, apa? Ngejewer kayak gini, sakit tahu!" pekik Aria. "Dulu waktu sekolah aku juga sering begitu, kok, dengan Rena," lanjutnya.
"Oh ya? Benar begitu?" tanya Fani penasaran. Fani lantas melepaskan jeweran tangannya di telinga Aria.
"Ya, waktu itu dia cukup payah karena sering datang terlambat, meskipun nilai-nilainya di sekolah juga sangat bagus. Jadi aku sering membonceng dia dengan motor menuju sekolah, dan pastinya ngebut," jelas Aria sembari meneguk kembali air esnya. Fani pun memperhatikan Aria ketika menceritakan sesuatu.
"Eh, jadi kalian cukup dekat, ya?" kata Fani. Aria pun mengangguk. Aria pun bercerita bagaimana Ia dan Rena bertemu di sekolah, sampai mereka berdua menjadi teman dekat yang selalu bersama selama tiga tahun tersebut. Fani pun mendengarkan cerita Aria dengan seksama. Aria pun sadar Ia terlalu banyak bercerita.
"Ah, kenapa aku jadi banyak cerita begini. Maaf ya, Fani, kau pasti bosan mendengar ceritaku barusan," ujarnya. Fani pun tersenyum melihat Aria.
"Nggak apa-apa, kok. Aku dengarkan ceritamu. Baguslah, kalau kau memiliki masa lalu yang bagus untuk dikenang," kata Fani dengan senyumannya.
"Senyuman itu... kenapa mirip sekali dengan senyuman Faisal? Apa karena mereka kembar, atau... memang ada sesuatu?" batin Aria. "Mau kubuatkan minum?" kata Aria, mengalihkan pembicaraan.
"Ah, tidak usah repot-repot, Aria. Lagipula, sebentar lagi aku harus ke studio, tentu saja sendiri," kata Fani.
"Baguslah, dengan begitu kau tak perlu teriak-teriak lagi saat kubonceng seperti waktu itu," gelak Aria. Fani pun tertawa mendengar candaan Aria. Aria pun mengambil minum lagi, lalu beranjak meninggalkan Fani, dan membawa minumannya ke saung.
"Haih, dasar," gumam Fani pelan, dengan senyum tersungging di wajahnya.
Sampai di saung, Aria bertemu lagi dengan Pak Agus yang sedang bersantai sembari mengelus-elus seekor kucing yang duduk disampingnya.
"Hari yang terik ya, Nak," katanya.
"Iya, Pak. Terik sekali. Saya saja sampai habis dua gelas air es," kata Aria.
"Panasnya, apa lebih panas dari tensi kamu sama Nak Rizal barusan ya, Nak?" kata Pak Agus. Mendengar itu Aria pun tersedak air minumnya sendiri. Ia pun mencoba bernafas dengan tenang dan kembali minum pelan-pelan.
"Maaf ya, Pak, saya tadi nggak sengaja berantem sama Rizal. Abisnya, dia nyolot duluan sama saya," kata Aria. Pak Agus lalu melihat keadaan sekitar. Setelah yakin tidak ada orang selain mereka berdua di sekitar mereka, Pak Agus lalu melanjutkan bicaranya.
"Wajar kalo Nak Rizal seperti itu, Rena kan adik tuannya. Dia juga menyayangi Rena, makanya dia juga khawatir," kata Pak Agus. Aria membalas dengan mengangguk, tanda mengerti, sembari meminum airnya.
"Nggak ada yang nyangka ya, Pak. Ternyata Rizal orang yang seperti itu. Padahal, dari luar dia terlihat dingin sekali. Auranya serta perawakannya seperti seorang pendekar yang menakutkan. Saya nggak nyangka Rizal punya sisi seperti itu dalam dirinya," ujar Aria. Pak Agus pun tersenyum mendengar ucapan Aria.
"Nak, dia dulu itu murid bapak. Bapak sangat tahu seperti apa sifat Nak Rizal. Dia memang orang yang tegas, keras, dan juga disiplin. Tapi ketika dia menghormati dan menyayangi sesuatu, dia akan melakukannya dengan sepenuh hatinya," jelas Pak Agus. Semakin jelas gambaran Aria terhadap pria kekar itu. Ia telah salah memahaminya hingga bersitegang dengannya.
Setelah itu, Aria pun beranjak meninggalkan saung.
"Mau kemana, Nak?" kata Pak Agus.
"Mau ke dalam, Pak. Mau minta maaf sama Rizal," ujar Aria sembari berlalu. Pak Agus pun tersenyum melihat sikap Aria.
"Memang unik-unik, ya, anak zaman sekarang," gumamnya, sembari mengelus-elus kucing kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...