Seminggu telah berlalu. Aria tampak mempersiapkan segala sesuatunya di kamarnya. Mulai dari pakaian, ponsel, dan barang yang Ia rasa Ia butuhkan, termasuk senjata andalannya untuk sesuatu yang tidak terduga. Ia membawa tas yang cukup kecil, cukup untuk membawa pakaian dan barang untuk bepergian selama tiga sampai empat hari. Ia lalu membawa tasnya dan pergi ke ruang makan untuk berpamitan.
"Eh? Ekspedisi?" kata Siska.
"Yah, begitulah. Aku adalah orang yang mengalami hilang ingatan. Dan dengan ekspedisi ini, aku harap aku dapat mengembalikan semuanya," kata Aria.
"Eh? Aku baru tahu," kata Doni.
"Kata dokter sih, aku pernah mengalami kecelakaan, tapi aku tidak mengingatnya sama sekali," ujarnya. Semua orang pun mengangguk, termasuk Faisal yang sedang sarapan disitu.
"Yah, apapun itu, semoga kamu segera dapat menyelesaikannya, ya?" kata Faisal, yang menyemangati Aria.
"Terima kasih, Faisal. Yah, aku tidak lama sih di luar, pasti aku akan segera kembali. AKu juga tidak bisa terlalu lama berkeliaran di luar sana, karena masa laluku," kata Aria.
"Eh? Masa lalu?" kata Siska.
"Yah, mungkin banyak yang mencariku sekarang, karena hal-hal yang dulu kulakukan," kata Aria singkat. Mendengar itu, Siska dan Doni saling tatap.
"Apapun tujuanmu untuk keluar sepagi ini, kau tetap tidak boleh keluar dengan perut kosong," kata Budi, dengan ekspresi datarnya itu, memberikan sekotak bekal untuk Aria.
"Wah, terima kasih ya, Budi. Aku tersentuh," kata Aria.
Sementara itu, di tempat lain.
"Aku tidak menyangka kau akan mendapatkan keduanya secepat ini, Dokter. Kau sungguh brilian," kata orang itu.
"Sudah tugasku, Tuan Bima. Aku disini untuk mengabdi bersama Keluarga Drajat," kata dokter itu.
"Bagus, dengan ini lengkap sudah yang kita butuhkan. Identitas Aria Naraindra Saga, dan juga..."
katanya, sembari membuka berkas yang satu lagi.
"Indy Sri Jaya," katanya.
Aria akhirnya sampai di rumah susun tempat pelarian orang-orang kampungnya dulu. Rumah susun itu terlihat lebih bagus, terawat, dan orang-orang disana juga terlihat lebih bahagia dengan apa yang mereka jalani sekarang.
"Wah, syukurlah, tempat ini jadi lebih hidup," batin Aria, yang mengenakan jaket, kacamata hitam, topi dan maskernya. Ia lalu mampir ke sebuah warung kopi di dekat situ.
"Kopi hitam satu Pak," kata Aria.
"Oke, siap bos!" kata penjaga warung yang dengan sigap membuatkan minuman itu, sedangkan Aria mengambil tempat duduk di meja yang agak jauh dari situ.
"Ini Bang, kopinya," katanya. Ia lalu beranjak pergi.
"Pak, masih ingat saya?" kata Aria, sembari membuka masker dan kacamata hitamnya. Penjaga warung pun terhenti langkahnya, dan kemudian melihat ke Aria.
"Loh? Dek Aria? Anaknya Pak Anto?" kata orang itu, terkejut. "Weh bapak-bapak! Anaknya Pak Anto disini!!" serunya memanggil warga lain. Aria lalu menyambut sambutan itu dengan salamnya.
"Ya ampun Nak Aria, Kemana aja kamu, Nak? Bapak kira kamu sudah meninggal," kata penjaga warung.
"Hahaha, nggak kok, Pak Kasim. Saya masih sehat-sehat aja," kata Aria. Mereka lalu berbincang kesana-kemari sembari meminum kopi dan menghisap rokoknya masing-masing. Suasana tongkrongan yang hangat terekam jelas pada kejadian ini. Hingga, hari bergerak menuju gelap, matahari sudah terbenam. Waktu senja telah tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...