Chapter 1 - Pertemuan

179 30 0
                                    

"Oke, here we go!"

Aku pun segera memacu motor besarku ke jalan protokol yang dimaksud di amplop itu. Sesampainya di jalan itu, aku melihat ke kanan kiri dan sama sekali tidak melihat mobil yang berhenti. Lalu apa yang harus aku lakukan disini?

Tak lama, sebuah mobil mewah berhenti di bahu jalan ini. Aku melihat mobil itu. Ada apa dia tiba-tiba berhenti? Tak lama, mobil itu menyalakan hazardnya. Akupun mematikan rokok yang kuhisap lalu mendekati mobil itu.

"Mogok, mas?" tanyaku.

"Eh, iya ini, mas. Tiba-tiba tidak mau jalan," kata orang itu. Orang ini berpakaian sangat rapi, rambut hitam belah pinggir yang hampir menutupi sebelah matanya. Dia juga terlihat berwibawa. Mungkin dia manajer di sebuah kantor, batinku.

Aku pun menawarkan diri untuk memperbaiki mobil itu, lalu dia mengiyakan. Aku mulai membuka kap mobil itu lalu memeriksa mesin, aki, dan apapun yang membuat mobil ini berhenti menyala. Aku memeriksanya sejenak, memperbaiki apa yang salah, lalu mencoba menyalakannya kembali.

"Nah, sudah selesai, mas. Mobil merek ini agak sering rewel, ya," kataku.

"Wah, cepat sekali. Saya tidak mengira akan secepat ini. Kalau begitu, ini untuk anda. Terima kasih banyak," katanya sembari memberiku amplop dan kemudian berlalu.

"Eh? Aku dibayar? Padahal aku nggak minta, tapi makasih," kataku sembari melihat mobil itu berlalu. Aku pun berpikir, apa itu saja? Aku pun memutuskan untuk bersantai sejenak di warung yang ada di jalan itu.

"Abis benerin mobil, bang?" sapa Edi, penjaga warung, yang kebetulan rekanku.

"Iya, Di. Ada mobil mogok tadi disini. Mobil mewah, merek terkenal itu," kataku. Edi lalu membuatkanku kopi dan menyajikannya kepadaku.

"Aih, hari ini cukup panas ya, Di. Anak-anak kemana semua?" tanyaku, menanyakan keadaan rekan-rekanku yang biasa nongkrong bersamaku disini.

"Iya, Ar. Anak-anak lagi jaga terminal, biasa, cari makan," jelas Edi. Aku lalu memikirkan tawaran yang ada pada amplop itu. Aku bisa dapat petunjuk tentang siapa wanita itu, dan apa yang menghubungkanku dengannya. Aku lalu menyeruput kopi sembari bergumam.

"Ah, pertanda apa ini?" Batinku.

The Number ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang