Brenda yang kembali ke rumahnya, langsung berlalu menuju kamarnya. Tempat yang nyaman untuk beristirahat. Selagi beristirahat dan berganti pakaian, Ia terus menerus berpikir, apa yang bisa dilakukannya untuk mempercepat proses menemukan kakaknya yang hilang itu.
"Kakak? Nggak kuliah hari ini?" kata Carla.
"Nggak dulu kayaknya, Carl. Kakak sedang capek," kata Brenda.
"Masih kepikiran Kakak, ya?" kata Carla.
"Yah, begitulah," katanya yang lalu duduk di tempat tidurnya.
"Terlebih lagi, sekarang Kakak harus memutar otak, menemukan cara agar Kakak kita bisa kembali. Sudah ada kemungkinan yang cukup, tetapi, belum ditemukan cara untuk menemukan Kak Aria dengan lebih cepat," lanjutnya. Carla lalu duduk di sebelah Brenda, dan menggenggam tangannya.
"Kak, percayalah. Kalau Kak Aria masih hidup, kita akan bisa menemukannya. Cepat atau lambat, itu bukan masalah. Yang penting, kita bisa bersatu lagi," kata Carla. Brenda tersenyum mendengar kata-kata Carla, lalu memeluknya.
"Makasih ya, Carl. Kakak tahu, kita pasti bisa," kata Brenda.
"Brenda?" kata Jaka, yang mengetuk pintu kamar Brenda.
"Masuk aja, Paman," kata Brenda. Jaka lalu membuka pintu kamar itu.
"Ah, Brenda, ada waktu kosong?" kata Jaka.
"Aku lagi kosong sih, Paman. Ada apa?" kata Brenda.
"Nah, kita main, yuk! Seperti biasa," kata Jaka. Brenda ingin menerima ajakan itu, tetapi ragu, apakah Ia bisa bermain, atau Ia masih butuh waktu untuk istirahat. Jaka berjalan menghampirinya.
"Brenda, sekalipun kamu nggak ada kuliah hari ini, kamu harus tetap memutar otakmu. Kita sedang menghadapi masalah yang besar. Kamu harus melatih dirimu untuk lebih cerdas dan bijak untuk menghadapi masalah itu," kata Jaka. Brenda lalu tersenyum.
"Oke. Ayo kita main, Paman!" kata Brenda dengan semangat.
Mereka berdua telah sampai di ruang tamu. Meja sudah tertata rapi. Semua yang dibutuhkan untuk permainan ini, sudah siap. Pion, raja, ratu, kuda hingga benteng.
"Akhirnya, ada waktu luang lagi untuk main. Selama aku nggak bisa main, kadang aku gelisah juga, Paman," kata Brenda.
"Yah, mau gimana lagi? Kamu sangat suka catur dari kecil. Ini juga permainan yang membentukmu menjadi seorang jenius seperti sekarang," kata Jaka.
Brenda, yang mendapat bidak putih, memulai permainan dengan memajukan salah satu pionnya.
"Kalo begini kan bagus, selagi kamu menajamkan otakmu, kamu juga jadi rileks karena inilah yang kamu suka. Tapi sekarang, tunggu dulu," kata Jaka, sembari memajukan pionnya. Brenda lalu memajukan kudanya, dan diikuti juga oleh Jaka. Selama beberapa putaran, Jaka terus menyalin strategi Brenda. Brenda lalu mulai gelisah.
"Aneh. Tak seperti biasanya. Paman tak biasa bermain seperti ini," kata Brenda. Selama permainan berlangsung, satu menit berlalu, Jaka terus-terusan menyalin strategi Brenda.
"Maaf, Nak, Paman sedang tidak ingin kalah hari ini," kata Jaka dengan senyumannya. Brenda mulai mencoba strategi yang berbeda ditengah strateginya yang berjalan. Ia dengan cukup agresif menggerakkan 'ratu'nya. Itupun, masih bisa ditiru oleh Jaka.
"Geser strategi, ya? Boleh juga," batin Jaka. Mereka lalu tetap melanjutkan permainan. Brenda yang gelisah karena strategi pamannya itu mulai kehilangan kendali. Ia melakukan gerakan yang salah, yang akhirnya mengorbankan 'ratu' dan 'kuda' miliknya. Setelah tiga menit yang rumit, Jaka lalu mengakhiri permainan dengan skakmat. Brenda, setelah tujuh kali menang, kalah menghadapi Jaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...