Setelah dari saung, aku pun melihat Indra dan Rizal pergi menggunakan mobil pribadinya. Tumben siang sekali? Biasanya dia pergi pagi-pagi sekali. Ah sudahlah, aku hanya harus menjalankan tugasku disini. Tak lama, Rena menghampiriku.
"Hm, ada apa, Rena?" kataku.
"Ikutlah denganku ke dalam, ada yang ingin dibicarakan," katanya. Ha? Ke dalam? Apa maksudnya ke tempat Indra? Ia pun menyeretku ke suatu tempat yang tak lain adalah...
"Ha? Lubang dindingnya Diki?" batinku.
"KENAPA KAMU MEMBAWANYA KESINI?! KAU MAU APA?!" kata Diki, yang sangat kesal mengetahui Rena membawaku kesini.
"Sudahlah, Dadang! Aku ada perlu sebentar dengan dia, dan aku harus memasukkannya," kata Rena. Sebentar, Ia ingin memasukkanku kemana? Kenapa pikiranku jadi kemana-mana begini?
Setelah mereka berdebat sengit, akhirnya Diki membiarkanku dan Rena masuk ke dalam, lalu lekas menutup pintunya. Lalu Diki membuka satu pintu lagi, yang jelas saja membuatku terkejut.
"Pintu rahasia? Sejak kapan?" kataku terkejut. Rena pun menenangkanku lalu menyeretku masuk ke dalam. Tak kusangka, pintu itu mengantarku ke ruangan tempat Indra bekerja.
"Eh? Kenapa aku dibawa kesini lagi?" kataku.
"Ada yang ingin bicara denganmu," katanya. Tak lama kemudian, muncullah manusia berambut merah bertampang suram pembawa boneka itu. Sembilan.
"Selamat siang, Dek Ari. Bisa kita ngobrol sebentar?" katanya. Dek Ari, katanya? Panggilan darimana itu? Aku merinding mendengarnya. Aku pun menyanggupi ajakannya berbicara.
Setelah berbincang sekian lama, aku pun pergi dari ruangan sembilan setelah Ia mengizinkanku pergi. Aku pun kembali menghampiri Rena. Rena bertanya bagaimana perbincangan kami.
"Panjang ceritanya, Rena. Aku susah mau jelaskan kepadamu," kataku sambil garuk2 kepala. Lalu Sembilan berlalu dan tersenyum pada kami berdua. Senyumannya aneh sekali! Bergidik aku dibuatnya. Aku dan Rena pun kembali ke luar ruangan Indra dengan pintu rahasia yang kami lalui tadi.
"Diki, bisa aku pinjam kabel BRT yang kemarin lagi?" kataku.
"Hah?! Kenapa begitu?!" katanya ketus.
"Aku butuh itu untuk men-setting motor baruku, selain itu..." kataku, lalu aku berbisik pada Diki.
"Karena aku masuk sini dengan rahasia, jadi aku bisa menggunakan itu sebagai alasan ketika ada yang bertanya kenapa aku disini," kataku. Diki pun menyanggupi, lalu aku dan Rena segera keluar dari 'sarang' milik Diki itu, lalu aku segera ke bengkel, diikuti oleh Rena.
"Hmm, memang ada yang aneh ya dengan Kak Sembilan?" kata Rena.
"Ehm, bagiku dia sangat aneh. Kantung matanya, seleranya, senyumnya. Semuanya aneh. Apa sifat dasarnya memang seperti itu atau..." gantungku.
"Atau... kenapa Aria?" kata Rena.
"Ah, tidak usah dipikirkan, pikiranku memang sedang liar sekarang," kataku. Lalu sesampai di bengkel, kulihat Rena menghela nafas lega, karena semenjak tadi ekspresinya seperti tidak nyaman.
"Kenapa, Rena? Apa kamu memikirkan sesuatu?" tanyaku. Dia menjawab dengan senyum canggungnya. Lalu aku baru sadar apa yang salah.
"OH, TADI KENAPA KAMU-" belum selesai aku bicara, mulutku sudah dibungkam erat oleh kedua tangan Rena yang kemudian mendorongku masuk ke dalam bilik bengkel.
"Aaahh bicaranya jangan teriak-teriak, dong, Aria! Kebiasaan, deh" kata Rena sambil berbisik.
"Puah! Hah, jadi kenapa kamu punya akses ke tempat presdir? Apalagi lewat pintu rahasia semacam itu, aku kan jadi kaget," kataku heran.
"Tenang, tenang. Nanti kamu akan mengetahui semuanya, Aria. Tenang ya," kata Rena.
"Bagaimana aku bisa tenang melihat keadaan seperti tadi? Aku sangat terkejut kamu bisa melakukan itu," kataku. Lalu Rena menenangkanku dan berkata,
"Tenang saja, Aria. Kamu nanti akan tahu. Terlebih lagi, aku tahu kok, tugas rahasia yang diberikan presdir untukmu,". Aku hanya bisa diam mendengarkan perkataannya. Bagaimana dia bisa tahu sedangkan aku tidak memberitahukannya pada siapapun?
Akhirnya Rena pun kembali ke tempatnya semula, dan aku mengerjakan setting-an motor trail ini di bengkel. Setelah itu, aku bersantai di saung. Memikirkan kembali apa yang dibicarakan sembilan tadi.
"Yang harus kamu tahu, Dek Ari, kamu dapat menggunakan tugas-tugas yang akan saya berikan nanti sebagai jembatan untuk menemukan apa yang selama ini kamu cari," kata-kata yang terus berputar di kepalaku dalam pembicaraan tadi. Ah, aku jadi semakin pusing. Sebenarnya apa yang harus aku cari? Apa yang akan terjadi setelah aku menemukannya? Tapi sebelum itu...
...bisakah aku mempercayai orang ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...