"Eeh, yang lain sudah berangkat kerja, toh?" kataku sambil memakan makanan yang disiapkan Budi untuk kami.
"Benar. Mereka itu, benar-benar orang yang sibuk," kata Siska. Doni pun mengangguk-angguk dengan mulutnya yang penuh makanan.
"Oh iya, berarti, apa kamu kerja di suatu tempat?" kata Dokter Romi.
"Oh nggak, Dok. Aku cuma standby disini dan siap meluncur ketika ada masalah di jalan nanti," kataku.
"Berarti kamu siap siaga ketika dipanggil oleh mereka ketika ada masalah nanti?" kata Dokter Romi.
"Iya, Dok, begitulah," kataku menghabiskan makananku. Dokter Romi pun asyik mengobrol dengan Siska dan Doni. Mereka terlihat sangat akrab. Aku pun beranjak dari meja makan.
"Mau kemana?" kata Budi.
"Mau ke bengkel, membuat karya pertamaku," kataku yang segera melangkah ke bengkel.
Aku pun mengeluarkan apa saja yang sudah kubeli selama aku berada di luar tadi, lalu menaruhnya di bengkel untuk segera kusatukan. Aku menggabungkan rangka motor, segitiga depan, lalu kaki-kaki depan dan belakang. Lalu aku menaruh mesin pada tempatnya, serta mengatur knalpot dan rantainya. Setelah itu, kuatur perangkat kelistrikan, lalu memasang bodinya. setelah semuanya bagus, lalu aku mengecat motor itu perlahan hingga selesai. Dan tak terasa, empat jam habis untuk merakit motor satu ini, dan sekarang sudah tengah hari.
Lalu tak terasa juga ketika aku menengok ke belakang...
"Astaga!" kataku terkejut. Bagaimana tidak, empat orang yang tadinya di meja makan tiba-tiba berada di belakangku, menontonku merakit motor ini.
"Sejak kapan kalian disini?" kataku.
"Sejak kau merakit mesin ini," kata Budi polos.
"Uwah! Benar-benar keren! Kamu rakit motor trail sendiri?" kata Doni.
"Yah, begitulah. Aku sangat berpengalaman dalam hal ini," kataku. Tak lama kemudian, aku pun mendapat telefon masuk. Kulihat layar ponselku, ternyata Fani yang menelfon.
"Halo? ada apa, Fani?" kataku.
"Bisa minta tolong? Mobilku mogok ditengah jalan, belum diketahui penyebabnya," kata Fani dengan nada panik.
"Apa ada yang keluar dari bawah mobil?" kataku sembari mengambil tas berisi peralatan bengkel dan menaruhnya di jok motor trail baruku.
"Ada semacam minyak, mungkin olinya juga bocor," kata Fani.
"Baik, aku segera kesana," kataku. "Aku harus segera pergi. Fani membutuhkan bantuan," kataku yang mengambil helm, memakainya, lalu bergegas menuju lokasi tempat Fani mogok. Di jalan, aku menelpon dua kawanku untuk segera berangkat membawa satu motor trail dan juga satu mobil derek.
"Hai, Fani. Ada apa?" kataku.
"Mobil ini mogok. Mungkin karena bocornya oli juga, dan aku harus ke studio secepatnya," kata Fani. Aku pun paham apa yang harus kulakukan.
"Tunggu sebentar, ya? Bantuan akan segera datang," kataku.
"Bantuan?" kata Fani bingung. Tak lama setelah Ia bicara seperti itu, kedua kawanku pun akhirnya datang.
"Akhirnya datang juga, Dom, Mic," kataku.
"Eh? Siapa mereka?" kata Fani.
"Mereka kawanku, tidak perlu khawatir," kataku. "Ehm, Pak Sopir, anda ikut dengan teman saya yang ini. Dom, antar Bapak ini pulang," perintahku pada Dom yang menunggangi motornya. "Mic, derek mobil ini, bawa ke lokasi yang kukirimkan barusan. Rumah nomor 95, selalu ingat kata kuncinya," kataku.
"Loh loh, lalu aku bagaimana?" kata Fani kebingungan.
Aku pun mengambil helm cadangan seraya berkata, "Kamu ikut denganku, kuantarkan sampai tujuanmu agar cepat sampai,".
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...