"A-Aria? K-kamu kan, temannya Rena yang selama ini mengantarkannya? Bukannya-" ujar Brenda.
"Iya, Brenda, Carla. Aku adalah kakak kandung yang kalian cari," kata Aria dengan tenang. Mencoba untuk menenangkan Brenda yang terlihat tidak percaya dengan semua ini.
"Aku tahu, ini pasti sulit dipercaya karena selama ini kalian juga bertemu denganku dan tidak ada hal aneh yang terjadi, kan?" lanjutnya. Brenda masih bingung harus merespon seperti apa. Diluar dugaan, Carla menatap mata Aria sedalam-dalamnya, Ia lalu mendekat dan meraba wajah Aria. Matanya berkaca-kaca, lalu langsung memeluknya.
"Ternyata ini jawaban perasaanku selama ini! Selamat datang kembali, Kak Aria!" kata Carla, dengan pelukan eratnya. Pelukan itu dibalas Aria perlahan, sembari air mata yang tidak dapat tertahankan lagi.
"Carla... terima kasih," kata Aria. Aria melepas pelukan itu, lalu melihat wajah cantik adik bungsunya itu.
"Kalian sudah tumbuh besar, ya? Kalian jadi wanita yang cantik dan berbakat," kata Aria kagum sembari menatap mereka berdua.
"Bagaimana aku bisa percaya ini?! Aria! Kamu sering bertemu dengan kami! Kamu sering mengobrol dengan kami! Tetapi, kamu bahkan tidak bisa ingat siapa kami! Dan sekarang kamu datang untuk mengaku bahwa kamu adalah kakak kami! Yang sudah hilang belasan tahun dan kami susah payah mencari! Bagaimana aku bisa percaya bahwa ini adalah kebenarannya!?" bentak Brenda, yang mengeluarkan seluruh perasaannya. Dia yang kaget, tidak percaya, dan tidak bisa mencerna semua ini membuat semuanya tersentak. Rena yang tidak pernah melihat kawannya seperti itu mengingat bagaimana dulu Ia tidak bisa menerima kakaknya, Indra. Ia hendak menghentikan Brenda. Ia dihentikan oleh Aria, yang ingin menerima semua perasaan Brenda.
"Aku tahu, kamu tidak bisa terima ini. Aku tahu ini terlalu tiba-tiba, wajar jika kamu bersikap seperti ini," kata Aria dengan tenang. Brenda lalu mencoba menenangkan dirinya.
"Bagaimana kalau, kita pergi ke kedai kopi dekat sini. Kamu masih suka main catur, bukan?" lanjutnya.
"Eh?" gumam Brenda, terkejut.
"Hm? Bukannya catur itu kesukaanmu sejak kecil? Ayo, Brenda. Kalahkan Kakak lagi," kata Aria dengan senyumannya. Brenda kebingungan mendapat ajakan dari Aria. Terlebih, sikap Aria yang masih tenang sekalipun setelah Brenda membentaknya begitu keras.
"Ayo, Kak Brenda. Terima saja ajakan Kak Aria. Selain itu, Kakak juga sedang kalut karena dikalahkan Paman Jaka, bukan?" kata Carla.
"Eh? Paman Jaka masih hidup?! Syukurlah," kata Aria yang lega mendengar itu.
"Selain itu, Paman mengalahkan Brenda? Kasus yang jarang ya," lanjutnya.
"Iya, Kak! Kak Brenda sampe nggak bisa tidur!" kata Carla meledek. Aria tersenyum melihat adik-adiknya itu saling ledek. Mereka lalu pergi ke kedai kopi yang dimaksud Aria. Mereka berempat lalu duduk di satu meja. Aria lalu mengambil papan catur dari rak yang berisi banyak permainan, lalu menaruhnya di meja itu. Ia menata papan catur itu untuk dimainkannya bersama Brenda.
"Jadi, bisa kamu cerita kenapa kamu bisa kalah dari Paman Jaka?" kata Aria.
"Eh? Hm, intinya, Paman Jaka terus-terusan menyalin gerakanku, sampai aku tidak tahu harus berbuat apa lagi," kata Brenda. Aria lalu tersenyum.
"Kalau begitu, biar kutunjukkan strategi itu padamu lagi. Kau main bidak putih, silahkan maju duluan," katanya. Brenda lalu memajukan pion pertamanya, diikuti dengan Aria yang menyalin gerakan Brenda. Lanjut dengan kuda, pion selanjutnya, dan menteri yang maju menyerong. Semua gerakan Brenda diikuti oleh Aria. Saat Brenda melakukan gerakan castle dengan raja dan bentengnya, tanpa diduga, Aria dapat memakan satu kuda milik Brenda.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...