Chapter 3 - Kedatangan

131 24 0
                                    

"Maaf, anda siapa?" tanyanya tegas.

"O-oh, ada apa ini? Aku datang karena diundang kesini, ah ini undanganku," kataku sembari menunjukkan undangan bernomor kepada lelaki itu.

"Baik, kau memang nomor sebelas. Silahkan masuk," katanya. Aku pun masuk ke ruangan itu menyusul Faisal. Di dalam ruangan itu sudah ada Faisal, seorang pemuda berambut abu, serta seorang kakek-kakek yang kulihat mempunyai aura khusus dan berbadan tegap, meskipun Ia memakai tongkat.

"Selamat datang, silahkan duduk," kata pemuda berambut kelabu itu. Aku pun duduk dan Ia menyuguhkanku secangkir kopi. Tiga orang ini lalu duduk santai di sofa di hadapanku. Aku pun menyeruput kopi yang Ia suguhkan padaku.

"Uwah, kopi dari Lampung?" kataku.

"Benar, semoga kamu menyukainya," kata pemuda itu. Ekspresinya sangat datar seperti tembok.

"Perkenalkan, namaku Budi. Aku salah satu penghuni di kosan ini," lanjutnya.

"Seperti yang sudah kamu tahu, nama saya Faisal. Saya adalah supervisor di kosan ini. Lalu beliau adalah Pak Agus. Beliau adalah orang yang akan menjaga kedisiplinan di kosan ini," kata Faisal sembari mengenalkanku pada kakek-kakek itu, yaitu Pak Agus.

"Hohoho, semoga betah ya, Nak," katanya. Aku pun mengangguk. Lalu kami berbincang perihal undangan yang aku terima. Lalu Budi mengantarku ke kamar yang akan aku tempati. Seketika aku terhenyak dengan kamarku yang luas, bersih, dan bagus.

"E-eerr Mas Budi, ini nggak salah?" kataku.

"Kenapa? Kamu nggak suka kamarnya?" kata Budi.

"Bukan, ini sangat bagus, aku merasa tidak pantas mendapatkan ini," kataku. Budi pun menenangkanku dan bilang semua ini memang hak yang aku terima ketika diundang kesini. Aku pun mengecek barang-barangku, dan semuanya lengkap. Aku hanya tinggal menata saja. Budi pun meninggalkanku untuk menyiapkan makan karena hari sudah mulai gelap. Aku pun mandi, lalu menata barang yang ada di kamarku. Aku pun keluar kamar, lalu melihat Faisal sedang berjalan menuju kamarku.

"Eh, Faisal," kataku.

"Ah iya, baru saja saya mau ke kamarmu, Aria. Saya hanya ingin mengantar undanganmu, tolong simpan ini baik baik," kata Faisal sembari memberikan undangan itu padaku.

"Ah iya, terima kasih, saya simpan dulu," kataku.

"Baiklah, saya tunggu, saya akan antar kamu ke ruang makan karena hari sudah malam," kata Faisal. Aku pun bergegas mengikuti Faisal untuk menuju ruang makan. Di tengah jalan, aku merasa akan ada yang mendekat dengan cepat. Aku pun refleks menggulingkan badanku ke depan.

"Aria! ada apa?" kata Faisal dengan sedikit panik.

The Number ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang