Chapter 22 - Saudara

62 15 14
                                    

Setelah menghabiskan makan siangnya, Rena pun beranjak dari mejanya untuk membuang sampah sejenak. Brenda yang sedang menunggu kuliah selanjutnya pun membuka dompet miliknya. Terdapat foto tiga anak kecil dalam dompet itu. Foto seorang anak perempuan, dengan seorang anak laki-laki yang tengah menggendong anak perempuan yang lain. Senyum polosnya menunjukkan betapa bahagianya mereka saat itu. Brenda pun memandangi foto itu sembari mengusap-usapnya dengan jarinya.

"Kak, Brenda kangen sekali sama kakak," gumam Brenda. Carla pun ikut melihat foto pada dompet Brenda. 

"Kakak, Carla juga kangen. Meski Carla hanya sebentar bersama Kakak," ujarnya. Mereka berdua pun menghela nafas panjang.

"Mungkin, kakak masih hidup di suatu tempat ya, Carla?" kata Brenda. Kata-kata yang dilontarkan Brenda membuat raut wajah Carla yang biasanya ceria, menjadi sedikit muram. Ia pun bersandar di bahu kakak perempuannya itu.

"Semoga kita dapat bertemu kembali dengan Kakak ya, Kak Brenda?" ujar Carla. Brenda pun mengelus-elus rambut adiknya itu.

"Iya, Carla. Semoga," kata Brenda. Mereka berdua masih memandangi foto dalam dompet itu. Rena tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka berdua, lalu langsung duduk di tempatnya semula.

"Brenda, Carla, setelah ini kalian ngapain?" katanya, memecah suasana.

"Oh, setengah jam lagi aku ada kelas," kata Brenda singkat.

"Aku malah masih satu jam lagi," kata Carla. Rena pun masih melihat ekspresi sedih di wajah mereka berdua. Rena lalu memegang tangan mereka berdua, mengingat Rena juga pernah berada dalam kondisi yang sama dengan mereka.

"Apapun kondisinya nanti, semoga kalian cepat dipertemukan dengan seseorang yang kalian cari, ya? Semangat, aku ada disini untuk kalian," kata Rena. Brenda dan Carla tersentuh dengan ucapan Rena. Mereka lalu saling tatap, meyakinkan diri masing-masing, lalu mereka menganggukkan kepala. Brenda pun menunjukkan foto yang Ia simpan di dalam dompetnya.

"Aku, baru saja melihat foto ini lagi," katanya. Rena pun melihat dengan seksama.

"Ini di sebelah kiri, Brenda? Lalu yang digendong ini Carla? Kalian lucu sekali," ujarnya. Lalu Rena mengalihkan perhatian pada anak laki-laki dalam foto itu.

"Ini, kakak kalian?" ujarnya. Brenda dan Carla mengangguk seirama. Rena kembali melihat foto tersebut. Ia menyadari bahwa bukan hanya dia saja yang pernah terpisah dari saudaranya.

"Aku akan ada bersama kalian, aku akan mendukung kalian semampuku. Kalian, jangan menyerah, ya? Suatu saat, pasti kalian bertemu dengan kakak kalian lagi," ucapnya.

"Y-ya, terima kasih, Rena," kata Brenda. Carla mengangguk, menyetujui ucapan kakaknya itu. Rena pun tersenyum melihat mereka berdua sembari menggenggam tangan mereka.

Hari itu, kuliah Rena pun selesai, dan Aria kembali ke kampus Rena untuk menjemputnya untuk pulang ke kosan. Meninggalkan motor trailnya dirumah, Aria pun menjemput Rena menggunakan motor besar yang biasanya Ia kendarai. Sesampai di kampus, rupanya Rena sudah menunggunya di parkiran motor, tentunya dengan membawa helm yang ia kenakan waktu masuk ke gedung kampus.

"Aria, kenapa kamu nggak ingetin aku untuk lepas helm, sih? Kan aku jadi malu pakai helm ke kampus," protes Rena.

"Ya habis, kamu main lari nyelonong begitu aja ke dalam gedung. Aku juga sudah panggil kamu tapi kamu nggak dengar. Ya sudah kutinggal pulang saja," kata Aria. Rena hanya bisa meringis, sementara Aria geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya yang satu ini. Mereka akhirnya pulang dengan santai, karena tidak ada hal mendesak yang harus dikerjakan sepulang dari kampus. Di jalan, Rena melihat sesuatu ketika berhenti di lampu merah.

"Ah, nasi goreng!" katanya, melihat nasi goreng langganannya di pinggir jalan. Aria pun melihat ke arah yang sama.

"Wah, kelihatannya enak banget," gumam Aria. "Kau mau makan?" tanya Aria pada Rena.

"Hmm, boleh, sih. Tapi apa nggak lebih baik dibawa pulang aja? Pesan untuk penghuni kosan juga, untuk makan malam ini," kata Rena. Aria pun berpikir bahwa itu ide yang bagus. Ia lalu mengarahkan motornya ke gerobak nasi goreng itu dan memarkirkan motornya.

"Sebentar ya, aku hubungi Kak Budi dulu," kata Rena. Sembari menunggu, Aria duduk di kursi yang disediakan oleh penjual nasi goreng itu. Tak lama, Rena kemudian mencatat pesanan nasi goreng yang dipesan masing-masing penghuni kosan, tak terkecuali Pak Agus. Lalu Aria hendak memberikan catatan tersebut kepada penjual itu. Penjual itu pun menoleh pada Aria.

"Loh, Kang Asep?" katanya, yang mengenali wajah penjual nasi goreng itu.

"Eh, siapa ya?" kata Kang Asep, kebingungan.

"Saya Aria, kang. Anaknya Pak Anto," jelasnya. Kang Asep pun nampak seperti mengingat-ingat sesuatu.

"Oh, Dek Aria, anaknya almarhum Pak Anto bengkel?!" seru Kang Asep. "Ya ampun, nggak nyangka ya bisa ketemu lagi disini," lanjutnya.

"Hehe iya, kang, nggak nyangka ya. Jadi Kang Asep mangkalnya disini?" kata Aria sembari menyerahkan catatan pesanan dari Rena.

"Iya, selama ini mah Kang Asep mangkal disini," jawabnya. Ia lalu melihat Rena disamping Aria. "Loh, kenal Teh Rena juga?" ujarnya.

"Iya, Kang, Rena katanya langganan disini. Ya 'kan, Rena?" kata Aria. Rena pun mengangguk.

"Sudah lama nggak beli nasi goreng Kang Asep, jadi saya kesini buat beli," kata Rena dengan senyumnya. "Jadi Kang Asep kenal Aria juga, toh?" lanjutnya.

"Iya, Teh. Dulu, waktu Dek Aria masih kecil, masih sekolah, kita mah tetanggaan. Saya mah kenal baik sama almarhum bapaknya Dek Aria," kata Kang Asep, sembari mulai memasak pesanan Rena. Rena pun mengangguk, tanda mengerti.

"Kalian berdua teh, nasibnya sama pisan nyak. Teh Rena, cuma punya Bu Ningsih, eh Bu Ningsihnya meninggal. Dek Aria juga sama. Dia cuma punya Pak Anto, Pak Antonya meninggal juga," ujar Kang Asep. Rena, yang sedikit terhenyak dengan omongan Kang Asep, melihat ke arah Aria. Aria pun hanya tertawa kecil menanggapi ucapan Kang Asep.

"Yah, namanya hidup, kang. Nggak ada yang tau kemana jalannya. Tau-tau kejadian aja deh," kata Aria. Rena hanya bisa ikut tersenyum bersama mereka. Rena dan Aria lalu duduk di tempat duduk yang bersebelahan. Rena terlihat sedikit murung. Ia memikirkan kawannya, Brenda, yang sampai sekarang kehilangan sosok kakaknya.

"Kenapa, Rena? Keinget almarhumah Tante Ningsih?" kata Aria, yang menyadari ekspresi murung Rena. Rena pun menggelengkan kepalanya.

"Bukan, kok. Aku memikirkan temanku. Kasihan dia, dari kecil, sampai saat ini, dia terpisah dari kakaknya. Entah kemana kakaknya sekarang," katanya. Aria pun menyimak cerita Rena dengan seksama.

"Cerita itu, mirip seperti apa yang kau alami sebelumnya, 'kan?" kata Aria. Rena pun dibuat terkejut dengan apa yang Aria katakan.

"Indra menceritakanku semuanya. Apa yang telah terjadi padamu selama di kosan, dan juga selama kamu hidup sendiri. Bahkan sampai sebelum kamu hidup bersama Tante Ningsih," jelas Aria. Aria lalu memandang langit senja hari itu. "Aku nggak sangka, ternyata ada juga orang yang mengalami hal yang mirip denganmu, ya? Hidup memang aneh," lanjutnya. Aria lalu mengelus kepala Rena.

"Akan kubantu kamu semampuku. Jangan memaksakan diri, ya?" kata Aria. Rena pun mengangguk, tersenyum senang. Tak lama kemudian, pesanan nasi goreng akhirnya sudah siap. Rena bersama Aria kemudian pulang menuju kosan di hari yang mulai gelap itu.

"Nasi gorengnya datang!" seru Rena kepada penghuni kosan yang sedang menunggu di ruang makan.  Semua penghuni kosan pun makan dengan gembira, termasuk Pak Agus.

Tengah malam, di balkon kosan. Doni dan Siska berbincang mengenai tragedi waktu itu. Wajah mereka terlihat tegang. Sesaat, Siska pun termenung, memikirkan satu hal.

"Ada apa, Siska?" tanya Doni.

"Tidak, aku hanya berpikir... apakah Tudung Merah adalah satu-satunya geng hebat di wilayah ini?" kata Siska.

"Maksudmu?"

"Aku jadi teringat. Hari Minggu siang itu...

...tentang satu kelompok yang tak pernah berhasil kita kuasai"

The Number ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang