Aria pun memulai apa yang ia kerjakan. Ia memasang apa yang tersisa. Roda depan, roda belakang, elektrisitas dan menghubungkannya ke lampu-lampu dan piranti elektronik yang Ia punya.Fani memperhatikan Aria dengan seksama.
"Cukup detail ya pekerjaanmu," kata Fani, terpukau dengan apa yang Aria kerjakan.
"Benar. Kalau salah sedikit saja bisa fatal. Mungkin motor bisa goyang, kurang kokoh, atau bahkan rusak dan mencelakakan penggunanya," kata Aria sambil memasang bodi motornya. Lalu Aria mengokohkan segala sambungan yang ada pada bodi motor itu, dan selesai. Projek motor trail miliknya sudah siap diwarnai bodinya. Aria pun terlihat termenung, melihat motornya, sembari mengernyitkan dahinya.
"Ada apa?" kata Fani.
"Aku hanya berpikir, apa warna yang cocok untuk motor ini," kata Aria.
"Kenapa tidak hitam saja? Kan keren," kata Fani. Aria lalu melirik ke motor lain yang sudah ia buat, yang juga berwarna hitam. Fani pun terkekeh setelah ikut melihat motor Aria.
"Begini, percayalah padaku, Warnai motor ini dengan warna hitam," kata Fani.
"Kau serius? Hadeh, oke," kata Aria sembari mencari airbrush dan mulai mewarnai motor itu dengan warna hitam.
"Dimana kau menyimpan cat yang lain?" kata Fani.
"Di rak hitam yang di pojokan itu," kata Aria sembari menunjuk. Aria lalu memperhatikan Fani yang memilih-milih cat yang akan dia pakai.
"Apa yang dia pikirkan?" pikirnya. Fani pun mengeluarkan cat-cat yang akan dia pakai. Ada warna pink, biru muda dan kuning.
"Sudah selesai?" kata Fani sambil membawa cat itu sembari berjalan riang.
"Sebentar lagi," kata Aria sembari menyelesaikan pekerjaannya. "Nah, sudah, sekarang tinggal tunggu ini kering. Tunggu, apa yang mau kau lakukan?" kata Aria, bingung.
"Hehehe, aku mau ikut mewarnai motor ini," kata Fani.
"Kau yakin?" kata Aria.
"Tenang saja," balas Fani sembari mengikat rambutnya ke belakang dan menyingsingkan lengan kausnya. "Aku punya jiwa seni, lho!"
Setelah menunggu catnya kering, Fani pun bergegas untuk membuka cat, mengambil kuas dan memulai aksinya. Tanpa ragu, Ia pun langsung memegang dua kuas, mencelupkannya ke dalam can dengan warna berbeda, dan seketika dicipratkan langsung ke bodi motor Aria yang telah dicat hitam itu. Aria pun kaget karena catnya mengenai bajunya.
"Hei, apa yang kamu lakukan?" kata Aria. Fani pun tersenyum. Aria yang bingung lalu melihat apa yang Fani perbuat pada motornya.
"Wow, ide yang bagus, Fan!" kata Aria. Fani pun terkekeh senang mendengar pujian Aria. Ia pun menyerahkan semuanya kepada Fani, dan Fani melanjutkan pekerjaannya dengan senang hati. Tak berselang lama, jadilah hasil karya Fani. Cipratan cat berwarna biru muda, pink dan kuning di atas bodi motor Aria yang telah dicat hitam menghasilkan karya yang ajaib. Terlebih, cipratan abstrak ini sesuai dengan konsep motor Aria yang merupakan motor trail. Aria lalu memberikan cat pelapis untuk finishing agar cat tetap bertahan lama. Aria dan Fani pun memandang kagum motor yang sudah selesai itu.
"Ah gila, kerjamu bagus sekali. Aku suka banget," kata Aria.
"Fuh, aku juga senang melakukan ini. Ini terlihat cantik," kata Fani. Keduanya sama-sama duduk di tanah, meluruskan kaki, karena sudah sangat lelah karena mengerjakan karya ini.
Langit mulai gelap, tanda senja sudah mulai tiba. Mereka yang masih ada disitu didatangi oleh Rena, Doni, Siska dan Romi. Mereka semua penasaran dengan apa yang Aria dan Fani kerjakan dengan antusias tadi. Mereka pun ikut melihat hasil karyanya.
"Wah, keren sekali! Warnanya tidak biasa, tapi harmonis!" kata Rena.
"Benar! Siapa sangka hitam bisa cocok dengan warna terang," kata Doni.
"Sungguh hebat, siapa yang membuat ini?" kata Faisal yang tiba-tiba datang.
"Ehm aku mengerjakan motornya secara teknis. Untuk warna dan tampilan, Fani yang mengerjakan, termasuk cat bergaya abstrak ini," kata Aria. Faisal pun melihat ke arah Fani, lalu tersenyum senang.
"Warna yang bagus, Fani. Kamu hebat," kata Faisal. Fani pun tersenyum senang mendengar pujian Faisal.
"Makasih Faisal, hehe, kembaran siapa dulu," kata Fani dengan percaya diri. Lalu mereka semua pergi ke ruang makan untuk mempersiapkan makan malam, kecuali Fani dan Aria yang pergi ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri, lalu menyusul ke meja makan.
Hari sudah malam, bahkan sudah dini hari, tapi Aria masih saja terjaga dari tidurnya. Ia pun hendak keluar sembari melihat langit dan menikmati angin segar diluar kamar kosan. KArena masih merasa gundah, Ia lalu pergi ke tempat yang biasa Ia singgahi untuk merokok sebentar. Sesampainya disana, Ia dikejutkan dengan kehadiran Fani yang duduk disitu sembari menyendiri. Ia pun menghampirinya pelan-pelan.
"Belum tidur?" kata Aria, pelan. Fani pun dibuat bergidik dan terkejut oleh Aria yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
"Aduh, jangan begitu deh. Kukira kamu hantu, tau," kata Fani sembari menjewer telinga Aria.
"Adududuh, iya iya. Lagipula kau juga mengagetkanku tadi," kata Aria sambil memegang telinganya yang merah itu. Fani pun hanya bisa terkekeh.
"Kenapa belum tidur? Sudah tengah malam begini," kata Aria.
"Ah, aku tidak tahu apa yang membuatku bangun di jam segini. Apa mungkin karena aku mandi sore hari?" kata Fani, yang melihat kearah langit dan berpikir. "Ah tapi tidak mungkin, biasanya aku juga mandi malam hari dan langsung bisa tidur," lanjutnya. Aria pun ikut berpikir.
"Hmm apa ya?" kata Aria yang ikut bingung.
"Mungkin... apa karena dipuji Faisal tadi?" kata Fani. Aria dibuat bingung oleh kata-katanya.
"Maksudmu? Dipuji Faisal tadi? Bukannya sudah sewajarnya ya?" kata Aria, heran. Fani pun mulai menatap kosong ke langit.
"Kau tahu, hubunganku dengan Faisal itu nggak sebaik itu, tahu," katanya. Aria terhenyak dengan perkataannya.
"A-aku minta maaf, aku tidak bermaksud apapun, hanya saja...," kata Aria.
"Hm? Kenapa?" kata Fani sembari menatap Aria. Aria dibuat bingung dan tak bisa berkata-kata, tetapi senyumannya meyakinkan Aria untuk bicara.
"Maksudku... apa yang terjadi diantara kalian?" tanyanya. Fani pun menceritakan hampir semua yang dialaminya bersama Faisal. Aria dibuat tidak bisa berkata-kata lagi olehnya.
"M-Maaf, kamu jadi harus bercerita banyak ke aku begini," kata Aria. Fani tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Nggak apa-apa kok, beneran. Aku memang suka banyak cerita. Terlebih, kamu kelihatan seperti orang yang bisa dipercaya," kata Fani.
"Hei aku anak baru, loh. Segitu percaya sama aku?" kata Aria. Fani lalu mengangguk setuju.
"Kau bukan tipe orang yang akan bicara sembarangan kan? Makanya aku percaya kamu," kata Fani dengan senyumnya. Aria lalu menepuk pundak Fani.
"Kamu adalah wanita yang sangat kuat. Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu incar selama ini. I'm proud of you," kata Aria. Fani pun dibuat terharu oleh Aria.
"Kamu bisa bercerita banyak padaku. Aku selalu disini untukmu, sebagai... Teman? Rekan? Entah apapun kau menyebutnya. Mungkin kau akan susah bercerita jika dengan Budi atau Faisal, jadi yah, kau bisa percaya padaku," lanjutnya. Fani pun tersenyum senang mendengarnya.
"Terima kasih, ya. Kamu baik banget," kata Fani. "Tapi omong-omong, aku seperti pernah lihat wajahmu. Sepertinya kamu bukan orang asing," lanjutnya sambil fokus mengamati wajah Aria. "Kira-kira kamu siapa ya?" katanya lagi sambil berpikir.
"Tidak usah aneh-aneh. Aku hanya montir yang kebetulan ditunjuk Indra untuk urusan disini, percayalah," kata Aria. Mereka pun tergelak bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...