Chapter 36 - Sacrifice

39 16 2
                                    

"Dia lalu terjatuh di pangkuanku. Di tubuhnya, terdapat luka tembak di bagian pinggang kiri dan juga dada. Tepat di jantungnya. Dia sudah berlumur darah.

'Halo, anak muda,' katanya, dengan senyumannya yang tampak tenang itu. Petinggi itu kemudian tertawa melihat tragedi tersebut. Bagaimana tidak, Ia yang harusnya kulindungi, malah berbalik melindungiku dan menerima semua peluru itu.

Aku yang sudah tidak bisa membendung amarahku, menidurkan Rosa dengan hati-hati, lalu menggunakan seluruh tenagaku untuk membunuh petinggi itu. Sayatan di lengan, kaki, jantung, dan leher pun kugoreskan pada tubuhnya. Jas putih yang dikenakannya, sudah berubah warna menjadi merah. Sebelum mengeksekusinya, aku membuka topengku di depan matanya.

'Ingatlah wajah ini, dan sapalah aku di neraka nanti,' kataku, sembari mengeksekusinya.

Aku lalu lari, membawa Rosa yang masih sekarat keluar dari gedung itu. Membawanya sejauh mungkin, ke tempat yang lebih aman, lalu mencari pertolongan sekuat yang aku bisa.

'Tolong, berhenti disini. Aku ingin istirahat sejenak,' katanya, ketika kita sampai di sebuah taman. Aku ragu, karena keadaannya yang sedang terluka. Tapi raut mukanya terlihat memohon padaku untuk memenuhi permintaannya.

Aku lalu duduk, dan menidurkan dia, kubuat pahaku sebagai bantalan kepalanya agar dia merasa sedikit lebih nyaman.

'Bintang yang indah ya, Aria,' katanya. Ia memandang jauh ke langit.

'Ya, bintang yang sangat indah. Dan bulan purnama itu, terang sekali, seperti sinarmu,' kataku. Ia lalu tertawa mendengar kata-kataku itu.

'Setelah ini, apa yang akan kau lakukan?' tanyanya. Aku pun terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sementara, aku sudah melakukan banyak sekali kejahatan dan dosa, apa lagi yang harus kuperbuat.

'Jangan bimbang, Aria. Kamu masih sangat muda. Jauh lebih muda dibandingkan aku, bahkan kau lebih muda dari Diki, kan?' katanya, menatapku. 'Jalanmu masih panjang, sayang. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau, selagi orang-orang tidak tahu identitasmu. Jangan buang dirimu begitu saja,' celotehnya lagi.

'Jangan bercanda, Rosa,' kataku. Aku menatapnya, dan tanpa sadar, air mataku terjatuh di pipinya.

'Aku sudah kehilangan ayahku. Sosok yang menjadi pedoman hidupku. Dan kini aku harus kehilanganmu? Setelah semua ini, apa kau pikir aku akan baik-baik saja? Apakah aku bisa hidup bebas, atau setidaknya hidup layak? Entah apa hukuman yang akan tuhan berikan padaku yang sudah berlumur darah ini,' kataku. Ia lalu memegang pipiku, mengelusnya, seraya berkata,

'Kamu adalah orang yang baik, Aria. Jika bukan karena itu, apakah sampai saat ini aku mau berada disampingmu?' katanya, menenangkanku. 'Jangan khawatir, Aria. Masih banyak kesempatan yang terbuka diluar sana, menantimu untuk menghampiri mereka,' ujarnya. Sungguh, Rosa tidak akan berhenti berceloteh sekalipun Ia sedang sekarat.

Lalu aku menatap matanya, melihat wajahnya. Mulutnya sudah mengeluarkan darah. Aku lantas mendekapnya erat, memeluknya, dan mencium keningnya.

'Aku menyayangimu, Rosa. Aku tidak akan melupakanmu,' kataku. Ia sedikit kaget dengan perlakuanku, lalu tersenyum.

'Aku merasa sangat beruntung, Aria. Masih ada orang yang menyayangiku,' katanya, sembari menatapku, dengan senyumannya yang indah itu. Ia lalu menatap langit.

'Apakah Diki... akan memaafkanku? Apa jika Ia disini, Ia akan berkata hal yang sama padaku?' tanyanya kepada langit.

'Ia pasti memaafkanmu, Rosa. Pasti. Ia juga akan mengatakan hal yang sama. Ia juga menyayangimu. Aku jamin itu,' kataku. Ia lalu tersenyum kembali, setelah keraguan memenuhi wajahnya.

The Number ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang