Chapter 19 - Perayaan

70 15 3
                                    

------penulis akan mengubah sudut pandang cerita mulai chapter ini-------

"SELAMAT ULANG TAHUN, RENA!"

Rena mematung melihat semua yang disiapkan untuknya. Matanya mulai berkaca-kaca, terharu, atas kejutan yang diberikan oleh penghuni kosan kepadanya.

"Terima kasih, semuanya, hiks," katanya. Fani dan Siska segera memeluknya. Kue ulang tahun telah disiapkan. Aria hanya bisa tersenyum melihat Rena yang senang bukan kepalang itu. Rena lalu berdoa dan meniup lilin ulang tahunnya. Semuanya bersorak dan tepuk tangan. Terkecuali Diki. Satu-satunya orang yang kurang tertarik dengan perayaan ulang tahun kali ini. Ia hanya ingin segera menghabiskan daging yang sudah tersedia untuk  pesta barbeque malam itu. Rena lalu memotong kue untuk dibagikan kepada penghuni kosan. Mulai dari Indra, Faisal, Fani, Siska, Diki, Doni, Romi, Budi, Rizal dan Pak Agus. Lalu Ia memberikan potongan terakhirnya pada Aria.

"Ini untukmu, Aria, teman yang selalu mendukung dan melindungiku sejak bangku SMA. Kuharap kita bisa berteman lebih baik lagi," katanya lugu. Aria menerima potongan kue itu, tersenyum, lalu menjahili Rena dengan mengoles krim kue itu ke mukanya.

"Selamat ulang tahun ya, bocah lugu. Kuharap kau cepat besar," candanya. Kejadian itu akhirnya berujung pada aksi saling balas mencoret krim kue pada muka mereka. Indra pun tersenyum melihat mereka berdua.

Lalu acara barbeque pun dimulai. Aria dan Budi menyiapkan daging yang sudah dibumbui dan memanggangnya, lalu menaruhnya pada wadah yang sudah disediakan. Selain daging, ada juga sate sosis, baso bakar dan juga marshmallow bakar. Aria membantu Budi menyiapkan semuanya sembari yang lain menikmati makanan yang sudah jadi. Sementara Diki dan Doni berlomba dengan rakus memakan banyak sekali daging. Faisal hanya dapat geleng-geleng kepala dibuatnya. Setelah semuanya dimasak, Aria dan Budi mulai ikut menikmati hidangan yang mereka buat.

"Ah, enak sekali,"  kata Aria. Rena lalu duduk disamping Aria sambil menikmati hidangan yang Ia ambil.

"Kau menikmatinya, Aria?" tanyanya. Aria melihatnya sebentar, lalu Ia mengalihkan pandangannya pada para penghuni kosan yang sedang berpesta.

"Ya, aku sangat menikmati suasana ini. Sudah lama rasanya merasakan suasana seperti ini lagi," kata Aria. Rena juga memandang ke arah yang sama dengan Aria.

"Benar. Rasanya lama sekali. Sudah setahun lebih tidak ada suasana seperti ini, sejak pesta barbeque terakhir," katanya.  Aria menyenggol Rena jahil.

"Dengan kata lain, ini adalah hadiah ulang tahun terbaik untukmu, kan?" kata Aria. Rena menjawab dengan tersenyum dan mengangguk senang. Melihat itu, Aria mengelus kepala Rena.

"Kau juga sama sekali tak berubah ya, Rena," gumamnya. Mereka saling melempar candaan sembari bergabung dengan yang lain dan berpesta.

Pesta pun berakhir, Aria dan Budi membereskan alat masak yang dipakai, sembari Fani membereskan alat makan yang telah dipakai. Rena pun turut membantu, sembari Doni dan Siska membersihkan area yang kotor karena pesta tadi. Sedangkan Diki malah tidur di tempat duduknya sedari tadi. Faisal dengan susah payah membangunkannya.

Aria pun memutuskan untuk bersantai di saung setelah membereskan sisa-sisa pesta tadi. Ia pun berbagi dan berbincang banyak hal dengan Pak Agus dan Faisal.

"Untung saja Faisal undang saya, Pak. Kalau nggak, apalah arti hidup saya sekarang," katanya kepada Pak Agus. Hidup sebagai orang di jalanan membuatnya berpikir hidup tidak akan berarti apa-apa baginya.

"Saya dulu juga begitu, Nak. Saya disini juga karena saya ditolong orang. Tanpa 'dia', saya tidak akan jadi seperti sekarang. Mungkin saya bisa mati di jalan, hohoho, " canda Pak Agus. Aria agak bingung dengan kata 'dia' yang dilontarkan Pak Agus. Apakah itu Indra? pikirnya. Padahal Pak Agus membicarakan soal mendiang Eka Putra Jaya, ayah dari Indra dan Rena.

"Angin malam dingin sekali, serasa menusuk tulang. Sudah saatnya istirahat. Ayo, balik ke kamar masing-masing," kata Pak Agus. Aria dan Faisal mengangguk setuju, lalu berjalan beriringan ke kamar masing-masing.

"Oh iya, Aria, ada hal yang ingin kutanyakan padamu," kata Faisal.

"Hm? Apa itu, Sal?" kata Aria.

"Kamu ingat darimana kamu berasal?" tanyanya. Aria reflek menggaruk-garuk kepalanya.

"Aku pun bingung darimana aku berasal. Tapi ketika aku sadar, aku sudah berada di satu rumah bersama seorang bapak-bapak," kata Aria. Aria kemudian tersenyum kecil sembari menghela nafas panjang, mengingat masa lalunya sebagai seorang anak kecil yang lugu.

"Lalu?" tanyanya lagi.

"Aku hidup seperti anak pada umumnya. Pria itu bekerja di bengkel, sama sepertiku dulu. Karena dia, aku juga belajar tentang otomotif," jelas Aria.

"Berapa usia pria itu?" kata Faisal.

"Mungkin, jika pria itu masih hidup, dia seumuran dengan Pak Agus sekarang," kata Aria, yang kemudian memandang langit, dan menghela nafas panjang.

"Dia pasti bangga melihatku sekarang, aku sudah menjadi mekanik handal sepertinya," lanjutnya, dengan senyum tipisnya.

"Ya, kau sangat handal Aria. Dia pasti bangga padamu," kata Faisal. Aria lalu menghela nafas dan berpamit untuk menuju kamarnya.

"Kamu sedikit aneh ya, Aria," kata Faisal. Aria sedikit bingung dibuatnya.

"Biasanya, orang akan balik menanyakan masa laluku ketika aku menanyakan masa lalunya. Tapi kamu tidak. Kamu sedikit aneh," kata Faisal.

"Heh, kukira apa. Aku tidak akan menanyakannya sebelum kau siap ceritakan semuanya padaku. Karena," jeda Aria.

"Karena aku tidak tahu, seberapa banyak dan seberapa dalam luka masa lalu yang senantiasa kau simpan, dan kau tutup dengan senyumanmu itu, Faisal," kata Aria, yang kemudian menatap Faisal, menepuk pundaknya dan berlalu menuju kamarnya sendiri. Faisal pun terhenyak dengan perkataan dan tatapan Aria.

"Kenapa dia bisa berkata seperti itu? Terlebih lagi, tatapannya. Aku merasa sangat mengenal tatapan itu. Tapi, tatapan siapa?" batin Faisal.

Di lain tempat, di ruang makan, Fani mencari susu untuk Ia minum karena ia belum bisa tidur. Tiba-tiba, Faisal sudah ada di depannya.

"Fani, ada yang perlu kubicarakan sekarang," katanya. Fani pun sedikit terkejut dengan kedatangan Faisal yang tiba-tiba itu.

"Apa yang mau kau bicarakan? Soal Mama?" kata Fani. Faisal yang tidak terganggu dengan omongan Fani itupun memulai pembicaraannya.

"Bukan, ini soal anak baru itu, Aria," ujarnya, singkat.

The Number ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang