Hari Minggu. Yap, hari yang sudah ditentukan oleh penghuni kosan, bahwa malam itu juga mereka akan datang ke Pekan Raya Jakarta, sesuai permintaan Aria. Pagi itu semua orang berkumpul di ruang makan untuk berbincang tentang rencana mereka malam nanti. Kecuali satu orang, Fani. Ia telah pergi sejak pagi buta untuk ke studio.
"Banyak makanan tradisional ya disana nanti, jadi penasaran," kata Diki. Ya, Diki yang masa lalunya adalah seorang artis belum begitu familiar dengan makanan tradisional.
"Yang begitu enak enak tau, Dang. Cobain aja deh, mesti nambah," goda Rena.
"Hmm, tapi apa tidak apa-apa ya bareng-bareng begini," kata Siska.
"Nggak apa-apa, kok, Kak Siska! Kita sama Kak Fani, dan yang lainnya juga kan udah sering jalan-jalan bareng," kata Rena. Siska pun tersenyum lega dibuatnya. Tapi wajah khawatir masih tetap tidak bisa Ia sembunyikan. Bagaimana kalau orang-orang mengenalinya? Bagaimana jika orang-orang kembali mengungkit kejadian tahun lalu? Selalu itu yang ada di pikirannya.
Sementara itu, Fani yang mengurus sesuatu di studionya sedang berbicara dengan Agung.
"Syukurnya hari ini tidak ada masalah apa-apa Bu Fani. Kalau ada masalah-masalah di IT, saya lapor Bu Fani dan saya akan langsung selesaikan sebisa saya," kata Agung. Fani dibuat tersenyum olehnya.
"Bagus lah, Agung. Belakangan kamu terlihat sudah membaik. Sikap dan kepercayaan dirimu bertambah. Pertahankan ya! Saya jadi suka bekerja sama kamu disini," kata Fani.
"B-baik Bu Fani!" kata Agung dengan senyum kecilnya.
Hari sudah siang, jam makan siang telah tiba. Fani pergi ke luar untuk mencari makan siang, untuknya dan juga orang-orang yang bekerja di kantornya. Di sepanjang perjalanan, Ia terus melamun dan memikirkan sesuatu. Lalu Ia teringat dengan adik sepupunya, Brenda.
"Pak, tolong lewat jalan yang di barat ya. Saya ingin ziarah sebentar," kata Fani, yang langsung disanggupi oleh supirnya itu. Ia lalu melihat sebuah pemakaman, yang sudah ada mobil berhenti disitu.
"Pak, berhenti disini ya," kata Fani. Mobilnya pun terhenti dan Ia turun, lalu membeli bunga di sekitar pemakaman itu.
"Selamat siang, Papa, Mama," kata Brenda, yang sudah duduk di samping dua makam orang tuanya, yang sudah disatukan. Disitu tertulis, 'Telah beristirahat disini, Ayah, Ibu, dan Saudara kami', lalu dua nama disebutkan. Adhitya Prasiddha Saga, dan Helena Pradnya Sindari. Ya, orang tua Brenda dan Carla yang sudah lama meninggalkan mereka.
"Pa, Ma, apa kabar kalian? Pasti kalian sedang berdansa di surga sana, iya kan?" kata Brenda, lembut. Ia lalu mengelus nisan makam itu. "Brenda rindu sekali dengan kalian, Ma, Pa. Carla pun sama. Kami tak henti menyebut nama kalian dalam doa kami," lanjutnya. Sembari memandang kosong ke nisan itu, Ia memikirkan sesuatu. Lalu menangis. Fani yang hendak menyapanya, menghentikan langkahnya.
"Pa, Ma, tolong Brenda. Brenda sama sekali tak tahu apa yang harus Brenda lakukan," katanya, sesenggukan.
"Brenda sudah melakukan apa yang Brenda bisa, sekuat apa yang Brenda bisa. Tapi, Brenda belum yakin, apakah yang dilakukan Brenda adalah hal yang benar? Apa ini jalan yang harus Brenda tempuh? Pa, Ma, jika kalian masih disini, apa yang akan kalian lakukan selanjutnya? Brenda merasa belum pantas untuk duduk di posisi ini, Pa, Ma. Tolong, sesekali datanglah ke mimpi Brenda, tunjukkan pada Brenda apa yang harus Brenda lakukan... Brenda butuh kalian disini," tangisnya, sembari tangannya mencengkeram rok yang dipakainya. Dari belakang, Fani lantas mendekapnya.
"Brenda..." sapa Fani. Brenda yang melihat Fani langsung menghapus air matanya dan berusaha menyembunyikan kesedihannya didepan Fani.
"E-eh, Kak Fani... Lagi mau ziarah juga, Kak?" kata Brenda. Fani mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...