"Aku mengetahui segalanya tentangmu, Diki. Tentang siapa kau di masa lalu, apa yang kau hadapi, dan apa yang kau sembunyikan selama ini dari semua orang," kata Aria. Diki pun tidak bisa menahan amarahnya. Ia lalu meminggirkan gitar itu dan mencengkeram bahu Aria.
"Katakan darimana kau tahu! Siapa yang beritahu kamu soal itu?! Indra kah?! Atau teman sekolahmu itu?!" kata Diki. Aria pun berusaha tetap tenang.
"Tenang dulu, Diki. Kakak beradik itu tidak ada andil soal itu," kata Aria. Lantas Diki memegang kepalanya. Ekspresi gelisah tidak bisa Ia sembunyikan.
"Lalu... dari siapa kau mengetahui soal aku? Kita bahkan tidak pernah bertemu sebelum kau masuk kosan ini," kata Diki.
"Kau sudah tidak ada kerjaan kan hari ini?" kata Aria.
"Tidak, sih. Maksudmu?" kata Diki.
"Ikut aku. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu akan tahu, darimana aku tahu tentangmu," kata Aria. Tak ada pilihan lain, Diki pun menyanggupi ajakan Aria.
Mereka berdua pun keluar dari kosan, naik motor, menuju tempat yang Diki tidak tahu. Satu dua kilometer sudah lewat, tetapi Diki masih tidak tahu kemana Ia akan dibawa oleh Aria.
"Oi, sebenarnya kau mau bawa aku kemana?! Jangan buat aku penasaran!" kata DIki.
"Udahlah, tenang, nanti kamu akan tahu, oke?" kata Aria. Diki pun tidak bisa mengajukan lebih banyak pertanyaan.
"Nah, sudah sampai. Ayo turun," kata Aria. Diki melihat sekeliling tempat itu dengan ekspresi bingung. Aria yang melihat Diki seperti itu, lantas meninggalkannya untuk membeli bunga. Setelah bunga itu ada ditangannya, Ia memberikan sebungkus yang lain kepada Diki.
"Nah, nih. Bawa aja dulu," kata Aria.
"Eh? Tunggu dulu, kenapa kita ada di pemakaman seperti ini?" kata Diki. Yap, mereka berada di sebuah komplek pemakaman.
"Sudah, ikut saja. Nanti kamu akan tahu," kata Aria. Diki dengan ketidaktahuannya, terpaksa mengikuti Aria karena ingin tahu siapa yang telah memberitahunya soal masa lalunya. Setelah beberapa menit berjalan di pemakaman itu, Aria lalu berhenti.
"Kita sudah sampai. Beri salam padanya. Orang inilah yang memberitahuku, semua tentang kamu, Diki," kata Aria. Berhenti di salah satu pusara.
"Eh? Memangnya sia-" kata-kata Diki terhenti sesaat setelah Ia melihat tulisan di batu nisan itu.
'Telah beristirahat disini, Seorang Ibu, dan Rekan. Rosa', begitu bunyi tulisannya.
"Rosa... Nama itu...?" kata Diki.
"Ya. Dari mendiang ibumu lah, aku tahu semuanya, Diki. Beri salam padanya," kata Aria, yang masih berdiri di samping Diki. Diki melihat baik-baik nama di pusara itu.
"Tunggu dulu, ini pasti bukan makam ibuku! Makamnya bukan disini!" katanya.
"Sejauh apa kau mengetahui soal Rosa, Diki?" kata Aria.
Diki pun terhenyak. Diki terbayang ketidaktahuannya soal hutang mamanya, organisasi yang ia jalani, hingga siapa mamanya sebenarnya.
"Aku tahu Rosa lebih banyak daripada kamu," lanjutnya. Diki yang tidak bisa apa-apa, kembali melihat nisan itu. Tanggal lahir yang tertulis sama persis dengan tanggal lahir ibunya yang Ia tahu selama ini. Ia lalu duduk, dan menabur bunga di nisan itu.Ekspresi sedih dan emosionalnya tidak bisa Ia sembunyikan.
"Mama... Diki disini..." katanya. Ia merasa sangat emosional, walaupun yang Ia tahu, ini bukan makam ibunya.
"Sudah lama kan, sejak terakhir kali kau mengunjungi Ibumu?" kata Aria. Diki mengangguk pelan. Ia lalu jatuh, memeluk nisan ibunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...