"EH?!?!" pekik Fani, kaget.
"Iya, aku membunuh orang yang menyanderamu tadi," kata Aria. "Haduh, kukira setelah itu, aku tidak akan membunuh seorang pun. Nyatanya, korban malah bertambah satu lagi," gumamnya.
"T-tapi, kenapa?" tanya Fani, ragu.
"Kau kira aku punya pilihan lain?" kata Aria. Fani pun terdiam, melihat Aria yang memandang kosong ke tangannya sendiri. Aria lalu memegang kepalanya sembari bersandar, kepalanya menengadah ke atas.
"Aria..." kata Fani, melihat Aria yang tampaknya seperti dalam keputusasaan. Fani lalu memegang pundak Aria.
"Tidak apa-apa, Fani. Aku tidak apa-apa. Mungkin aku hanya butuh istirahat," kata Aria, melirik ke Fani. "Kamu, tidak apa-apa, kan?" lanjutnya.
"E-ehm, iya. Aku nggak apa-apa, kok," kata Fani. Aria lalu menghela napas panjang.
"Aduh, syukurlah. Jangan khawatirkan aku, ya? Yang penting, kejadian malam ini berhenti di kita berdua. Hanya kita berdua yang boleh tahu soal ini," kata Aria. Fani lalu mengangguk, setengah ragu.
"Jangan khawatir ya, Aria," kata Fani. Aria lalu melirik ke mata Fani, lalu memperbaiki posisi duduknya.
Sesampainya mereka di kosan, Aria langsung cabut ke kamarnya sendiri, membersihkan pisaunya yang kotor. Ia lalu membersihkan diri, lalu menjatuhkan dirinya di kasur.
"Kenapa aku harus mengambil jalan ini lagi?" katanya, sembari tangannya menutupi matanya, hingga Ia tertidur pulas.
Esok paginya, Fani yang sudah ada di ruang makan terlihat gelisah. Wajah khawatir nampak pada dirinya. Sementara yang lain sibuk ngobrol dan sarapan.
"Kak Fani... kenapa?" bisik Rena.
"O-oh? Nggak, aku nggak apa-apa kok, Rena," kata Fani, dengan senyumnya. Rena masih tidak mengerti dengan ekspresi Fani. Terlihat sekali ada yang Ia sembunyikan dari Rena. Tak lama kemudian, Aria pun menyusul ke ruang makan.
"Pagi semuanya... hoam," katanya yang masih mengantuk itu.
"A-Aria," kata Fani yang langsung berdiri dan mendekati Aria.
"Hm? Kenapa Fan?" kata Aria. Fani nampak hendak bicara kepada Aria, tapi Ia ragu. Aria pun mengerti.
"Udah, duduk aja, makan dulu yang enak, oke?" bisik Aria, mencoba menenangkannya. Fani mengangguk pelan, lalu menyantap makanan yang ada di depannya itu. Sementara Aria menyiapkan teh hangat favoritnya untuk minum di pagi hari yang cerah itu. Aria lalu duduk di kursi kosong antara Fani dan Rena.
"Aria, Kak Fani kenapa?" bisik Rena.
"Nanti aja ya ceritanya, Ren. Aku laper," kata Aria polos. Rena pun dibuat pusing oleh mereka berdua. Sebenarnya apa yang terjadi semalam? Pikir Rena.
Tak lama setelah itu, Aria lalu pergi ke bengkel, untuk perawatan mobil yang biasa dipakai Faisal.
"Hmm... mobil mewah baru gini memang beda ya perawatannya," gumamnya sembari memeriksa mesin mobil itu. Lalu datang Fani dan Rena menghampiri Aria.
"Ada apa?" katanya sembari membetulkan part-part mesin di depannya. Rena dan Fani kaget karena Aria sadar akan keberadaan mereka, padahal mereka belum bicara apa-apa.
"A-anu... kamu ngga apa-apa?" kata Rena.
"Santai saja kalian, aku nggak apa-apa kok," kata Aria santai. "Nah, ganti oli~" kata Aria sembari menuju bilik bengkel. Ia lalu bergerak ke bawah mobil untuk melepas katup oli mobil, lalu menggantinya dengan yang baru. Ia lalu berdiri lagi untuk mengecek apalah mesinnya sudah berfungsi dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...