Chapter 35 - Aria's Past (2)

49 17 7
                                    

"Tu-tunggu dulu, kalau saat itu adalah saat kita telah lulus sekolah, bukannya seharusnya Ibunya Dadang sudah meninggal?" kata Rena, bingung.

"Dia adalah orang yang sangat cerdas. Dialah yang menurunkan kejeniusan itu kepada Diki. Entah bagaimana caranya, Ia berhasil memalsukan kematiannya, lalu kembali ke dalam organisasi itu dengan cara yang sama sepertiku. Sebagai anggota tanpa identitas.

Saat itu, aku hanya mendekat padanya karena Ia juga merupakan anggota bertopeng, anggota yang memiliki masalah yang sama sepertiku. Entah kenapa, Ia jadi menaruh perhatian lebih padaku, dibandingkan anggotanya yang lain. Saat itu, operasi yang kujalankan ada dibawah perintahnya. Sampai akhirnya, Ia mengundangku secara rahasia untuk datang ke tempatnya yang rahasia pula, lalu membuka topeng masing-masing. Ketika aku tahu ini akan terjadi, identitasku akan dikorek, awalnya aku dengan tegas menolaknya. Tetapi, Ia memberi tawaran untuk bertindak sebebas apapun disana. Akhirnya, aku menyetujui pertemuan itu.

Malam itu, aku sampai di tempat yang dijanjikan. Sebuah bunker bawah tanah yang ia bangun untuk keamanan pribadinya. Kami bertemu, lalu membuka topeng masing-masing. Terlihat bekas luka yang ada di dahinya, katanya bekas benturan dan ledakan di mobil nahas yang ditumpanginya. Ia lalu terkejut melihatku, lalu memelukku dengan erat.

'Kamu masih sangat muda... kenapa kamu memilih berjalan ke jalur seperti ini,' katanya, sembari meneteskan air matanya. Mungkin, Ia teringat pada Diki, dan kebiasaannya untuk mencari uang tambahan dengan cara yang berbahaya," jelas Aria, yang menyalakan sebatang rokok lagi.

"Tunggu dulu... berarti?" kata Rizal.

"Ya, darinya, aku mengetahui semua tentang Diki. Itulah kenapa, ketika aku masuk kosan ini, aku tidak memanggilnya dengan nama Dadang. Aku merasa harus membawa amanat yang dititipkan oleh Rosa padaku," kata Aria. Rena dan Rizal pun mengerti.

"Aku lantas menjadikan tempatnya sebagai tempat bersandar. Tempat untuk istirahat. Tempat untuk pulang. Karena aku sama sekali tidak ingin membahayakan orang-orang yang kenal dan pernah satu kampung bersamaku. Setidaknya, mereka tidak akan mengetahui secara persis aku ada dimana.

Selama aku disana, yang Ia lakukan hanyalah meretas situs-situs tertentu. Aku yang melihatnya pun dibuat bingung olehnya. Aku tidak mengerti untuk apa Ia melakukan itu. Apakah tuntutan dari organisasi? Atau pekerjaan sampingan? Entahlah, pikirku saat itu. Lalu di satu waktu, Ia pun hendak tidur dan menitipkan pekerjaannya itu padaku untuk kupantau. Aku menyanggupi permintaannya, dan aku hanya duduk di kursi yang nyaman itu. Lantas muncul notifikasi dari komputer itu, bahwa pengambilan data telah selesai. Aku yang penasaran, membuka data itu pelan-pelan, tanpa mengubah apapun.

Ternyata, yang Ia lakukan selama ini adalah mencari informasi tentang anaknya, Diki, dari sumber manapun yang bisa Ia dapatkan. Dari jarak yang amat jauh, dan keadaan yang sangat tidak memungkinkan sekalipun, Ibu satu ini tetap ingin mengetahui kabar anaknya. Bagaimana keadaan anaknya, apa yang sedang dilakukannya saat ini, apakah dia baik-baik saja, dan hal apapun yang berkaitan dengan anaknya. Sejauh apapun, naluri ibu tidak akan pernah hilang, atau bahkan redup sedikitpun.

Setelah itu, aku mulai berbicara dengannya. Ia pun menceritakan soal Diki. Anak yang rupawan, populer, dan memiliki segudang bakat yang dapat Ia jadikan uang. Ia berkata, Ia menaruh perhatian kepadaku karena teringat anaknya itu. Anak yang berusaha mencari uang untuk melunaskan hutangnya, meskipun dengan cara yang sangat berbahaya. Ia pun tahu kejadian yang menjebak Diki dan akhirnya mengambil semuanya darinya. Dan dari situ pula, aku mengetahui sedikit tentang Faisal, yang selalu ada di samping Diki dan membelanya, apapun keadaan yang Diki hadapi.

Setelah obrolan panjang itu, Ia meminum teh favoritnya, dan berpesan padaku.

'Jika kamu bertemu dengannya di suatu tempat, tempat yang bahkan tidak kamu duga, tolong jaga dia. Lindungi dia, arahkan dia, awasi dia. Jangan sampai Ia maju ke jalan berbahaya seperti saya. Dan jika bisa, tolong, sampaikan perasaan saya padanya. Bahwa saya masih sangat menyayangi dia, sejauh apapun dia dari saya,' begitulah pesannya. Aku yang sudah menaruh simpati padanya dan Diki, berjanji akan sepenuh hati memenuhi amanat tersebut. Siapa yang akan menyangka aku akan bertemu dia di kosan ini? Hahahaha," gelak Aria, mengingat masa-masa bersama perempuan itu.

"Jadi, kamu sudah tahu betul siapa Diki sebenarnya?" kata Rena.

"Benar. Dari dialah aku mengetahui soal si jenius itu.

Tapi, hari itu pun tiba. Hari dimana identitas Rosa terbongkar. Entah darimana celahnya, mereka berhasil menangkap Rosa, menyembunyikannya dan membuka topeng yang selama ini ia kenakan. Lalu, orang-orang yang membawanya memutuskan untuk membawanya ke pimpinan mereka, untuk dieksekusi. Aku yang mengetahui itu, lantas memikirkan rencana untuk menyelamatkannya dari maut itu. Ketika Ia sudah dibawa menuju pimpinan, aku membuntuti mereka diam-diam.

Aku menyelinap ke dalam ruangan itu. Disana sudah ada dua algojo, empat orang penjaga pintu, Rosa, dan seorang pimpinan tinggi di organisasi itu. Tanpa suara, aku berhasil melumpuhkan keempat penjaga pintu itu tanpa mereka sadari. Ketika mereka hendak mengeksekusinya, aku membuat pengalihan dengan memecahkan lampu dan vas yang ada disana.

'Ada apa itu?! Periksa kesana!' pekik orang tua itu. Salah satu algojo pun memanggil penjaga pintu, namun tidak ada jawaban. Ia lalu bergerak mendekat ke arahku untuk memeriksa keadaan. Dan seketika, aku menggores lehernya dan membunuhnya. Aku lalu menampakkan diri didepan Rosa dan orang itu. Tak berpikir panjang, algojo yang lain menyerangku, dan aku dengan gesit bergerak membunuhnya. Tak lama kemudian, para penjaga pintu pun terbangun dan menembakkan sejumlah peluru ke arah tubuhku. Untungnya, mereka meleset.

Aku membawa Rosa ke sudut ruangan untuk bersembunyi, lalu segera mengeksekusi para penjaga itu. Satu per satu kulukai dengan tebasan pisau tepat di tenggorokan mereka. Walaupun saat itu, aku harus kewalahan karena harus berkali-kali menahan peluru dan menghindari peluru yang akan datang mengenaiku.

Karena aku sempat kewalahan, aku pun lengah. Pimpinan itu menodongkan pistol dari meja tempat Ia duduk. Sinar laser dari pistol itu tepat berada di kepalaku. Aku yang lengah, mulai mencari cara. Setidaknya, jika aku mati saat itu juga, aku berharap tidak akan ada apa-apa yang terjadi pada Rosa.

'Jika kau menghendaki kematianku, lepaskanlah Rosa. Dia bukan orang yang pantas untuk itu,' kataku.

'Siapa kau?! Berani sekali kau mengaturku!' pekiknya sembari mengkokang pistol yang dipegangnya.

'Jangan pura-pura lupa. Tanpaku, kau tidak akan ada di posisi yang sekarang kau duduki,' kataku. Ya, dia adalah orang yang sama yang merekrutku menjadi bagian dari organisasi itu. Karena aku melakukan banyak hal untuknya, aku mempermudah jalannya untuk naik ke tahta atas organisasi. Lalu, Ia pun tertawa. Tertawanya makin keras, makin terbahak-bahak, sampai ia menutupi matanya.

'Persetan dengan itu. Kau hanyalah alat yang bisa kugunakan semauku. Jika alat itu sudah rusak, maka sudah sepantasnya alat itu dibuang,' katanya. Ia ternyata adalah orang yang bisa menghalalkan cara apapun demi tahta yang ia tuju. Termasuk menyingkirkan orang-orang yang hendak melawannya.

Aku pun tidak bisa apa-apa lagi. Aku tidak lagi dapat memastikan bahwa Rosa akan baik-baik saja. Lalu, terjadilah baku pukul antara aku dengan dia. Dia orang yang cukup kuat. Kekuatannya setara, bahkan lebih kuat darimu, Rizal," kata Aria. Rizal pun dibuat kaget olehnya. Jadi itu alasan yang membuat Aria bisa bertahan adu pukul dengannya, pikir Rizal.

"Aku pun terjatuh. Karena hentakan kaki yang sangat kuat darinya, dan sepatunya yang keras bagaikan logam. Nafasku sudah hampir habis. Dia yang terengah-engah lalu memanfaatkan waktu untuk kembali mengambil pistolnya, dan menodongkannya ke arah kepalaku.

'Selamat tinggal, pembunuh berbakat. Sayang sekali, sampai detik ini aku tidak bisa tahu siapa dirimu,' katanya.

Suara ledakan pun terdengar. Aku menutup mataku. Aku sudah berpikir, aku sudah mati saat itu juga. Tapi, kenapa tidak ada rasa sakit? Kenapa tidak kurasakan ada peluru yang menembus tubuhku? Saat itu, aku pelan-pelan membuka mataku. Lalu, sosok berambut panjang itu terlihat berdiri di depanku, merentangkan tangannya, dan darah pun keluar dari pinggangnya," kata Aria.

"H-heh?! Dia?!" kata Rena, kaget.

"Ya, Rosa berdiri disitu, menerima tembakan itu, untuk melindungiku," pungkas Aria.


The Number ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang