Begitu sampai di studio milik Fani, Fani pun turun dan berbisik padaku dengan nada penuh amarah.
"Kau ini gila, ya? Itu tadi hampir 150 kilometer per jam! Aku bersyukur aku tidak mati dijalan," katanya.
"Kau bilang kau buru-buru. Ya sudah, aku hanya berkendara secepat yang aku bisa," kataku seraya membuka helm. "Untung saja bisa sampai lebih cepat daripada dugaanku," lanjutku. Fani pun buru-buru masuk. Aku pun mengirim pesan teks ke Fani, bahwa aku akan menunggu di sekitar sini hingga Ia pulang, jadi akan lebih aman baginya untuk pulang. Aku pun pergi ke warung kopi dekat studio milik Fani.
Petang hari, Ia pun menelponku untuk segera bertemu dengannya. Aku pun bergegas kembali ke studio milik Fani.
"Sudah selesai?" kataku.
"Kau ini. Kenapa kau susah-susah antarkan aku pulang?" katanya ketus.
"Karena akan lebih aman jika aku yang mengantarmu," kataku. "Tenang saja, karena kau tak akan buru-buru ketika pulang, aku akan berkendara dengan wajar," lanjutku. Lalu aku pun membonceng dia pulang menuju kosan dan sampai tepat waktu makan malam tiba.
Sesudah makan malam, aku pun segera membereskan mobil milik Fani yang rusak. "Aduh, apa lagi ini," gumamku. Semua penghuni kosan nampaknya sudah tidur jam segini. Aku pun membetulkan hingga ke bagian bawah mobil, mengganti komponen yang perlu diganti, dan mengecek mobil ini pelan-pelan, karena sudah larut malam.
"Fuh, akhirnya selesai," helaku. Untuk kedua kalinya aku dibuat terkejut oleh penghuni kosan.
"Hai, kerja bagus hari ini," kata Fani yang membuatku terkejut. Ia menyodorkan gelas berisi coklat hangat untukku.
"Ah, terima kasih," kataku sembari menerima dan meminumnya.
"Maaf ya, tadi aku bersikap seperti itu denganmu," katanya sembari menyeruput coklat hangat.
"Tidak masalah. Apa yang salah dengan sikap seperti itu?" balasku sembari meminum coklat hangat.
"Hehe, maaf ya. Aku memang susah untuk percaya dengan orang lain," katanya lagi.
"Tapi kamu dituntut bersikap baik ke semua orang, betul?" balasku. Ia pun terhenyak, terdiam, lalu tersenyum. Setelah itu kembali meminum coklatnya. Ekspresi itu membuatku mengerti bahwa dia mengakuinya.
"Kalau begitu, kamu harus segera tidur. Besok kau akan kerja lagi, bukan?" kataku.
"Lalu kamu?" kata Fani. Aku hanya tersenyum. Ia pun berlalu, kembali ke kamarnya.
Esok harinya, ketika semua sedang sarapan, Budi bertanya padaku tentang apa yang terjadi pada Fani. Aku pun menjelaskan semuanya. Budi bersyukur tidak ada apa-apa yang terjadi pada Fani. Aku pun bingung, sebenarnya ada apa dengan orang-orang ini?
Sesudah makan, aku pun diminta menemui Pak Agus di saung.
"Bagaimana hari kemarin, Nak?" kata Pak Agus. Aku pun menceritakan semua kejadian di hari kemarin.
"Begitulah orang-orang yang ada disini, Nak. Biasakan dirimu. Apalagi setelah apa yang terjadi satu tahun yang lalu. Memang begitulah," kata Pak Agus. "Jangan terlalu mudah percayai orang, dengan begitu kamu akan dapat melindungi dirimu sendiri," lanjutnya. Sebuah pelajaran yang dapat kupetik hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number Eleven
FanfictionThis is a fanfiction from didiwalker's KOSAN 95! Aria, pemuda sebatang kara yang bekerja sebagai montir di sebuah bengkel, bertemu dengan kesempatan untuk menemui wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi sebelum itu, Ia harus memasuki tempat baru...